Site icon Inspirasi Muslimah

Bersiap yang Terburuk Itu Bukan Sekedar Perlu

yang terburuk

Siapa sangka badai pandemi yang tengah dihadapi oleh umat manusia di seluruh penjuru dunia saat ini, akan memporak porandakan banyak aspek kehidupan? Pandemi yang awalnya kita kira hanya akan menyerang aspek kesehatan fisik saja, ternyata juga ikut meluluhlantakan aspek lain. Baik itu yang cakupannya luas seperti ekonomi sebuah negara, maupun yang cakupannya bersifat sangat individual seperti kesehatan mental seseorang.

Kondisi tidak baik-baik saja yang entah kapan akhirnya ini memang betulan membuat semua orang kelabakan. Kekhawatiran terhadap penularan, penurunan penghasilan, kehilangan pekerjaan, aktivitas kerja dan sekolah daring yang kian hari kian menjemukan, membuat hari-hari kita belakangan ini semakin runyam.

Rasanya, ancang-ancang di awal pandemi tidak berdampak signifikan dalam meredam badai yang maha dahsyat buruknya ini. Walaupun beragam mitigasi terbaik sudah dilakukan, nyatanya badai pandemi juga masih enggan pergi. Malahan kondisinya kian buruk dengan jumlah kasus yang setiap harinya semakin naik tanpa ada kecenderungan akan turun secara drastis.

***

Kutipan termasyhur dalam bahasa Inggris, “Hope for The Best, Prepare for The Worst”, agaknya memang perlu kita terapkan dalam menghadapi kondisi yang kian buruk tadi. Dan tidak hanya sekadar dijadikan motto hidup atau bio di profil media sosial saja, tetapi harus betul-betul diimplementasikan dalam kehidupan.    

Namun, sebagai pengingat, bagian kutipan, “hope for the best” tidak perlu lah terlalu digubris. Terkadang, terlalu berharap bisa membuat kita terlena. Lagipula pada siapa kita hendak berharap dalam hal penanganan pandemi? Pemerintah? Saya sarankan untuk njenengan urungkan saja, daripada kadung sakit hati nantinya.

Harapan tadi alangkah baiknya dikonversi saja dalam bentuk doa, munajat, dan husnudzon kepada Tuhan. Husnudzon bahwa badai yang sedang kita hadapi bersama saat ini, kelak akan berlalu dan menemui titik terang dalam penanganannya. Di samping itu, kita juga harus melakukan usaha dan ikhtiar semaksimal mungkin sebagai pengejawantahan dari bagian kutipan berikutnya, “prepare for the worst”.

Berbeda dengan kutipan bagian awal, “prepare for the worst”atau mempersiapkan yang terburuk justru perlu diperhatikan. Bukan hanya sekadar perlu malahan, melainkan wajib. Bahkan mutlak untuk direncanakan dalam bentuk tindakan nyata. Terlebih dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini. Segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi selama pandemi, harus disiasati dan bila perlu dicari alternatif solusi agar kita tidak terlalu merugi. 

***

Rencana karier, finansial, dan hiburan yang sudah saya persiapkan di tahun sebelumnya ternyata tahun ini harus kandas dan tidak berjalan semestinya. Walaupun sudah ada rencana cadangan dan beragam rencana dengan akhiran huruf abjad tertentu, tetap saja rencana yang saya susun tadi tidak berjalan lancar. Cenderung ambyar malahan.

Oleh karena tak lancarnya segala macam rencana yang telah saya susun, kesadaran akan pentingnya mempersiapkan kemungkinan terburuk ini menjadi tabiat yang sekarang ini mulai saya bangun. Terburuk yang saya maksud, betulan terburuk loh, ya. Andai saja ada kata yang bisa menggambarkan frasa lebih buruk dari the worst, saya akan gunakan kata itu. Prepare for the most-worst-very-much. Barangkali seperti itu.

