Site icon Inspirasi Muslimah

Saatnya Tidak Memberi Makan kepada Anak Terlalu Kenyang saat Sahur

anak sahur

 “Sahur-sahur!” Teriak beberapa remaja tanggung di depan rumah.

Speaker masjid dan musala di sekitar rumah juga tak kalah ramai. Suara wajan beradu dengan spatula, menguar aroma masakan dari wajan, bau susu vanila, dan semua riuh suara waktu sahur. Waktu satu jam bersantap sahur terasa begitu semarak. Begitulah gambaran suasana sahur saat saya berusia tujuh tahun.

Ibu kemudian membangunkan saya. Menyuruh saya segera ke dapur dan bersantap bersama sambil mendengarkan suara radio. Selama waktu sahur yang terbatas, saya selalu didoktrin Ibu untuk segera memanfaatkan waktu dengan baik. Beliau menyuruh saya untuk memakan apa saja yang disajikan. Mulai dari nasi beserta lauk pauk, susu, cemilan dan tak ketinggalan buah-buahan.

Sungguh porsi yang menakjubkan saya rasa. Apalagi Ibu terus saja menakut-nakuti saya apabila tak segera makan, maka saya akan kelaparan saat berpuasa ditengah hari. Nah, mau tidak mau, saya menurut saja. Saya memasukkan semua menu sahur, tak lupa minum air sebanyak-banyaknya lalu gosok gigi dan beranjak tidur.

Benar tidur lagi, Ibu selalu menyuruh untuk tidur lagi karena khawatir saya akan mengantuk di sekolah. Biasanya saya baik-baik saja melakukan pola semacam itu, karena saya sudah mulai berpuasa sejak tahun lalu. Pola ini sudah pernah saya lakukan. Namun, naas hari itu saya memuntahkan semua bekal puasa saya di atas kasur. Tepat setelah Ibu menyuruh saya segera tidur.

Ya, endingnya bisa ditebak. Perut saya kosong, plus masih kena marah Ibu karena saya muntah di atas sprei yang baru diganti. Aneh memang, kok bisa saya yang salah orang Ibu yang nyuruh makan. Tetapi sebagai anak yang baik, saya tidak pernah memprotes keputusan Ibu tentunya.

Saya rasa apa yang Ibu saya lakukan merupakan sebuah kelaziman di masyarakat. Bagaimana sebuah kesempatan atau waktu yang sempit sering dijadikan sebagai aji mumpung.

 “Yuk, makan mumpung masih bisa makan pas sahur, nanti pas puasa uda nggak bisa lo.”

“Yuk, mulai banyak mengumpulkan uang mumpung masih menjabat, nanti kalau sudah tidak menjabat tidak bisa lo,” Ups.

Suatu hal yang sepele sebenarnya cuma memberikan nasehat untuk makan dan minum persiapan sebelum adanya larangan sementara makan dan minum. Namun, yang jadi masalah adalah bagaimana kita sebagai pihak luar mendikte anak untuk terus menerus makan dan minum tanpa tahu seberapa porsi yang pas untuk anaknya. Anak ditakut-takuti dengan fakta kalau tidak segera makan dan minum akan merasakan lapar dan haus disiang bolong.

Padahal, normal itu untuk merasakan lapar dan haus karena puasa. Toh, secara alami tubuh kita memiliki tabungan lemak yang bisa kita gunakan untuk mengatasi permasalahan lapar dan haus ini. Namun, karena adanya doktrin jika tidak makan banyak maka tidak akan kuat melaksanakan puasa, maka anak akan cenderung untuk terus menerus makan tanpa memperhatikan kapasitas perut mereka.

Pola sederhana makan berlebihan saat masih ada kesempatan. Sebuah doktrin yang mendarah daging, dan tanpa sadar terus menerus kita terapkan dalam kehidupan. Kita cenderung suka untuk mendengarkan apa kata orang, alih-alih mendengarkan apa yang sebenarnya menjadi porsi kecukupan untuk kita sendiri.

