Site icon Inspirasi Muslimah

Ada yang Lebih Layak Dilakukan Perempuan Ketimbang Galau Soal Pasangan

perempuan

Soal menikah, menjawab pertanyaan ‘kapan’ barangkali perempuan yang paling susah. Dalam hati inginnya segera tapi apa daya tak tahu cara. Apalagi jika termasuk orang-orang terjaga; kala menjawab ‘tidak’ pada yang bertanya ‘yang dekat apakah ada’; orang-orang tak percaya juga. Tidak semua pikiran perempuan sederhana hingga dengan mudah mengikuti saran; ‘ikut forum taaruf saja’. Menerima orang yang mencintainya saja butuh waktu apalagi benar-benar membuka diri pada orang baru.

Pada keadaan yang demikian itu, satu-satunya yang mampu membantu hanyalah Sang Maha Penentu. Memohon petunjuk setiap waktu, meminta saran siang malam, hingga melangitkan sebuah nama dengan malu-malu kadang. Meski yang terdekat bilang; ‘nggak apa lho perempuan mulai duluan’. Perempuan tahu, melakukan tak segampang mengatakan; ada konsekuensi besar yang telah menanti; ada persiapan yang jauh harus lebih matang kala memutuskan untuk mengawali.

Jika memutuskan untuk menunggu dengan sabar, ada banyak hal yang jauh lebih layak untuk kita persiapkan ketimbang terus terjebak dalam kebimbangan apalagi harapan–yang kecil kemungkinan jadi kenyataan. Jika telah tahu bahwa Allah akan hadirkan seseorang yang tepat pada waktu yang tepat, tak cukup hanya meyakini saja, karena ‘waktu yang tepat’ tidak mesti mutlak pada tanggal tertentu, kebanyakan justru saat kita benar-benar siap dan mampu: ujung-ujungnya relatif. Dan tentu, untuk menghadirkan ‘waktu yang tepat’ itu butuh usaha aktif.

Demikian, sebagai teman yang sama-sama memilih untuk menanti dalam ketaatan, saya rangkumkan alternatif berikut untuk sahabat-sahabat perempuan:

1. Coba Susun CV Taaruf

Menyusun CV taaruf tidak mesti harus ketika akan bergabung dalam forum taaruf atau bahkan termotivasi membuat karena berandai-andai agar kita siap saat seseorang yang kita semogakan tiba-tiba mengajak bertukar CV. Tidak perlu sejauh itu dulu.

Menyusun CV dapat menjadi refleksi akan kesiapan diri. Karena di sana, kita tak hanya menuangkan gambaran diri sendiri, tetapi persiapan pernikahan–baik finansial (dari mana saja sumber penghasilan, rencana pendanaan pernikahan bagaimana) maupun keilmuan (telah mempelajari buku, telah menelaah kajian atau ilmu apa saja), visi-misi, dan gambaran mengenai pasangan yang kita butuhkan, juga harus teruraikan dengan jelas.

Sebagaimana kita memerlukan waktu yang tidak sebentar, bahkan bertahun-tahun, meletakkan usaha yang sangat-sangat ekstra untuk mempersiapkan dan membangun CV untuk kepentingan karir, untuk kepentingan pernikahan pun harusnya juga.

Mengapa harus CV, bukan rencana atau target tertulis biasa saja?

Menyusun CV akan lebih memproyeksikan pikiran kita; bahwa yang tertulis ini akan dibaca oleh teman hidup. Dari sana kita akan mencermati; kolom mana yang masih kosong, bagian mana yang belum mampu kita tuliskan karena kita sendiri pun ternyata ragu untuk sekadar menyebutkan atau menguraikan, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu untuk menyempurnakan CV yang ternyata belum mampu kita tuntaskan itu?

Akhirnya kita akan menyadari bahwa ada serangkaian hal yang harus kita tuntaskan terlebih dahulu. Kita akan terdorong untuk menetapkan target dan akan lebih sungguh-sungguh untuk mengusahakan yang terbaik untuk mengisi penuh CV yang kita miliki.

2. Siapkan Diri Sesuai Visi Misi yang Telah Ditetapkan

Kita telah tahu bahwa pernikahan merupakan ibadah terpanjang. Visi atau tujuan jangka panjang harus kita tetapkan. Perlu juga merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai visi; itulah misi.

Misal, dalam pernikahan itu, kita bercita-cita: “membangun keluarga yang kebermanfaatannya tersebar di segala sektor kehidupan”.  Maka coba kita petakan bahwa suatu hari nanti, ketika telah memiliki putra-putri, ada anak yang perannya dakwah di atas mimbar, pun ada yang jadi ilmuwan.

Untuk mendukung peran si anak yang kita petakan sebagai pendakwah di atas mimbar itu; kita perlukan misi seperti: memiliki target hafalan Al-Qur’an bagi setiap anggota keluarga, memiliki jadwal rutin kajian bersama dengan setiap anggota keluarga mendapatkan giliran untuk menjadi pemateri, misalnya.

