Site icon Inspirasi Muslimah

Al-Kindi: Kebahagiaan Manusia

Al-kindi

Masalah kebahagiaan manusia sudah menjadi suatu permasalahan fundamental bagi setiap individu. Masalah ini muncul akibat mayoritas individu meletakkan kebahagiannya pada sisi objektif atau dalam dimensi materialism, contohnya harta kekayaan.

Terkadang mereka sampai lupa pada sisi subjektif atau dimensi idealism, yaitu kebahagiaan yang terdapat dalam dirinya sendiri, fitrahnya. Kedua dimensi kebahagiaan ini akan terus menjadi polemik yang tidak akan usai, sebab perbedaan karakter dari setiap individu.

Melalui tulisan ini, penulis akan membahas persoalan kebahagian manusia melalui perspektif pemikiran filsafat Al-Kindi.

Siapa Al-Kindi itu?

Sebelum kita membahas pemikiran Al-Kindi tentang letak kebahagiaan manusia. Alangkah baiknya kita mengetahui siapa sebenarnya Al-Kindi?

Mendengar nama Al-Kindi, bagi orang-orang awam pada umumnya mungkin terdengar asing di telinga. Tapi bagi orang-orang yang belajar disiplin ilmu seperti filsafat, apalagi Filsafat Islam. Nama Al-Kindi pasti sudah mashur mereka dengar.

Al-Kindi lahir di Basra pada tahun 185 H/801 M, tumbuh besar di Baghdad, dan meninggal pada 252 H/866 M. Al-Kindi memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq al-Kindi. Ia merupakan ahli dalam berbagai bidang ilmu seperti kedokteran, aritmatika, logika, astronomi dan mempunyai kemampuan khusus, sebagai penerjemah sekaligus editor buku-buku filsafat Yunani.

Menurut beberapa sumber Al-Kindi hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah; yang pada saat itu di bawah kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim.

Al-Kindi merupakan satu-satunya filsuf Islam yang berasal dari keturunan Arab asli, sebab filsuf lainya berasal dari Perisa dan Turki. Ia mendapatkan julukan sebagai the philosopher of the Arabs, julukan tersebut ia dapat atas penguasaanya terhadap filsafat serta disiplin ilmu lainnya, dan masuk dalam jajaran filsuf terkemuka.

Karya-karya Al-Kindi antara lain berbicara tentang ilmu filsafat, logika, ilmu hitun, astronomi, geometri, medis, musik, dialektika, psikologi, politik, meteorologi, serta dimensi hitung, dan sebagainya.  Seperti Fi al-Falsafat al-Ula, Kitab al-Hassi ‘ala Ta’allum al’Falsafat, Kammiyat Kutub Aristoteles, Fi al-Nafs, dan sebagainnya.

Wafatnya Al-Kindi terdapat beberapa versi. Merujuk dalam buku Sirajudin Zar, Filsafat Islam: Filsuf dan Filsafatnya, dalam buku tersebut, tidak ada yang tahu tahun berapa Al-Kindi wafat. Menurut Mustafa Abd al-Raziq, Al-Kindi wafat pada tahun 252 H. Sedangkan menurut Massignon tahun 260 H, yang diamini oleh Hendry Corbin dan Nellino. Selain itu, Yaqut al-Himawi mengatakan bahwa Al-Kindi wafat sekitar tahun 265, sesuai tahun kelahirannya tahun 185 H dengan umurnya 80 tahun.

Kebahagiaan Manusia

Di antara permasalahan penting yang menjadi pemikiran para filsuf muslim bukan hanya tentang, etika, moral, roh dan akal. Namun juga kebahagiaan manusia menjadi pokok pemikiran. Al-Kindi berasumsi bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir hidup manusia.

Al-Kindi berfokus pada pembahasan moral dan jiwa yang mengarah pada kebahagiaan manusia. Hampir seluruh pemikiran Al-Kindi berkaitan dengan pencapaian kebahagiaan. Termasuk pemikiannya tentang politik.

