Site icon Inspirasi Muslimah

Book Shaming : Dilawan, Bukan Dipendam

book shaming

Hingga umur sekarang, saya masih suka baca komik Hai, Miiko! Karya Eriko Ono yang terbit sejak saya lahir di bumi ini. Bahkan, kalau dulu saya masih suka pinjam sana sini untuk baca komik, kali ini saya bertekad untuk mengkoleksi semua serinya. Lantas, ada saja kawan saya yang bilang, “kamu udah umur segini masih aja baca komik sih, kayak bocil, hahaa.”. Saya gak tau apakah itu kalimat mengejek atau bercanda; tapi saya merasa kurang nyaman sampai-sampai (pernah) merasa malu membaca komik saat berada di tempat umum.

Pagi ini, saya berselancar di twitter dan menemukan tweet tentang book shaming. Dalam tweet itu, sebuah akun bilang kalau dirinya jarang melihat orang lain membaca buku Madilog karya Tan Malaka di tempat umum; biasanya perempuan baca novel metropop, self-gelf, atau buku pelajaran. Tentu saja mata saya terbelalak membaca tweet ini. Pasalnya ia bukan hanya book shaming, tapi juga stereotip sekali pada kaum perempuan.

Tentang Book Shaming

Book shaming itu sendiri adalah tindakan mengomentari buku bacaan seseorang sehingga orang tersebut merasa gak percaya diri dengan bacaanya, risih, dan minder. Gak hanya itu, book shaming juga bakal membuat seseorang yang dikomentari buku bacaannya itu merasa malu dengan apa yang ia baca dan malu menunjukkannya di depan publik. Bahkan yang lebih parah, saking malunya, ia akan memaksa diri untuk membaca buku mengikuti tren yang ada dan memberikan ulasan gak jujur karena ia gak membaca buku itu. Alasannya hanya agar terlihat keren karena membaca buku tersebut.

Seseorang yang melakukan book shaming berpikir bahwa ia lebih keren atau lebih pintar dari orang lain setelah membaca buku-buku tertentu. Misal, baginya membaca buku Madilog lebih keren daripada baca novel Resign karya Almira Bastari; membaca buku dektektif Sherlock Holmes lebih keren daripada baca komik Conan. Selain berpikir bahwa genre tententu di atas segalanya, ia juga beranggapan bahwa penulis tertentu sebagai emas sedangkan yang lain hanyalah ampas. Misal, membaca buku-buku karya Eka Kurniawan itu orang-orang berselera tinggi, sedangkan yang membaca buku-buku karya Tere Liye berselera menyek-menyek.

Orang-orang yang suka melakukan book shaming juga pandai sekali mengkotakkan pembaca. Misalnya, menurut dia orang dewasa gak boleh membaca buku komik, perempuan harus baca buku-buku memasak dan parenting, laki-laki dilarang membaca buku metropop, dan sejenisnya.

Selanjutnya, seseorang yang buku bacaannya luas gak akan menilai dan memandang rendah bacaan orang lain. Karena ia akan selalu merasa haus akan buku bacaan. Maka, bagi mereka yang melakukan book shaming, merasa jemawa dan overproud terhadap buku bacaannya, sudah saatnya memperluas bacaan yang dibaca. Perlu juga bertanya kepada diri sendiri, apakah betul-betul memahami buku yang dibaca atau hanya mengikuti arus agar terlihat keren?

Uniknya, ternyata, semua orang pernah menjadi pelaku dan korban book shaming baik sengaja maupun tidak sengaja. Hal ini saya dapat dari tesis pascasarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi UIN Sunan Kalijaga yang ditulis oleh Bekti Mar’atun Aisyiyah; perihal fenomena perilaku book shaming di kalangan komunitas pencinta buku di Yogyakarta. Dalam tesisnya, walaupun terdapat satu kelebihan dari book shaming yakni menambah wawasan; namun sayangnya, dampak negatif book shaming terlampau banyak hingga menutupi kelebihannya.

Padahal, membangkitkan hobi membaca bukanlah hal mudah. Butuh proses yang gak cepat. Saya pernah membaca artikel tentang manfaat membaca untuk kesehatan, di antaranya adalah meningkatkan fungsi otak, meningkatkan empati, meningkatkan kualitas tidur, dan mengurangi stress. Bayangkan saja, gara-gara kena book shaming, membaca yang seharusnya dapat mengurangi stress justru meningkatkan stress. Jadi, kalau kena book shaming, jangan dipendam, tapi dilawan. Pun kalau pernah jadi yang nge-book shaming orang lain, saatnya kita tobat berjamaah.

Salah satu cara melawan book shaming adalah temukan diri kita sendiri agar dapat mengetahui jenis buku apa yang kita suka. Kita bisa memulai dengan mencari hal menarik menurut kita sehingga kita dapat merasakan sensasi menyenangkan ketika membaca buku. Serta, jangan malu untuk membacanya di manapun berada dan menceritakannya kepada orang lain.

Selera Orang Berbeda-beda

Ada orang yang suka kopi, ada juga yang suka teh. Ada yang suka teh manis, ada juga yang suka teh tawar. Setiap orang punya seleranya masing-masing. Sama halnya dengan buku. Kitatidak bisa membuat selera orang satu Indonesia sama dengan kita.  Orang-orang memiliki buku dan preferensi favorit mereka sendiri; bukan berarti mereka gak punya ‘selera bagus’ lantaran mereka gak menyukai buku yang sama seperti kita.

Ingat Rahmania, kita gak boleh menghakimi seseorang berdasarkan apa yang mereka baca atau nikmati. Apa yang terlihat buruk buat kamu, bisa jadi buku top favorite mereka.  Walaupun begitu, kita tetap bisa membantu dengan kasih rekomendasi buku bacaan kepada orang lain, tanpa bilang kalau buku yang lagi mereka baca saat ini jelek.  Pada akhirnya, book shaming mengajarkan kita untuk belajar mengetahui perbedaan antara menjadi jahat atau membantu, dan saling dukung sebagai sesama pembaca.

Bagikan
Exit mobile version