Sedang yang nantinya akan dipetakan sebagai seorang ilmuwan, tentu kita perlukan langkah agar  bagaimana caranya ia menjadi pembelajar sejati dan memiliki rasa ingin tahu tinggi. Maka kita perlu tambahkan misi seperti; menumbuhkan sikap cinta terhadap buku-buku dan ilmu, mengadakan rihlah setiap tahun sambil berdiskusi mengenai fenomena alam.

Dan tentu, ada yang lebih penting dari semua itu, yakni bagaimana kita nantinya sebagai seorang ibu siap mendampingi dan menghadirkan lingkungan yang mendukung agar cita-cita tersebut terealisasi. Bukankah kecerdasan seorang ibu adalah yang paling dominan turun ke anak?

Memiliki anak seorang hafidz Al-Qur’an tentu cita-cita setiap orang tua. Namun bagaimana membentuk anak agar sampai ke arah sana?

Sebagai contoh pada keluarga Imron, untuk mempersiapkan Maryam, wanita suci lagi dihormati, menjadi seseorang yang dekat dengan Sang Maha Pemberi, Hannah (Sang Istri) telah mempersiapkannya sejak jauh-jauh hari. Kita sebagai seorang yang biasa-biasa pun seharusnya begitu. Jika masih mampu, maka menyibukkkan diri dengan Al-Qur’an dan terus berusaha menghafalkannya pun perlu.

 Langkah mudah memang menghadirkan si anak di taman tahfidz sejak dini, tetapi terbiasa sejak dalam kandungan sampai bisa mendengar dan melihat, menyaksikan kedua orangtuanya berjibaku menghafal lebih membuat anak termotivasi lagi. Maka, bisa juga kita tetapkan target hafalan sebelum menikah, jika inginkan cita-cita yang demikian. Waktu kita untuk menanti jadi lebih berfaedah pula, bukan?

3. Olahraga dan Olahrasa

Figur ibu erat dengan istilah manusia serba bisa. Untuk mendukung keserbabisaannya, maka perlu fisik yang tak hanya kuat tetapi juga sehat. Sebagai perempuan, kita perlu menyadari juga, bahwa kesehatan jangka panjang dipengaruhi oleh pola hidup pada masa sekarang. Memulai untuk tidak egois dengan berusaha makan makanan yang sehat, olahraga teratur, dan istirahat cukup. Jika keseimbangan gizi masih belum terpenuhi, masih bisa kita usahakan sejak kini.

Satu lagi yang tak kalah penting kita persiapkan selain fisik adalah mental. Jika pertanyaan ‘kapan nyusul’ saja masih merasa tersinggung, alih-alih menjawabnya dengan santai dan hati lapang, barangkali itu indikasi juga bahwa kita masih perlu banyak olahrasa. Kita akan hidup dengan orang lain, yang barangkali belum tersingkap 100% perangai aslinya. Selalu akan ada hal-hal tak terduga yang akan terjadi. Teman-teman yang hidup dengan orang tua tentu lebih mengerti ini.

Terkadang, keributan dalam keluarga dapat menjadi pengalaman traumatis tersendiri. Bahkan ada yang takut berkeluarga karena ketidakharmonisan keluarga sebelumnya. Namun itu lah yang harus kita pahami dan hadapi. Jika kita mampu menilik sudut pandang yang bijak, justru akan membuat kita lebih siap. Menyadari bahwa kita pun bisa menentukan nasib keluarga kita sendiri, dengan melihat pembelajaran yang kita dapatkan setelah berdamai dengan keadaan yang pernah dilalui, tanpa melampiaskannya pada keluarga kita di masa depan.

Ketiga hal tersebut dapat membuat kita terus sibuk mempersiapkan, alih-alih melantunkan harapan tanpa tawakal. Mengiring bergulirnya waktu dengan senantiasa mengayakan diri dengan ilmu menjadi perlu, dan doa-doa tanpa putus adalah harus. Kita akan menjadi lebih dari siap, tidak hanya sekadar ‘merasa siap’. Pemikiran yang membuat kita ragu untuk maju barangkali bisa kita singkirkan terlebih dahulu.

Meminjam nukilan kalimat dari Dr. Mutawalli Asy Sya’rawi yang sedang trend pada caption akun-akun bride stories; “Allah mengambil darimu sesuatu yang tidak pernah engkau sangka kehilangannya, maka Allah akan memberimu sesuatu yang tidak pernah engkau sangka akan memilikinya.” Lepas segala perasaan yang belum pantas. Bebaskan diri dari segala kecenderungan yang belum tentu akan berakhir haru. Perempuan istimewa karena keterjagaannya; semoga kita termasuk salah satunya.

Penulis: Zayan Nur Asinto Rini

Editor: Martina Mulia Dewi

Bagikan
Exit mobile version