Site icon Inspirasi Muslimah

Bapak dan Sepeda Motor

bapak

Sayup-sayup terdengar adzan subuh berkumandang di kampung sebelah, kemudian dari kampung-kampung lain segera mengikuti bersahutan. Tak sedetik pun aku mampu memejamkan mata sejak pemakaman Bapak tadi malam. Bergegas aku menuju masjid dekat rumah untuk shalat subuh berjamaah.

Pegal-pegal di punggung sudah tidak kurasakan. Perjalanan dari Ibukota menuju kampung halaman yang aku tempuh dengan tergesa membuat hatiku lega dan bersyukur masih sempat bertemu Bapak yang terakhir kali di tahun ini.

Ada sesal yang amat dalam ketika seminggu lalu Bapak menyatakan kangen dan memintaku mudik sebentar sementara istriku tengah opname karena jatuh di kamar mandi lalu pingsan. Kata dokter gejala stroke. Bak buah simalakama, dengan berat hati kubujuk Bapak untuk sabar dan berjanji akan mudik secepatnya.

Ada rasa kecewa yang kutangkap usai mengobrol di telepon bersama Bapak.

Segera aku susun strategi agar paling tidak bisa bersikap sedikit adil terhadap Bapak dan istriku. Sungguh pilihan sulit yang kadang hadir di situasi yang sulit pula.

Segala hal yang berhubungan dengan Ibu dan Bapak di kampung, bagiku sangat berharga dan selalu mengaduk-aduk emosi jiwaku. Hasrat hati ingin selalu membahagiakan mereka, sesempurna mungkin, di hari-hari tuanya. Namun kadang aku tak mampu menghindari jika ada hal-hal sepele yang seolah mengharuskan aku untuk segera memilih.

Menyesalkah aku? Tidak hanya menyesal, tapi kepergian Bapak untuk selamanya membuat aku merasa sebagai anak durhaka. Anak yang tak becus mengambil keputusan atas permintaan terakhir Bapak.

“Aku ingin Kau mudik beberapa hari. Bapak kangen,” suatu siang Bapak meneleponku persis ketika sang istri masuk RS.

Inggih, Pak, satu dua hari saya akan mudik. Bapak sabar, nggih?” Aku berjanji pada Bapak untuk menungguku dengan sabar sembari berharap dia tidak kecewa.

“Bapak maunya saiki, Nang. Kalau tidak bisa, yo wis.” Belum sempat kujawab, telepon sudah ditutup. Tak biasanya Bapak bicara penuh tekanan. Aku bingung, Bapak tidak mau ngendika ada apa sehingga memintaku mudik mendadak.

Aku juga kesulitan mau berterus terang ke Bapak seolah mulut ini terkunci. Inilah salah satu kelemahanku, tidak ingin Bapak tahu masalah-masalah yang menimpaku. Aku ingin sempurna di matanya dan aku ingin Bapak hanya tahu aku kini bahagia, murah rezeki dan baik-baik saja bersama istri dan anak-anakku.

***

Kenangan pahit dan getir masa silam bersama bapak dalam perantauan hampir setiap saat membayangi langkah-langkahku. Mendorong semangatku dalam mengais rezeki dan bertekad tak ingin menjadi orang susah yang memohon belas kasih orang lain.

Awal berangkat ke Jakarta atas permintaan seorang tetangga yang sukses bisnis mebel dan kami berdua diminta ikut menjaga toko mebelnya. Uang saku yang pas-pasan dan belum pernah ke alamat yang dituju menyebabkan kami berdua terpaksa begadang di sebuah terminal semalaman. Hanya ada air putih yang kami konsumsi demi tak mengurangi jatah transport esok hari yang kami khawatirkan tak cukup.

Pada waktu itu mencari alamat tidak semudah saat ini. Bahkan ketika perut kami keroncongan esok harinya, nasi sebungkus kami makan berdua untuk sekadar mengganjal lambung agar masih ada yang diolah. Masih segar dalam ingatan, Bapak nyaris tidak kersa dhahar apa-apa sebelum sampai ke alamat yang kami tuju.

