Site icon Inspirasi Muslimah

Sisi Lain Makna Hadis tentang Dajjal; Seorang Penulis yang ‘Mendajjali’ Pembaca, Mungkinkah?

hadis dajjal

Muh Rizaldi

Perbincangan mengenai fenomena akhir zaman selalu menjadi hal yang menarik dan misterius. Pasalnya, ia termasuk dalam klasifikasi hal-hal ghaib yang di mana nalar memiliki keterbatasan untuk menarasikannya secara komprehensif. Di antara uraian fenomena akhir zaman yang hingga saat ini masih hangat menjadi perbincangan di kalangan para pendakwah dan juga kalangan akademisi ialah tentang Dajjal.

Selama ini, uraian tentang Dajjal di sebagian kalangan agaknya masih sangat bersifat normatif-doktrinal yang berdasar pada pemahaman terhadap teks secara literal. Olehnya, deskripsi-deskripsi yang muncul seringkali hanya terjebak pada narasi tentang wujud Dajjal yang menakutkan; berambut keriting, buta mata kanannya, terdapat gumpalan di matanya, memiliki kekuatan yang laur biasa, dan yang  lainnya.

Padahal, jika ingin ditelisik lebih jauh, narasi tentang Dajjal dalam literatur-literatur keislaman memiliki pemaknaan yang beragam. Di antaranya terdapat ulama yang memaknai teks-teks agama yang memuat informasi tentang Dajjal sebagai teks yang bermakna simbolik. Salah satunya ialah M. Syuhudi Ismail (w.1995).

M. Syuhudi Ismail merupakan seorang ulama hadis kontemporer Indonesia yang aktif menulis di bidang hadis. Dalam salah satu karyanya yang berjudul ‘Hadis Yang Tekstual dan Kontekstual’ ia menguraikan makna hadis tentang Dajjal yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim dengan pemaknaan yang berbeda “Dari Abdullah bin Umar bahwa, Rasulullah saw. menyebut al-dajjal dimuka orang banyak, kemudian beliau bersabda,“sesungguhnya Allah swt. tidak buta sebelah mata. Ketahuilah, sesungguhnya al-masih al-dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedangkan matanya seperti buah anggur yang timbul” (Muttaqaun ‘Alaih).

***

Menurutnya, pernyataan bahwa Allah tidak buta sebelah mata merupakan ungkapan simbolik. Allah Maha Suci dari segala sifat yang menyamakannya dengan makhluk. Ungkapan tersebut dapat dimaknai sebagai kekuasaan. Jadi, maksud dari ungkapan itu ialah kekuasaan Allah tidaklah cacat, tapi Maha Sempurna. Olehnya, pernyataan bahwa al-masih al-dajjal itu buta mata kananya pun juga merupakan suatu ungkapan simbolik. Yang simbolik dalam hal ini bukan hanya ‘matanya yang buta sebelah kanan’ saja, tapi juga diri al-masih al-dajjal itu sendiri.

Lebih lanjut Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa, uraian yang terdapat dalam beberapa kitab syarah hadis yang menunjukkan gambaran tentang fisik Dajjal sebagaimana yang disebutkan dalam matan hadis Nabi Saw. merupakan pemahaman secara tekstual. Adapun pemahaman kontekstualnya, al-Dajjal dalam hal ini ialah keadaan yang penuh dengan ketimpangan; penguasa pada saat itu bersifat lalim, kaum duafa tidak diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya yang melanda di tengah-tengah masyarakat.

Dari pandangan Syuhudi Ismail di atas, kita bisa pahami bahwa, boleh jadi, Dajjal yang selama ini kita pahami dengan gambaran fisiknya yang menakutkan seperti yang digambarkan dalam film-film atau meme yang tersebar di media sosial tidaklah demikian. Akan tetapi, lebih tepat dimaknai sebagai sifat penguasa atau siapa pun yang menjadi asbab terjadinya ketimpangan sebagaimana uraian Syuhudi Ismail. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Muhammad al-Gazali (w.1996) dalam karyanya al-Sunan al-Nabawiyah Baina Ahl Fiqh wa Ahl al-Hadis yang memahami kata Dajjal dalam hadis di atas sebagai salah seorang pemimpin Yahudi, termasuk juga para ‘ahli ilmu’ mereka yang tersebar.

