Site icon Inspirasi Muslimah

Belajar Memeluk Diri yang Berduri (1)

memeluk diri

Seiring tubuh diserap waktu, konflik dan bahagia yang timbul tenggelam bagai bintang bersinar  habis kelam dan semesta yang  menjadi saksi bisu takdir penghuninya. Akhirnya saya mengerti sesuatu. Bahwa kausalitas kesehatan mental benar adanya, segala sesuatu yang terjadi hari ini memiliki pertautan masa lalu dan masa depan.  

Saya awali dengan sebuah pernyataan dari tayangan TV di bawah ini.

…kesehatan mental remaja sangat penting karena menentukan kesehatan mental ketika seseorang beranjak dewasa…,” menurut dr. Zulvia Oktanida Syarif, Sp. KJ., pada acara Ayo Sehat di Kompas TV.

Di negara kita penderita gangguan mental masih sering mendapatkan cercaan dan dipandang sebagai pribadi yang lemah. Menjadikan sebagian besar dari mereka menolak mengungkap kenyataan atas masalah pada dirinya. Mungkin itu sebabnya, mereka yang peduli membentuk perkumpulan semacam komunitas antar mereka. Ada banyak contoh komunitas seperti Sehatmental.id yang kelola oleh dr. Rama Giovani, Sp.KJ., ada Into The Light Indonesia, Depression Warriors Indonesia, dan Bipolar Care Indonesia adalah contoh medium digital di media sosial yang berfokus pada advokasi, kajian, kesehatan jiwa anak muda, hingga edukasi pencegahan bunuh diri.

Data dari Badan Litbangkes tahun 2016 menyatakan bahwa data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang atau setiap hari ada 5 orang melakukan bunuh diri serta 47,7% korban bunuh diri adalah pada rentang usia 10-39 tahun yang merupakan usia pertumbuhan, remaja dan masa-masa produktif. Bayangkan betapa terganggu dan kebanyakan dari mereka disebabkan oleh gangguan kesehatan mental.

Mengutip The Conversation, Tim Divisi Anak dan Psikiatri Remaja Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia melakukan riset di tahun 2020 terhadap remaja pada periode transisi remaja menuju dewasa─usia 16-24─dari seluruh Indonesia melalui survei daring, terdapat 95,4% menyatakan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety). Riset tersebut mendukung temuan Badan Kesehatan Dunia atau WHO yang mengatakan 1 dari 4 remaja menderita gangguan kesehatan jiwa.

I Made Suri Pandhu, lelaki muda yang pada umur 19 tahun merasakan suatu gangguan mental menyerangnya. Tiga tahun yang lalu ketika hal itu terjadi, pengalamannya ia ceritakan dalam wawancara ekslusifnya di saluran Youtube bernama Menjadi Manusia.  Kini ia genap berusia 25 tahun. Cara ia berbicara dalam video 15 menit itu jauh dari dialek daerah asalnya. Sekilas terdengar seperti anak gaul di kota-kota besar, dengan tubuhnya yang ideal membuat kebanyakan orang berpikir ia adalah anak yang sempurna tanpa kurang apapun.

Di video tersebut ia mengutarakan bahwa ia adalah anak terakhir dari keluarga sukses nan kaya di salah satu pulau fantastis di Indonesia yang sering menjadi destinasi banyak turis, Bali. Pulau indah dengan segala keeksotisannya membuat siapapun tertarik mengunjunginya. Namun tidak bagi Pandhu, justru pulau inilah tempat ia mejemput dan memulai semua mimpi buruknya. Ia terbebani situasi keluarganya. Semua anggota keluarganya adalah orang-orang berhasil yang lulus dari perguruan tinggi negeri. Suka tak suka dirinya harus seperti anggota keluarga yang lain, masuk ke perguruan tinggi adalah tujuannya.

Sama seperti anak muda seumurannya yang lebih memilih menikmati waktu bersama kawan untuk sekadar bertegur sapa dan menghabiskan topik bersama. Dari situ Pandhu memiliki kebiasaan malas belajar yang juga banyak anak muda miliki. Namun semesta kali ini tidak berpihak padanya, karena garis takdir keluarganya tidak menerima pemakluman pada karakter tersebut. Lahir di keluarga sempurna secara mutlak menetapkan ekspetasi tinggi akan masa depan dan keberhasilan Pandhu.