Selain itu dalam beberapa kesempatan, kita seringkali terdikte untuk mengikuti apa yang menjadi pandangan masyarakat. Contoh,  kita akan dianggap sukses dan berhasil jika mampu mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Tidak peduli dari mana harta di dapat, tapi kaya hanya bisa dibuktikan jika memiliki barang mewah.

Mari kita berkaca pada Rafael Alun Sambodo. Ketika waktu “sahur” dia berusaha untuk “memakan” segala yang dia bisa “makan”. Tak peduli apakah itu akan memenuhi lambungnya, atau bahkan membentuk lemak di mana-mana. Terlalu banyak mendengar orang lain tentang apa saja yang dia butuhkan, membuat dia kehilangan kontrol. Saya rasa Alun akan baik-baik saja tanpa ada timbunan tabungan, atau bahkan Rubicon di garasinya.

Kegagalan dari mencerna porsi yang harusnya cukup bagi dia menuntun Rafael menjadi kehilangan akal. Menghalalkan segala cara untuk memasukkan segala hal ke dalam kantongnya. Bahkan tak segan mengorbankan orang lain demi memiliki apa yang dia inginkan.

Sayangnya waktu “imsak” tiba, saat Dandi tanpa sengaja membuat kesalahan yang dia pikir bisa selesai karena ayahnya pejabat. Dandi salah memilih musuh, dia membuat ayahnya menemukan “imsaknya”. Alun berusaha undur diri dengan manis, memohon maaf dan mengundurkan diri. Namun, sayang matahari sudah terbit dan terlalu jelas tiba saat untuk berpuasa.

Ah, harusnya sebagai orang tua kita bisa membuat anak mengerti, bahwa puasa itu lumrah jika kita menjadi sedikit lapar. Tidak apa-apa jika kita merasa sedikit harus mengerem dari apa yang biasanya halal menjadi terlarang sementara. Dan yang terpenting kita harus memberi hak otoritas pada anak untuk menentukan ini loh porsi yang pas untuk saya. Berhenti memberikan berbagai teror mengerikan mengenai lapar dan dahaga.

Saya tahu sebagai seorang Ibu, keinginan untuk menjaga anak dalam kenyamanan menjadi keharusan. Lapar dan haus memang bukan hal yang nyaman bagi anak, tapi percayalah dari itu mereka akan belajar. Belajar bahwa dalam hidup akan ada fase merasa tidak nyaman. Dan itu lumrah.

Tidak salah juga untuk menghadapi ketidaknyamanan itu anak perlu untuk bersahur. Anak belajar mempersiapkan diri untuk menghadapi masalah yang akan mereka alami. Maka alih-alih memberikan pengertian bahwa yang penting kuantitas dibanding kualitas, kita harus mulai berpikir mengenai pentingnya kualitas asupan santapan sahur. Bahwa hal material seperti makanan bukan menjadi titik berat kuat atau tidaknya anak berpuasa, melainkan keyakinan. Rasa yakin dalam diri anak bahwa dia akan mampu melewati puasa di hari ini.

Saya rasa penting juga selain memberika asupan secara material, kita memberikan pelukan hangat pada anak. Kita memberikan pengertian dan pemenuhan secara mentalitas. Bahwa tidak perlu takut lapar dan haus ketika puasa, tidak perlu makan berlebihan hingga perut meledak. Makanlah sesuai kaidah sepertiga makanan, sepertiga minum, dan sepertiga nafas. Sehingga akan ada rasa nyaman di tubuh si anak.

Anak juga akan belajar bahwa dalam kehidupan dia sendiri yang tahu berapa porsi “cukup” baginya. Tidak perlu mendengarkan orang lain yang berteriak-teriak soal teori lapar dan lain sebagainya. Menjadikan anak matang secara spiritualitas, bahwa makan sahur itu hanyalah sebuah rutinitas sederhana pelengkap puasa.

Bagikan
Exit mobile version