Site icon Inspirasi Muslimah

Surat Terbuka untuk Wali Siswa: Prestasi bukan Kata Benda

prestasi

Erfin-Walida

Yang terhormat,

Ayah/ Bunda Wali Siswa

di mana pun berada

Sistem ranking telah dihapus beberapa tahun terakhir. Namun, setiap hari penerimaan rapor, ada saja yang bertanya terkait ranking ananda. “Anak saya peringkat berapa?” atau “Siapa ranking pertamanya?”

Pertanyaan tersebut acap kali guru dapati saat pembagian rapor. Padahal, semua tahu bahwa peringkat kelas sungguh penilaian subjektif. Hanya dilihat dari segi kognitif. Sistem tersebut tidak ramah anak, karena tidak memvalidasi kemampuan mereka yang beragam. Ranking juga merusak psikososial mereka, karena ranking membuat setiap anak ingin menjadi juara dengan cara mengalahkan temannya. Bukankah era revolusi industri 4.0 mengedepankan kolaborasi, bukan kompetisi?

Ayah dan Bunda. Setiap anak memiliki keunikan masing-masing. Tak harus semua pandai matematika, bahasa, atau kesenian, misalnya. Pun tak semua anak harus dapat predikat A. Ia punya sisi kecerdasan yang berbeda dengan teman lainnya. Jadi, tak perlu lagi membandingkan. Seperti halnya orang dewasa. Semua punya passion di bidangnya. Sungguh, jika mampu menyadari, setiap anak adalah juara. Setiap anak berprestasi.

Teringatlah saya pada seorang murid. Ia tak pandai membaca, apalagi menulis. Namun, ia mampu membuat perubahan di sekitarnya. Ia periang dan menghidupkan kelas dengan ide-idenya. Bukankah ia seorang juara?

Teringat pula pada seorang murid yang kurang lihai bicaranya. Sering kali ditertawakan temannya. Tapi, ia menuliskan cerpen dengan sangat indah. Menelurkan ide bernas yang tak terpikirkan oleh gurunya. Apakah itu tak layak menjadi prestasi?

Atau juga si pendiam. Ia tak terlalu mencolok dan tak banyak bertanya. Namun, ia dirindukan semua teman karena suka berbagi dan tak pernah marah. Sungguh itu prestasi yang ia punya. Ia lihai mengondisikan dirinya. Di saat teman lain masih sulit mengendalikan egonya.

Ayah dan Bunda. Seharusnya prestasi bukanlah kata benda. Bukan semata angka dan predikat A. Tapi, prestasi adalah kata kerja. Menjadi bermanfaat bagi diri dan sekitarnya serta mampu menyesuaikan diri di tengah pandemi ini merupakan capaian luar biasa.

Seharusnya prestasi yang dinilai adalah perubahan masing-masing anak dari kondisi sebelumnya. Bukannya baru diakui setelah dibandingkan dengan temannya. Mereka berangkat dari start yang berbeda, dituntut untuk mencapai finish yang sama. Bukankah itu tak adil?

Tujuan dari pendidikan adalah memerdekakan. Membantu anak didik menemukan kebahagiaannya. Namun, jika momen penerimaan rapor menjadi sebuah ketakutan, lantas masih disebut memerdekakan?

Ayah dan Bunda. Saat hari itu tiba, mari berlapang dada dan merendahkan hati. Buka rapor ananda dengan senyuman. Ananda telah melaluinya. Belajar di tengah pandemi telah menguras energi dan emosinya. Orang dewasa saja perlu waktu lama untuk beradaptasi dengan perubahan ini, apalagi mereka.

Bolehlah memberi reward kepada ananda yang telah bekerja keras semampunya. Agar ia menghargai diri dan usahanya. Ajaklah duduk bersama, tatap matanya, peluk erat dan katakan, “You have already done. Kamu telah melaluinya. Terima kasih telah berusaha.”

Hormat kami,

Guru biasa

Bagikan
Exit mobile version