Site icon Inspirasi Muslimah

Apakah Hidup Demi Memenuhi Pendapat Orang Lain?

Pada novel “Filosofi Teras” terdapat dua kutipan yang menarik, yaitu tentang tirani opini orang lain yang berada di luar kendali kita. Pertama,Epictetus mengatakan pada buku Enchiridon bahwa,

“Hal-hal yang ada di bawah kendali kita bersifat merdeka, tidak terikat, tidak terhambat, tetapi hal-hal yang tidak di bawah kendali kita bersifat lemah, bagai budak,t erikat dan milik orang lain”.

Membahas salah satu dari “hal di luar kendali kita” menurut Stoisisme, yaitu opini/pendapat orang lain. Tekanan opini orang lain ternyata dari dulu sudah ada, bahkan sejak masa Kekaisaran Romawi Kuno.

Marcus Aurelius pernah berujar, “Saya selalu kagum. Kita yang selalu mencintai diri sendiri daripada orang lain, justru lebih peduli pendapat orang lain dibanding pendapat diri sendiri. Jika Dewa meminta seseorang untuk selalu mengucapkan apa pun yang terlintas di pikirannya,niscaya orang itu tidak akan mampu bertahan sehari saja. Begitulah besarnya kepedulian kita akan pendapat orang lain dibandingkan pendapat kita sendiri.”(Meditations)

Opini Orang Lain

Dari dua kutipan tersebut saya merasakan bahwa pengaruh opini orang lain turut andil dalam hidup seseorang. Secara sadar maupun tidak, banyak orang hidup dengan dikelilingi oleh kekhawatiran dengan sebuah kalimat yang sering kita dengar yaitu “Apa Kata Orang?”.

Bahkan saat merencanakan sesuatu atau mengambil keputusanpun kita lebih mengikuti pendapat orang lain, baik keputusan-keputusan yang besar maupun keputusan-keputusan yang kecil.

Kehadiran Media Sosial

Apalagi ditambah kehadiran media sosial membuat efek “Apa Kata Orang?” semakin luar biasa, karena apa pun yang kita post di media sosial bisa dilihat oleh siapa saja, bahkan pujian, kritik, dan celaan adalah hal yang memungkinkan kita terima. Tidak sedikit orang yang ingin berubah hanya untuk memenuhi pendapat orang lain, seperti ,

“Kamu jangan gendut gini, diet dong biar tambah cantik” ,

“Itu kulit kamu berjerawat beli skincare yang bagusan dong” ,

“Jilbabmu gak stylist banget, sekarang lagi trend yang kayak aku lho masa kamu ketinggalan jaman gini?”.

Keputusan-keputusan yang akan kita buat pun bisa berubah seketika jika kita mendengar “Apa Kata Orang?” contoh yang paling nyata berdasarkan pengalaman kawan saya 4 bulan lalu yang resah memilih jurusan lagi padahal awalnya ia sudah yakin memilih jurusan A tetapi ada yang berkata padanya seperti ini,

”Kok kamu ambil jurusan itu sih? Nanti susah cari kerja lho, kan lapangan pekerjaannya sempit. Mending kamu di jurusan B aja”.

Waduh abis itu teman saya langsung bingung, sebenarnya keputusan dia tepat atau tidak, padahal hanya beberapa kalimat yang orang lain ucapkan akan berpengaruh sama keputusannya untuk 4 tahun kedepan? Sebegitu dahsyatnya, miris.

Contoh lainnya yang sering kita dengar,

”Kamu gak cocok pakai baju itu”,

”Warna kulitmu gak cocok pakai warna itu”.

Pada saat itu pasti kita langsung berpikir, ”Apakah aku harus ganti baju?”. Di lain sisi, baju yang kita kenakan sangat nyaman tetapi pendapat orang lain lah yang membuat kita berpikir kembali.

Feedback Media Sosial

Lalu, semalam saya melihat seseorang “lewat” di timeline Twitter,dia men-screenshoot percakapan dia dengan salah satu teman Twitter-nya,ada satu pertanyaan menarik dalam percakapannya yaitu  “Kok bisa tweet kamu likesnya banyak? Gimana caranya?”.Saat itu saya berpikir apakah banyak orang yang mengusahakan banyak likes di sosial medianya? Lalu apakah semua yang ditampilkan dalam sosial media seseorang hanya kepalsuan semata? Demi likes dan follower?

Si A curhat sama temannya “Gue sebenernya gak betah di perusahaan A karena lingkungan kerja yang gak cocok sama gue, pengennya pindah aja, tapi perusahaan ini bergengsi banget di masyarakat, sayang banget kalau harus pindah”. Akhirnya bertahan demi gengsi.

Bukan rahasia umum lagi, fenomena ini pun masih terjadi di masyarakat kita hingga sekarang. Ekspektasi orang lain bagi perempuan yaitu, jangan nikah terlalu tua, jangan muluk-muluk pilih jodoh kalau sudah berumur di atas 30-an, yang penting nikah. Sudah sarjana langkah selanjutnya menikah, setelah menikah langkah selanjutnya adalah punya anak. Seperti itu kan ekspetasi rata-rata orang Indonesia terhadap perempuan?

Padahal semua orang memiliki pattern hidupnya masing-masing. Tapi tidak banyak yang menyadari bahwa kita terjebak terhadap pattern kehidupan yang turun-temurun ada dalam masyarakat.

Ekspektasi Orang Lain

Bagi laki-laki, tidak berbeda jauh dengan perempuan. Giliran menikah, resepsi harus mewah walaupun uang pas-pasan demi ingin memberikan kepuasan kepada orang lain. Kalau tidak memenuhi ekspetasi orang lain, siap-siap jadi bahan gossip di kalangan ibu-ibu. Kejadian seperti itu seolah-seolah hidup hanya memenuhi ekspektasi orang lain.

Kalau ditelaah dari contoh yang saya lihat di atas, sebenarnya kita hidup untuk siapa? Apa kita mau bahagia karena sesuai ekspektasi orang lain?

Saya selalu berpikir, bukankah kita harus mengutamakan apa yang terbaik untuk diri sendiri; seperti keputusan memilih jurusan, tempat kerja, menikah, punya anak dan lain-lain. Apalagi segala risiko dari segala keputusan kita ya kita tanggung sendiri, walaupun keputusan tersebut atas dasar “kata orang”.

Tidak salah mendengar kritik dan saran orang lain yang membangun, tetapi apakah selamanya harus mengikuti pendapat orang lain? Apakah selamanya merasa bahagia akan keputusan yang diambil menurut “kata orang lain”?

Sampai Kapan Hidup untuk Orang Lain?

Silahkan jika ada yang ingin mengejar karir dahulu sebelum menikah, mengambil jurusan impian, menggunakan pakaian senyaman mungkin, menikah muda, ataupun menunda memiliki momongan. Semua hal itu tidak salah. Menurut saya, hidup tidak perlu “diperlombakan” semua manusia punya jalannya masing-masing dan manusia biasa tidak mungkin terus-menerus di bawah kendali orang lain.

Menggantungkan keputusan-keputusan dari yang kecil hingga besar pun pada pendapat orang lain, seperti yang ungkapan Epictetus yang menyebutkan bahwa hal-hal yang berada di luar kendali kita itu “bagaikan budak … dan milik orang lain”. Saya mengartikan bahwa yang di luar kendali kita adalah pendapat orang lain dan kalau terus-menerus ingin memenuhi pendapat orang lain bukankah sama saja seperti diperbudak oleh orang lain.

Sampai kapan kita hidup untuk memenuhi pendapat orang lain?

Bagikan
Exit mobile version