Site icon Inspirasi Muslimah

Tipologi Pemikiran dan Model Pemaknaan Baru terhadap Hadis Nabi Saw.

hadis nabi

Muh Rizaldi

Suatu konsensus umat Islam dari dulu hingga sekarang bahwa hadis Nabi Saw. memiliki posisi yang sentral dalam menjawab berbagai problematika yang dihadapi oleh umat manusia. Namun, pertanyaannya kemudian seiring berkembangnya peradaban manusia; apakah sesuatu yang dituturkan beberapa abad silam masih relevan untuk dijadikan pedoman dalam menjawab problematika kekinian? Apakah sesuatu yang diucapkan dalam konteks menjawab realitas sosial tertentu bisa menjawab realitas sosial dalam konteks yang berbeda?

Jikalau hadis Nabi Saw. memang harus dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan manusia di era modern ini; haruskah diterapkan dengan mengikuti bahasa teks hadis secara totalitas atau cukup hanya secara subtantif saja? Apakah posisi Nabi Saw. yang maksum sebagai author teks hadis harus diikuti secara keseluruhan tanpa ada pengecualian-pengecualian?

Jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut adalah jawaban atas pertanyaan bagaiamana seharusnya hadis Nabi Saw. diperlakukan; atau sebenarnya bagaimana cara berinteraksi yang tepat dengan teks-teks hadis yang ada dalam kitab canonic (kitab sumber). Dalam merespon beberapa pertanyaan itu, di kalangan ulama setidaknya telah melahirkan beberapa tipologi pemikiran.

Tipologi Pemikiran  

Pertama, tipologi pemikiran yang cenderung literal dalam memahami teks hadis dan enggan untuk melihat makna yang lebih jauh dari suatu teks; dalam konteks apa teks itu dituturkan, siapa yang menjadi audience pertama, apa yang menjadi tujuan suatu teks dan lain sebagainya. Bagi tipologi pemikiran ini, hadis Nabi Saw. harus dipandang sebagai teks yang mengandung unsur ilahiyah yang bersifat final; olehnya ia harus diterima apa adanya. Yusuf Qardawi menyebut model pemikiran seperti ini sebagai al-Dzhiriyyah al-Judud (Neo-Dzahiriyah).

Kedua, tipologi pemikiran yang cenderung kritis dalam memaknai suatu teks hadis dengan mempertimbangkan analisis kebahasaan dan latar belakang munculnya suatu teks hadis;  posisi Nabi  Saw. ketika me-wurud-kan teks hadis (apakah sebagai Nabi dan Rasul, sebagai manusia biasa; pemimpin negara; pemimpin perang; seorang suami; atau sebagai seorang hakim), serta kondisi sahabat yang menjadi audience pertama; meliputi kondisi psikologi, kapasitas intelektual dan kultur budaya. Metode pembacaan hadis model pemikiran  ini memahami hadis secara bervariasi, yakni; ada hadis Nabi Saw. yang bersifat universal, temporal dan lokal.

Ketiga, tipologi pemikiran yang memandang teks-teks keagamaan termasuk di dalamnya hadis Nabi Saw. sebagai suatu organisme yang hidup dan dinamis; olehnya untuk memahaminya harus di bawah sinar intelektualitas kekinian agar teks-teks tersebut tidak menjadi usang dan rapuh. Model pembacaan seperti ini dipelopori oleh Syahrur yang tertuang dalam beberapa karya monumentalnya yang kemudian diamini oleh beberapa penstudi Islam liberal.

Keempat, tipologi pemikiran yang cenderung skeptisterhadap otentisitas hadis sebagai sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Seiring perkembangan model, pemikiran ini telah mengalami beberapa pergeseran hingga terbagi-bagi; mulai dari yang sangat skeptis terhadap otentisitas hadis dengan berpandangan bahwa tidak ada teks hadis yang dapat direngkuh dari literatur yang tersedia; sampai yang non skeptisyang mengakui kemungkinan adanya hadis yang murni bersumber dari Nabi Saw. Akan tetapi perlu adanya usaha untuk mendekonstruksi kembali, sebab metode ulumul hadits memiliki kelemahan epistimologis yang sangat mendasar.

Model Pembacaan Baru terhadap Hadis Nabi Saw.

Dari beberapa tipologi pemikiran di atas, hemat penulis model pemikiran yang tepat untuk dijadikan sebagai acuan dalam mendialogkan teks hadis dengan realitas sosial yang dinamis ialah elaborasi antara tipologi pemikiran kedua dan ketiga. Upaya elaborasi perlu untuk dilakukan, sebab untuk mengetahui makna subtansial dari suatu teks hadis perlu adanya usaha analisis teks dan identifikasi konteks. Namun, tidak cukup hanya dengan langkah tersebut, akan tetapi perlu adanya langkah lanjutan yakni “menyinari” teks dan konteks dengan intelektualitas kekinian; atau dalam bahasa Amin Abdullah integrasi-interkoneksi.