Mempersiapkan yang Terburuk dalam Hal Karier Perlu ada ego dan idealisme yang sedikit ditekan atau diredam agar dapat adaptif di masa sulit. Tapi, tetap ingat ya, meredamnya jangan terlalu sampai berdampak ke kesehatan dan kestabilan mental.

Bisa saja, kelak kita akan bekerja tidak sesuai dengan disiplin ilmu, passion, atau pekerjaan impian kita. Saat itulah kemampuan adaptif dan toleran terhadap lapangan pekerjaan yang tersedia perlu betul-betul dilakukan. Salah satu bentuk persiapan agar adaptif dan toleran ini bisa dilakukan dengan cara mengikuti berbagai pelatihan keterampilan. Pada tren serba digital seperti saat ini, pelatihan semacam penulisan konten, desain grafis, digital marketing, dan social media organizing bisa menjadi alternatif pelatihan yang bisa diikuti.

Mempersiapkan yang Terburuk dalam Hal Finansial

Selama pandemi ini, finansial merupakan aspek vital lain yang paling terdampak, setelah kesehatan. Saya yakin perencanaan finansial untuk menghadapi kondisi super duper mendadak semacam corona ini, belum banyak dilakukan. Kesadaran finansial dalam kondisi darurat ini adalah salah satu hikmah yang bisa saya ambil dari pandemi.

Dana untuk kondisi darurat seperti sekarang ini wajib dianggarkan dalam perencanaan finansial yang kita susun. Dana ini kelak dapat digunakan dalam kondisi genting seperti saat kehilangan pekerjaan, terkena sakit dan musibah, ataupun bencana alam. Oh iya, dana darurat ini baiknya terpisah dengan dana tabungan ya. Tabungan biasanya sengaja dikumpulkan dengan tujuan tertentu, menikah misalnya. Sedangkan dana darurat ini khusus untuk kondisi genting, mendadak, dan tidak terduga. Besarnya pun disesuaikan dengan kemampuan finansial masing-masing orang.

Mempersiapkan yang Terburuk dalam Hal Hiburan

Adanya imbauan #dirumahsaja selama pandemi membuat akses untuk hiburan menjadi lebih terbatas. Masyarakat yang biasanya mencari hiburan dengan pergi ke konser, bioskop, atau plesir ke tempat wisata, kini menjadi dibatasi. Ya walaupun sekarang sudah agak renggang ya pembatasannya. Tapi akses hiburan terasa begitu tidak leluasa.

Selain itu, hal lain yang saya petik dari pandemi ini bahwa hiburan sejatinya sudah bisa digolongkan menjadi kebutuhan primer. Hiburan sudah layak disandingkan dengan sandang, pangan, dan papan. Terkesan remeh, tapi begitulah yang saya dan banyak kawan saya rasakan.

Terbatasnya akses hiburan agaknya perlu dipersiapkan sebagai hal terburuk yang akan dihadapi selama pandemi ini. Cara konkritnya, kita bisa mencari alternatif hiburan lewat kanal-kanal sederhana seperti media sosial. Bagi saya, hiburan semacam gambar meme lucu, video atau postingan akun shitposting bisa dijadikan alternatif hiburan. Cukup efektif untuk membuat kita tertawa dan tetap menjaga kewarasan. Trust me, it’s work !

Dari paparan di atas, kata kunci untuk mempersiapkan hal terburuk dari tiga aspek yang saya tulis di atas adalah bersikap adaptif, toleran dan penuh kesadaran. Kemampuan untuk bersikap adaptif dan toleran terhadap kemungkinan terburuk inilah yang perlu kita latih dengan penuh kesadaran. Apakah saya sudah bisa melakukan sepenuhnya? Tentu saja belum, tapi sedang dan akan selalu saya usahakan. 

Akhir kata, mempersiapkan yang terburuk dilakukan bukan dalam rangka pesimistis, justru dengan mempersiapkan yang terburuk, kita sudah melalukan ikhtiar maksimal untuk meminimalisir kerugian yang bisa saja menimpa kita. Pandemi nampaknya masih cukup lama, kawan. Stay safe and prepare the worst ya !    

Bagikan
Exit mobile version