Saat memasuki waktu belajar intensif menuju kelulusan SMA, kegelisahan mulai menyerangnya secara berkala karena pada akhirnya Pandhu sadar akan beban besar yang harus ia capai demi memenuhi pandangan orang lain terhadap keluarganya. Hal itu yang terus mencekiknya dan mendorongnya menuju gelapnya malam. Ia tidak bisa melakukan apapun selain terus menerus menyalahkan dirinya, dan memenuhi akal sehatnya dengan segala kegelisahan yang justru semakin menggelapkan hatinya.

Hari-harinya ia isi dengan langkah yang berat dan gamang. Pikiran yang terus mencemaskan segalanya, termasuk yang bukan kewajibannya, di saat otaknya beristirahat memikirkan segala kegelisahan dan kekhawatiran itulah respons dari raganya bahwa sel imunnya menyerah dalam mempertahankan kesehatannya.

Duduk di kelas 12 SMA adalah masa untuk mempersiapkan diri menuju ujian SBMPTN. Suatu waktu tiba-tiba merasa tubuhnya kaku, otot-otot wajahnya keram, napasnya sesak, dan degup jantungnya yang berdebar secara sporadis. Ia terus bertanya-tanya pada diri sendiri, “Apa yang terjadi sebenarnya?” Tak henti-hentinya ia terus merasa gelisah akan kelanjutan nasib hidupnya setelah malam itu. Sugestinya timbul merasa malaikat akan mencabut nyawanya detik itu juga. Kebingungan yang baru-baru ini ia rasakan membuatnya resah, kondisi itupun ia bicarakan pada ibunya dan berniat konsultasi ke rumah sakit.

Hari itu dokter justru menyuruhnya pulang karena tidak ada indikasi menuju gejala penyakit apapun. Tapi orang tua tetaplah manusia yang penuh cinta akan segala sesuatu mengenai anaknya dan ingin anaknya segera pulih dari tekanan tersebut. Maka ibunya memutuskan membawa Pandhu ke sebuah tempat pengobatan kesehatan mental.

Menurut Huberty seorang dosen psikologi di Indiana University menjelaskan kecemasan yang semua orang alami adalah reaksi normal dalam kondisi tertentu. Bila kecemasan itu terus berlanjut akan menjadi masalah serius dan dampak yang buruk. Sederhanya, kecemasan berlebihan dan berlanjut serta membuat banyak kerugian disebut anxiety.

Senada dengan pendapat di atas, Gustiar memaparkan kecemasan dengan intensitas wajar dapat dianggap memiliki nilai positif sebagai motivasi. Tetapi apabila intensitasnya tinggi dan bersifat negatif dapat menimbulkan kerugian dan dapat mengganggu keadaan fisik dan psikis individu yang bersangkutan.

Ciri-ciri kecemasan (Nevid, dkk 2005) pada fisik pasien ialah kegelisahan, kegugupan, tangan atau anggota tubuh bergetar, banyak berkeringat, telapak tangan berkeringat, pening, mulut atau kerongkongan terasa kering, sulit berbicara, sulit bernapas, bernapas pendek, jantung berdebar keras atau berdetak kencang, suara yang bergetar, jari-jari atau anggota tubuh menjadi dingin, leher atau punggung terasa kaku, sensasi seperti tercekik atau tertahan, sakit perut atau mual, sering buang air kecil, wajah terasa memerah, diare.

Pandhu bertutur apa yang ia rasakan saat itu. Pada gejala fisik ia merasakan gemetar, jantung kerap berdebar kencang, ketegangan otot, nyeri dan mual, gejala gejala tersebut yang di rasakan oleh Pandhu untuk pertama kali. Yang kemudian membuatnya semakin yakin bahwa sesuatu telah terjadi di bawah alam sadarnya dan itu mengenai mentalnya.

Bagikan
Exit mobile version