Agaknya, model pemaknaan seperti itu telah tercermin dari hasil terobosan Sahiron Syamsuddin yakni teori hermeneutika  “ma’na cum maghza”  yang merupakan hasil racikan dari beberapa pemikir mufassir kontemporer yakni Fazl Rahman; Nashr Hamid Abu Zayd; Abdullah Said; dan Muhammad al-Talbi. Dalam pengaplikasiannya Sahiron Syamsuddin dalam buku “Pendekatan Ma’na Cum Maghza Atas al-Qur’an dan Hadis; Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer”  menuturkan, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan oleh setiap mufassir yakni; al-ma’na al-tarikhiy (makna historis), al- maghza al-tarikhiy (signifikansi fenomenal historis), al-maghza al-mutaharrik (signifikansi fenomenal dinamis).  

Adapun langkah metodologis dari pendekatan tersebut jika dikaitkan dengan hadis Nabi Saw. yakni; pada aspek al-ma’na al-tarikhiy dan al-maghza al-tarikhiy, langkah pertama yang harus dilakukan pensyarah teks hadis; ialah menganalisa aspek kebahasaan teks (mulai dari makna kosa kata sampai pada struktur kaidah bahasa yang dipahami dan digunakan bangsa Arab pada abad ke 7).

Kedua, pensyarah hadis melakukan intertekstualitas yakni dengan mengambil informasi dan membandingkannya dengan teks lain berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang senada; teks hadis lain; syair Arab; dan teks yang lainnya.

Ketiga, pensyarah hadis mengidentifikasi latar belakang munculnya teks hadis atau yang lazim dikenal dengan istilah asbab al-wurud hadis; termasuk di dalamnya posisi Nabi ketika menuturkan hadis dan kondisi sahabat sebagai audience pertama.  

Keempat, pensyarah hadis mencoba mengungkap pesan utama dari teks itu (maqasid atau meghza/signifikansi) dengan berdasar pada analisa bahasa dan konteks sebelumnya.

*

Kemudian, untuk mengungkap aspek al-maghza al-mutaharrik (pesan yang selaras dengan konteks masa kini) pensyarah hadis perlu menempuh beberapa tahap di antaranya :

Pertama, menentukan kategori teks hadis yang sedang disyarah apakah masuk dalam kategori ranah tauhid, kisah atau hukum.

Kedua, berusaha untuk mengembangkan definisi pada al-ma’na al-tarkhiy; serta berupaya mengembangkan cakupan pesan utama atau al-maghza al-tarikhiy demi kebutuhan masa kini.  Berkembangnya realitas sosial dalam konteks kekinian menjadi perhatian utama pada tahapan ini.

Ketiga, seorang pensyarah hadis diharapkan jeli dalam mengungkap makna simbolik teks hadis yang disyarah.  

Keempat, sebagai langkah terakhir pensyarah hadis mengintegrasikan hasil uraiannya dengan ilmu bantu yang selaras dengan tema hadis agar mendapatkan makna yang lebih luas.

*

Dengan model pemaknaan di atas, yakni berusaha untuk mendialogkan teks hadis yang “bisu” dengan realitas sosial yang terus berkembang, akan dapat menjembatani tegaknya prinsip al-islam salihu likulli zaman wa makan dalam artian ajaran Islam yang termuat dalam hadis Nabi Saw. akan tetap aktual untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam menjawab berbagai problematika umat manusia sepanjang masa.  

Sebaliknya, ketika seseorang masih terjebak dengan tipologi pemikiran yang cenderung literal dalam memaknai teks hadis dengan memandang hadis sebagai suatu yang mengandung unsur ilahiyah yang bersifat final. Hadis Nabi Saw. boleh jadi perlahan akan ditinggalkan oleh manusia sebab akan terlihat kaku; rapuh; dan usang ditelan arus perkembangan peradaban manusia.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis agaknya perlu untuk menekankan bahwa tidak semua kalangan bisa dan atau pantas untuk berinteraksi secara langsung dengan teks-teks hadis dalam hal mengungkap makna hadis untuk dijadikan sebagai pedoman umat; ada banyak hal yang perlu dipenuhi terutama pada aspek kedalaman ilmu alat dalam hal menafsirkan/mensyarah suatu teks keagamaan (Al-Qur’an dan hadis).

Hal demikian perlu untuk ditekankan melihat banyaknya oknum agamawan yang dengan mudah menyalahkan orang lain atas nama Hadis Nabi; padahal ia tidak memiliki otoritas keilmuan di bidang itu.  Bagi kita sebagai insan yang awam, cukup ‘bertaqlid’ pada pandangan ulama yang memiliki otoritas keilmuan untuk dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Wallahu a’lam bi al-shawab.    

Bagikan
Exit mobile version