Berbeda dengan kajian etika atau filsafat moral pada kajian-kajian filsafat umumnya, yang hanya membahas tentang tuntunan untuk berbuat baik. Namun pembahasan dalam etika menurut Al-Kindi sangat erat kaitannya dengan tercapainya kebahagiaan manusia. Yang hakikatnya sejati di akhirat kelak. Dengan cara mengabaikan dunia dan meningkatkan pengetahuan tentang spiritual, terutama tentang sang Pencipta.

Konsep kebahagiaan yang disampaikan filsuf muslim bisa dibedakan menjadi dua, yaitu kebahagiaan yang berkaitan dengan perbuatan fisik atau jasmani dan kebahagiaan yang berkaitan dengan kesempurnaan akal dan jiwa.

Konsep pertama tentang kebahagiaan yang dapat dicapai oleh setiap orang asal senantiasa melakukan setiap perintah-perintah yang telah dianjurkan dan menghindari perbuatan yang lain. Sedangkan konsep yang kedua, tidak dapat dicapai oleh sembarang orang, hanya orang-oang tertentu yang mampu memaksimalkan kemampuan akalnya untuk memikirkan segala hal sedalam-dalamnya. Sepertinya konsep kedua yang dimaksudkan Al-Kindi tentang kebahagiaan.

Jadi, Al-Kindi menyatakan bahwa hakikatnya manusia mempunyai keutamaan yang sempurna. Oleh karenanya, untuk memperoleh hal tersebut manusia harus membelenggu hawa nafsunya.

Saat manusia mencapai kenikmatan hidupnya adalah ketika manusia memiliki budi pekerti yang terpuji. Di sisi lain, ketika manusia bekerja hanya untuk memperoleh kenikmatan dunia, maka sesungguhnya manusia itu telah kehilangan kemampuan akalnya.

Intinya kebahagiaan manusia bukan segala hal yang dapat kita peroleh di dunia, melainkan jika manusia itu sudah mampu meninggalkan atau merelakan kehidupan dunianya dan lebih memilih kehidupan akhiratnya.

Memfokuskan Kebahagiaan

Tidak ada manusia di dunia ini yang mampu mecarai apapun yang ia inginkan dan menghindari kejadian agar kejadian itu tidak terjadi padanya. Untuk lari dari kekhawatiran tersebut adalah dengan cara menjadi bebas. Bebas maksudnya menghilangkan semua beban kehidupan dunianya (kehidupan dunianya ia lepaskan) dan berfokus pada kebahagiaan akhiranya.

Mengutip dari pernyataan Walzer, berdasarkan karya Al-Kindi tentang etika Aristotes, ia membaginya menjadi tiga pokok besar, yaitu:

  1. Untuk menghindari kesedihan agar tercapai kebahagiaan adalah manusia wajib lebih mementingkan kehidupan spiritual dibandingkan kehidupan dunia.
  2. Menempuh jalan yang betujuan untuk menghindari kesedihan menuju kebahagiaan, maksudnya harus ada usaha dan pelatihan yang konsisten.
  3. Tercapainya manusia yang sampai pada titik kebahagiaan.

Al-Kindi berbicara tentang hakikat jiwa yang bersih adalah di mana manusia mampu menerapkan sikap yang moderat, ketengahan atau toleran. Karena bagi Al-Kindi tujuan akhir manusia adalah bukan memperkaya diri dengan kekayaan dunia, melainkan mencari kebijaksanaa, kedamaian dan ketenangan.

Manusia yang bijaksana akan selalu mengejar kepada keadilan, Al-Kindi memandang keadilan sebagai keseimbangan. Baginya, kekuatan terbesar manusia terletak pada kekuatan jiwanya, ketika manusia mampu membelenggu hawa nafsu dan kemarahannya.

Penulis menyimpulkan bahwa letak kebahagiaan manusia menurut Al-Kindi adalah bersumber pada kebersihan jiwa yang didukung dengan kemampuan akal manusia. Dari akal yang mampu mengikat hawa nafsunya sehingga jiwa manuisa bersih dan mampu menghasilkan etika yang baik. Maka dengan etika yang baik itulah manusia sampai di titik kebahagiaanya.

Bagikan
Exit mobile version