***

Berangkat dari pemaknaan tersebut, yang cenderung memahami hadis tentang Dajjal dengan pendekatan kontekstual, muncul sebuah ‘inspirasi liar’ dalam benak penulis. Sebagaimana pandangan Muhammad al-Gazali yang mengatakan ‘ahli ilmu’ pun juga bisa termasuk dalam kategori dajjal, maka ketika narasi ini kita bawa pada ranah penelitian (tulis-menulis); boleh jadi ‘ahli ilmu’ yang menulis dengan menggunakan prinsip kaca mata kuda serta dengan sengaja membatasi dirinya hanya pada satu sudut pandang; ia termasuk dalam klasifikasi penulis yang ‘mendajjali’ pembacanya; sebab ia telah menjadi penyebab terjadinya ketimpangan pemahaman.

Sebagai salah satu contoh, kisah dialetika antara penulis dengan salah seorang kawan sejawat. Kurun waktu yang lama, penulis terpisah dengan kawan tersebut untuk melanjutkan studi masing-masing. Tiba-tiba bertemu di suatu tempat dengan suasana dan style kawan yang berubah drastis (paling menonjol ‘celana cingkrang’). Penulis bertanya dengan nada bercanda “Ubah halauan style cika (panggilan akrab) yah??”. Ia pun menjawab Iya cika, beginilah yang saya pahami tentang pakaian yang sesuai syariat berdasar pada bacaan hadis dan diskusi dengan teman-teman di komunitas.. Lebih lanjut penulis bertanya, “Hadis yang seperti apa itu cika?” Kawan pun membacakan hadis “kain yang terjulur di bawa mata kaki maka tempatnya di neraka (HR. al-Nasa’i)”.

Tanpa menanyakan lebih lanjut, dalam benak penulis mucul sebuah pernyataan dan beberapa pertanyaan,“Apakah hadis tentang celana cingkang hanya itu? Apakah orang-orang yang kain celananya menjulur di bawa mata kaki sudah pasti masuk neraka? Apakah makna hadis itu cukup hanya dipahami dengan makna satu teks semata? Alangkah ironi ketika semua laki-laki harus memotong celannya atas dasar hasil bacaan itu”. Jawaban atas beberapa pertanyaan tersebut penulis dapatkan dalam buku yang ditulis oleh Prof. Arifuddin Ahamad, guru besar Ilmu hadis UIN Makassar yang berjudul “Metodologi Ilmu Ma’ani al-Hadis”.

***

Hemat penulis, di buku itu diurakan, dalam kasus hadis tentang ‘isbal’ terdapat periwayatan secara tam(lengkap)dan periwayatan secara naqis(kurang), dalam artian riwayatnya sangat beragam. Olehnya, dalam menentukan fiqh al-hadis tentang celana cingkrang terlebih dahulu harus mengumpulkan riwayat-riwayat tersebut. Singkatnya, berdasar pada makna hadis tersebut (baik yang tam ataupun naqis) dapat dipahami bahwa, yang menjadi illat hukum celana cingkrang ialah sikap khuyala’ (sombong) bukan pada model pakaiannya.  

Ironisnya, uraian-uraian tentang celana cingkrang, yang tersebar di madia sosial; baik dalam bentuk meme ataupun tulisan-tulisan singkat  justru banyak yang hanya menggunakan satu sudut pandang saja; sebagaimana pemahaman kawan penulis tadi. Olehnya, boleh jadi hal ini termasuk dalam kategori penulis yang ‘mendajjali’ pembacanya yang menyebabkan orang jadi gagal paham tentang celana cingkrang; hingga semua orang seakan diharuskan memotong celananya (ketimpangan pemahaman).

Hal yang penulis ingin sampaikan dalam tulisan singkat ini tidak bermaksud untuk menyalahkan orang yang berpakaian ‘celana cingkrang’, apa lagi hingga beranggapan itu termasuk dalam ketogori ‘dajjal’ tidak sama sekali. Akan tetapi, hanya ingin menekankan bahwa, dalam konteks menyampaikan pesan-pesan keagamaan dalam bentuk tulisan; sikap objektivitas dan usaha untuk memperluas wawasan merupakan suatu keharusan. Sebab, jangan sampai justru kita yang malah ‘mendajjali’ orang akibat dari tulisan kita yang hanya menggunakan satu sudut pandang saja; sebagaimana dajjal yang buta mata kanannya. Wallahu ‘alam bi al-shawab.

Bagikan
Exit mobile version