Kerja keras dan kerja kasar sudah pernah kucoba bersama Bapak di tanah rantau, Ibukota. Hingga suatu hari secara tak sengaja bertemu dengan teman lama dan mengajakku bekerja sama di bidang jasa transportasi. Bapak akhirnya memilih pulang kampung untuk menghabiskan masa tua hingga berpulang.

***

Semburat keemasan perlahan menghiasi langit di ufuk timur ketika aku keluar dari masjid. Sengaja aku berjalan pelan sembari menikmati udara pagi nan harum, menguar dengan aroma khas seperti yang pernah aku hirup beberapa puluh tahun lalu. Aromanya masih sama. Aroma yang tak pernah kujumpai di lingkungan tempat tinggalku sekarang.

Masih di halaman masjid, sudut mataku menangkap sosok yang tertatih-tatih menuruni tangga yang tidak terlalu tinggi ketika aku menoleh ke belakang. Aku yakin mengenal sosok ini. Sosok yang ikut andil memantik bara api semangatku dalam mengejar cita-cita untuk menjadi orang yang berguna dan tak merepotkan orang lain.

“Pak Haji Jono, apa kabar?” Kuhampiri sambil kuraih tangannya untuk bersalaman. Tangan yang dahulu kekar dan tak ada yang berani menatapnya ketika tangan dan jemarinya itu menunjuk muka seseorang yang dianggap telah melakukan kesalahan sekecil apa pun.

“Lho, Mas Mitro to?” Tampak kaget dan balik bertanya seakan ragu. Pipinya lebih tirus dan lima puluh persen kumisnya dihuni uban hingga terlihat abu-abu. Kacamata tak pernah lepas dari wajahnya sejak dahulu.

Nggih, Pak Haji, saya Mitro,” jawabku santun meski beberapa detik tadi ada sekelebat perih yang pernah kurasa manakala mata kami bertatapan. Segera kukuasai diri karena tiba-tiba hadir rasa haru tak menentu saat kulihat wajahnya yang pasi.

“Kalau memang belum mampu beli sepeda motor, pakai jasa ojek ‘kan bisa. Tak usah sok gagah bawa-bawa sepeda motor orang.” Sambil pasang wajah sangar, Haji Jono menghampiriku ketika aku masih di halaman rumahnya yang luas beberapa puluh tahun lalu.

Suatu malam Bapak sakit dan sepulang mengantarkannya ke mantri kesehatan di desa tetangga, malam sudah larut. Aku tak menyangka amarahnya menjadi-jadi ketika esok paginya sepeda motor baru bisa kukembalikan.

Meski berkali-kali kuucapkan terima kasih dan berkali-kali pula aku memohon maaf, ucapan-ucapan penghinaan masih berhamburan dari bibirnya hingga aku mohon diri. Sambil berjalan pulang aku berdoa semoga hal itu yang pertama dan terakhir aku meminjam sepeda motor orang.

Mungkin saat itu aku dinilai salah, sudah lancang dan berani meminjam sepeda motor sedangkan aku hanyalah pemuda pengangguran. Andai bukan karena ada tawaran dari putranya, teman sekaligus tetanggaku, aku jujur tidak berani. Demi Bapak aku memberanikan diri karena yang kutahu selain sebagai orang kaya di desaku, Haji Jono terkenal sebagai dermawan.

Sesekali saja kata-kata pedasnya masih terngiang, aku sudah berusaha melupakan dan memaafkan. Haji Jono yang terkenal kaya itu kini agak kurang sehat usai ditinggal istri untuk selamanya.

Meski fisiknya tampak kurus, tapi sisa-sisa ketampanan dan kegagahannya semasa muda masih ada. Dia tidak perlu khawatir lagi sepeda motornya aku pinjam dan dia tak harus tahu apakah sekarang aku punya sepeda motor atau tidak.

Bagikan
Exit mobile version