Site icon Inspirasi Muslimah

Apakah Hidup Ini Tidak Adil?

hidup

Apakah hidup ini tidak adil? Pertanyaan ini saya lontarkan pada diri saya sendiri setelah beberapa hari berturut-turut mendapatkan kasus remaja dan anak muda yang menjadi korban, baik karena situasi dan kondisi maupun akibat perbuatan orang lain.

Satu anak muda saya kenal menjadi korban salah tangkap polisi. Sejujurnya bukan salah tangkap, karena tidak ditemukan barang bukti dan bukti-bukti lain pada dirinya. Anak ini dihakimi warga, diinterogasi, dipaksa mengaku mencuri, dipukuli, dan dikurung selama empat hari. Akhirnya dengan usaha dan biaya tak sedikit, anak ini berhasil keluar karena keluarga menebusnya

Kisah pilu yang terjadi tiga tahun lalu masih menyisakan bekas di hari ini. Akibat trauma, si anak tidak berani keluar rumah sendirian. Tidurnya malam-malam selalu terbayang-bayang penghakiman warga dan pemukulan-pemukulan yang ia alami. Belakangan malah setiap menutup mata yang terbayang adalah peristiwa nahas tersebut. Kuliah terpaksa berhenti, cita-citanya untuk menjadi insinyur kandas sudah.

Anak ini mengeluh, hidup tidak adil baginya. Mengapa ia mengalami hal seperti ini? Mengapa ia melintas di TKP pada saat yang salah. Ia marah karena merasa tanpa daya, sedih karena menjadi beban Ibu dan kakaknya.

Perasaan cemas dan khawatir juga membayangi hidupnya. Apa jadinya bila kelak Ibunya telah tiada dan ia masih takut pergi sendiri kemana-mana? Bagaimana ia bisa bekerja, sedangkan paling jauh ia hanya bisa pergi ke warung rokok sebelah?

***

Kisah lain adalah pemuda cerdas yang lolos sekaligus di tiga perguruan tinggi negeri dan satu perguruan tinggi swasta dengan beasiswa penuh. Perjalanan hidupnya juga tak mulus-mulus amat. Sejak kecil menerima siksaan dan makian dari orang tuanya hanya karena nilai-nilai sekolahnya hanya di atas KKM alih-alih mendapat nilai sempurna. Pengalaman traumatik membuatnya tumbuh menjadi pribadi pencemas akut. Sedikit saja peristiwa tak menyenangkan menimpanya, kontan putik jiwanya layu, fisiknya gemetar.

Sepanjang masa di SMA, ia dirisak parah. Ia mendapatkan penghadangan oleh gerombolan di gerbang sekolah, mereka mencegatnya di tangga menuju kantin kemudian memalaknya. Banyak yang mengucilkannya karena ia tidak mau bergabung dengan anak-anak geng. Hal itu semua menjadikan masa-masa studinya selama tiga tahun sebagai mimpi buruk. Bibit kecemasan yang pada dasarnya sudah ada makin membesar di sini. Semua menjadi awal dari ketakutan-ketakutannya akan banyak hal di kemudian hari.

Pernah mengalami tabrakan motor sehingga tidak berani lagi mengendarai motor. Pernah kamar kosnya dibobol maling, dan sekarang selalu mengulang-ulang mengecek pintu apakah pintu sudah dikunci dengan benar. Terakhir bahkan harus selalu ditemani orang tua untuk ke toilet sekalipun, untuk rasa takut yang ia tak mengerti alasannya.

Perasaan sedih karena melihat diri tak berguna, menyesal karena menyusahkan orang tua, takut dan putus asa membayangi masa depannya. Hidup terasa tidak adil padanya, mengapa ia harus mengalami semua ini.

***

Jawaban : ‘sabar, orang sabar kekasih Tuhan’, ‘selalu ada rencana Tuhan yang terbaik di balik setiap musibah’, ‘semua indah pada waktunya’ terasa konyol bila saya katakan atas pertanyaan : ‘mengapa hal ini terjadi pada saya’,  ‘mengapa harus saya yang mengalami hal seperti ini’. Jangankan mengucapkannya, memikirkannya saja membuat saya mual. Saya tidak juga bisa mengatakan bahwa saya mengerti perasaan mereka, karena memang nyatanya tidak.

Sebagai terapis, saya mencoba melihat hal-hal positif di balik penderitaan mereka, demi menghibur diri saya sendiri. Di balik penderitaan anak-anak, ada orang tua yang menyadari dan mengakui kesalahannya dan kemudian berubah. Orang tua yang dahulu otoriter dan over demanding sekarang menjadi lebih toleran dan berbela rasa. Dengan setia mereka menemani si anak berobat kemana-mana, meluangkan waktu dan mengeluarkan uang tak sedikit untuk hasil terbaik. Ada yang cuti bekerja, ada yang mengajukan ijin bekerja dari rumah demi menemani anaknya berobat atau sekedar curhat.

Tak ada yang abadi di dunia. Baik kegembiraan maupun penderitaan, semua akan berakhir. Dan kelak bila semua kejadian pahit ini berlalu, akan tinggal kenangan, yang moga-moga bakal mencerahkan. Dalam angan-angan saya, kelak mereka menjadi anak yang bisa menghargai orang lain dan tumbuh sebagai sosok pribadi yang tak gampang menghakimi. Berkaca pada pengalaman hidupnya, semoga mereka kelak menjadi orang tua yang bijaksana dan berjiwa besar membiarkan anak-anaknya tumbuh menjadi dirinya sendiri.

***

Dan dari semuanya, sesuatu yang tidak mudah diucapkan apalagi dilakukan, tetapi memiliki efek menyembuhkan adalah maaf. Maaf adalah sesuatu yang perlu dilakukan, bukan demi orang lain tetapi lebih demi diri sendiri. Memaafkan tidak berarti melupakan apa yang terjadi, memaafkan bukan berarti saya suka pada orang yang menyakiti saya.

Memaafkan tidak berarti mengijinkan orang yang menyakiti kembali dalam hidup saya. Bukan berarti saya tidak lagi merasa marah, tetapi mungkin merasa kasihan pada orang yang telah menyakiti saya. Dengan memaafkan saya akan berkembang menjadi pribadi yang lebih dewasa. Saya memaafkan karena saya tahu, setelah memaafkan saya menjadi lebih bahagia, sehat, dan penuh rasa syukur. Dengan memaafkan saya sembuh.

Magdalena Elvia

Bagikan
Exit mobile version