Site icon Inspirasi Muslimah

Tirakat Manusia dalam Memperoleh Cinta Allah (1)

cinta allah

fazat-azizah

Kepergian Eril, Emmeril Kahn Mumtadz, putra Gubernur Jawa Barat, Ridwal Kamil dan Atalia Prataya yang ramai di jagat maya dua pekan terakhir, mengingatkan pada seorang sahabat rasa saudara yang sudah kembali ke pangkuan Ilahi lebih dahulu 5 tahun silam karena kecelakaan. Kemiripan antara Eril dan sahabat adalah ketiadaannya menggetarkan hati orang yang tidak mengenalnya. Serasa alam pun turut berduka cita mengantar kepergiannya, manakala cuaca yang biasa terik membakar berubah tak biasa menjadi mendung dan hujan membasahi bumi. Allah lebih mencintai keduanya.

Sepintas, ketika ramai untaian doa melangit untuk Eril, hal yang pertama terbesit, “tirakat” apa yang Eril lakukan hingga mampu mengantarkannya mendatangkan cinta Allah hingga menggerakkan hati manusia bumi untuk turut mendoakan? Satu hal, bahwa ketika seseorang telah Allah cintai, maka Allah akan perintahkan semua makhluk langit dan bumi untuk mencintainya juga.

Ternyata “tirakat” yang Eril lakukan tak jauh berbeda dengan sahabat yang lebih dahulu tiada, ada jiwa sosial tinggi salah satunya. Tirakat tidak selalu berwujud sebuah amalan puasa 40 hari, seperti tirakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang memiliki dua makna yakni menahan hawa nafsu (seperti berpuasa, berpantang) dan mengasingkan diri ke tempat yang sunyi (di gunung dan sebagainya). Sebagaimana yang para raja-raja zaman dahulu kerjakan yaitu melakukan tirakat ke gunung-gunung untuk memperoleh insight (pengetahuan yang dalam akan sesuatu atau semacam karomah) atau ilmu Kanuragan dan sebagainya. Tirakat memang dalam budaya agama Budha, Hindu, dan Konghucu. Begitu pula Islam mengenal tirakat dalam aliran sufisme yang menuju tingkatan makrifat.

Penjabaran tirakat tersebut adalah pengertian tirakat secara umum. Sedangkan tirakat yang sedang penulis tuliskan ini mengenai pengertian “tirakat” yakni amal saleh.

Jiwa Sosial Tinggi (Kesalehan Sosial)

Kecerdasan dalam mendeteksi anak biasanya ada tiga, yakni kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Hirarkis tertinggi biasanya disematkan pada orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi. Padahal, ada campuran kecerdasan emosional dengan spiritual dan intelegensi yang Allah sukai yakni jiwa sosial tinggi.

Tuhan tidak hanya ada di masjid-masjid, tetapi Tuhan bersama kaum lemah papah,  mustadafin, tertindas, atau orang sakit. Itu sebabnya doa orang tertindas dan lemah tembus dengan cepat ke langit, hanya orang yang memiliki jiwa sosial tinggi yang mampu merangkul kaum ini tanpa syarat. Oleh sebab itu, Allah melatih jiwa sosial hambanya melalui rukun Islam.

Ikrar syahadatain, memberikan kosekuensi bagi hamba. Syahadatain memang ikrar manusia terhadap Allah dan Rasulullah, tetapi memiliki nilai filosofis sosial juga. Ikrar kepada Allah berkaitan dengan keyakinan dan keimanan mengenai hubungan dengan Allah (kosekuensi sebagai hamba dan khalifah yang harus memakmurkan bumi). Sementara ikrar atas kerasulan Muhammad memberikan kosekuensi untuk  mengikuti Sunnah rasul – dalam bahasa lain mengakkan nilai pro(f)etik sebagai manusia yang shaleh sosial-.

***

Rukun Islam kedua, sholat sebagai tiang agama juga mengandung keshalehan individu dan sosial. Kekhusyukan (mengingat dan menghadirkan Allah) sholat bernilai sholeh individu, sementara impact dari kekhusyukan sholat bernilai kesholehan sosial. Itu sebabnya dalam surah Al-Ankabut ayat 45, sholat bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

“Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Perbuatan keji dan mungkar terkait dengan mengendalikan sikap diri terhadap sosial. Nilai sosial sholat terekam saat mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri. Salam ke kanan dan ke kiri, merupakan wujud mendoakan saudara di sekitar kanan dan kiri kehidupan kita. Bagaimana mungkin muslim yang minimal 5 kali dalam sehari selalu mendoakan kebaikan dan keselamatan bagi saudara-saudaranya dengan sikap sadar mampu berbuat keji dan munkar? Harusnya tidak, terkecuali dalam keadaan tidak menghadirkan dan mengingat Allah yang mampu berbuat keji dan mungkar.

Ketiga, zakat, apalagi mengeluarkan zakat baik zakat maal (harta) maupun fitrah erat kaitannya dengan impact sosial. Kita menyada bahwa dalam harta kita terdapat bagian orang lain. Penyaluran zakat kepada 8 golongan penerima zakat berdasarkan surah At-Taubah ayat 60 (fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharimin, fisabilillah, dan Ibnu sabil), tidak lain adalah bertujuan memutus jurang kesenjangan sosial.

***

Puasa tidak lain menjadi media untuk melatih sisi nurani dan empati umat Islam untuk merasakan kepedihan kaum lemah dan mustadafin yang menahan lapar karena keadaan yang tidak mendukung. Di sisi lain, juga mengontrol sikap konsumtif manusia yang suka lapar mata, baik secara indrawi maupun batiniah sehingga hadiah bagi yang lulus adalah takwa (QS Al-Baqarah ayat 183).

Begitu pula dengan haji sebagai penyempurna rukun Islam yang pelaksanaannya disyaratkan bagi yang mampu, tidak hanya secara finansial tetapi juga fisik. Bagaimana pengaruh haji terhadap sosial? Ada cerita terkenal mengenai suatu kaum yang melaksanakan haji, namun tidak ada satupun yang diterima kecuali si Fulan yang batal haji. Usut cerita, si Fulan tidak jadi haji karena dana hajinya digunakan untuk menolong tetangganya.

Di balik cerita itu, haji memang sebagai rukun terakhir. Tetapi umat Islam tidak boleh membiarkan perut tetangganya kelaparan dalam tidur sementara ia kekenyangan. Oleh sebab itulah, sehingga KH. Ahmad Dahlan, hanya melakukan haji sekali seumur hidup dan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk mewujudkan kemabruran hajinya. Jiwa sosial tinggi (keshalehan sosial) sangat erat kaitannya dengan kehadiran Tuhan yang  selalu menyinari sisi nurani pelakunya.

Editor: Martina Mulia Dewi

Bagikan
Exit mobile version