Site icon Inspirasi Muslimah

Seni Mendengarkan menjadi Pondasi Pendidikan Toleransi dalam Keluarga

mendengarkan

“…Orang dewasa memberi aku nasehat agar mengesampingkan gambar ular sanca terbuka atau tertutup, dan lebih banyak memperhatikan ilmu bumi, sejarah, ilmu hitung, dan tata bahasa. Demikianlah, pada umur enam tahun, aku meninggalkan sebuah karir cemerlang sebagai pelukis. Semangatku patah karena kegagalan gambarku nomor satu dan nomor dua. Orang dewasa tidak pernah mengerti apa-apa sendiri, maka sungguh menjemukan bagi anak-anak, perlu memberi penjelasan terus-menerus”.

Begitu kalimat yang di tulis Antoine De Saint Exupery di bukunya Le Petit Prince. Kutipan tersebut mengingatkan saya juga pada sebuah novel Di Tanah Lada dengan pengarangnya Ziggy  Zezsyazeoviennazabrizkie yang diterbitkan GPU pada tahun 2015; menceritakan tentang upaya anak kecil berumur 6 tahun bernama Salva untuk memahami dunia orang dewasa melalui kata yang ia dengarkan. Ia akan mencari tahu satu persatu kata yang ia dengar dari mulut orang dewasa dengan membuka kamus bahasa Indonesia. Nalar Salva yang sederhana terkadang tidak mampu mengartikan seutuhnya kata kiasan yang terdengar, meski ia berulang-ulang membuka kamus Bahasa Indonesia. Yang akhirnya dia memahami makna berbeda di setiap kata yang orang-orang dewasa ucapkan.

Buku-buku ini menjadi tamparan keras orang dewasa terutama kita sebagai orangtua, sebagai ibu dan ayahnya. Mendengarkan mungkin terdengar remeh, tidak menjadi bagian yang penting dalam pendidikan di lingkungan keluarga, kita terlupa bahwa indera manusia terutama anak-anak pertama kali belajar dari pendengaran dan penglihatannya. Jika hal yang simpel saja terkadang terlupa bagaimana anak-anak akan belajar menghormati, menghargai. Keberadaan anak-anak, ucapan mereka seringkali sebagian orang anggap angin lalu; kemudian saat mereka menganggap adab atau etika atau menghargai bukan salah satu komponen utama karena kita mengkerdilkan ‘mendengarkan’ dalam mendidik anak, apakah ‘mendengarkan’ masih akan dianggap tidak penting dalam membentuk karakter toleransi?

Seni Mendengarkan, Keluarga dan Toleransi

Jika kita menilik KBBI, pengertian dari toleransi /to·le·ran·si/ n adalah sifat atau sikap toleran: dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh –; batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja. Kemudian secara secara etimologi, toleransi berasal dari bahasa Latin, tolerare, yang artinya sabar dan menahan diri.  Sedangkan secara terminologi, toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri. Berdasarkan definisi artinya kemampuan seseorang untuk menahan diri ataupun bersabar terhadap sesuatu yang berbeda; sehingga dengan sikap tersebut harapannya mampu menciptakan kedamaian.

Padahal tanpa kita sadari, sebenarnya perdebatan, perselisihan, bahkan pertengkaran terjadi hanya karena “salah dengar, salah paham” yang akhirnya menciptakan permusuhan.

Allah menciptakan manusia dengan satu mulut dan dua pendengaran yang seharusnya mendengar harus lebih banyak daripada berbicara.  Bahkan Rasulullah-pun mengingatkan, barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka ucapkanlah dengan kata-kata yang baik ataupun lebih baik diam. Alasannya masuk akal, sebab kata-kata kita kelak akan dipertanggungjawabkan (QS. 50:18); sehingga kita senantiasa dituntut untuk berhati-hati dalam berbicara.

Stephen Covey si pengarang “Seven Habits” itu mengungkapkan, “most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply”. Mendengar dengan lebih baik secara nyata akan membuka kemungkinan munculnya berbagai peluang baru.

Karena sebenarnya kunci mendengarkan yang baik adalah bersifat peka dan menahan diri, mencoba untuk memahami dan tidak berupaya untuk menjawab. Kebanyakan orang tidak sungguh-sungguh mendengarkan atau memperhatikan sudut pandang lawan bicara; sehingga terkadang menimbulkan persepsi yang berbeda yang akan memunculkan prasangka dan emosi yang tidak baik.

Seni Mendengarkan dalam Pendidikan terhadap Anak

Seni mendengarkan itu memerlukan kesadaran  bahwa membiarkan orang lain menjelaskan pendapatnya sampai tuntas amat penting dan sulit jika orang tersebut mengkritik kita. Jalan terbaik jika seseorang mulai mengkritik kita adalah mendengarkannya sampai selesai dan mengakui pendapatnya sebelum membela diri.

Seni mendengarkan ini sangat penting dan bisa kita mulai dari lingkungan terdekat yakni keluarga, terutama anak-anak. Sehingga ketika kebiasaan ‘mendengarkan dan menyimak ini terbentuk maka sebenarnya kita secara tidak langsung telah membangun pondasi dalam keluarga kita untuk menghargai; menghormati dan bersabar terhadap hal-hal yang berbeda di luar dirinya. Dengan begitu, maka kita membentuk karakater yang memilki toleransi dan terbuka serta penyayang.

Maka tidak perlu ada lagi perdebatan kusir, pertengkaran bahkan dendam ada dalam pemikiran keluarga terutama anak-anak. Tidak perlu ada lagi anak-anak seperti Salva (tokoh Novel Di Tanah Lada) yang berakhir tragis atau tidak perlu lagi ada tokoh seperti di Le Petit Prince yang membenci manusia.

Lalu bagaimana cara memulainya dalam keluarga? Kita bisa melakukannya dengan memperlakukan keluarga adalah subjek bukan objek: mendengarkan mereka, memberikan cerita-cerita tentang ‘mendengarkan’, tentang ‘pemaafan’. Selain itu kita juga bisa melalui melibatkan semua anggota keluarga untuk memberikan ide, gagasan, sanggahan terhadap sebuah keputusan. Saat anak-anak berbicara pastikan telinga kita benar-benar menyimak, begitu pula saat kita berbicara dengan mereka pastikan  posisi kita setara dengan anak-anak. Memberikan teladan dengan mendengarkan, artinya kita telah mengupayakan menghormati mereka. Karena mendengarkan bukan urusan sepele, ia butuh kesungguhan dan kerja keras meski itu kepada anak-anak.

Penulis : Istikharoh (Seorang penulis pada beberapa media. Instagram : @istikharoh_yasir Facebook : Istikharoh.yasir Twitter : @AisyShinjie)

Bagikan
Exit mobile version