Site icon Inspirasi Muslimah

Saatnya Menghentikan “Perang” di Kalangan Ibu

kalangan ibu

Fairuza-Arindra

“Sarjana kok jadi ibu rumah tangga, sih. Apa gak sayang sama ijazahnya? Enak ya jadi ibu rumah tangga gak ngapa-ngapain, mau ini itu tinggal minta sama suami”.

“Sibuk kerja ya, Bund? Apa gak khawatir kehilangan banyak moment dengan anak? Hati-hati loh, nanti anak malah lebih dekat ke babysitter dari pada sama mamanya!”.

Kalimat di atas mewakili berbagai ucapan yang kerap hadir dari masyarakat, bahkan dari kalangan ibu-ibu untuk mendiskreditkan keputusan pilihan perempuan. Perdebatan tentang mana yang lebih baik antara ibu rumah tangga dan ibu pekerja sering kali membawa pada problematika “Mom War atau perang ibu”. Fenomena ini masih sering kita jumpai di media sosial, lingkungan pertemanan, atau bahkan keluarga terdekat. Mirisnya, mereka saling membandingkan, menghakimi, dan mengevaluasi profesi yang tidak sesuai dengan idealismenya yang menyebabkan ibu lain menjadi tertekan.

Konstruksi sosial mengkotakkan para ibu menjadi kubu-kubu tertentu melalui jenis peran, perilaku, dan pilihan pengasuhan dalam membesarkan anak. Sering kali, kita melihat persaingan sengit antar kubu ibu yang nyinyir baik dengan pertanyaan, sindiran, atau berkedok “hanya sekedar mengingatkan” tanpa mau memahami kondisi satu sama lain. Tidak jarang, stereotip yang melekat pada ibu rumah tangga dan ibu pekerja membuat para ibu merasa tidak nyaman. Dan membayangkan akan selalu kritik yang tidak ada habisnya.

Penelitian Heather Dillaway dan Elizabeth Paré mengeksplorasi tentang bagaimana budaya memperdebatkan tentang ibu rumah tangga dan ibu pekerja. Faktanya, warisan patriarki telah menjangkau secara mendalam kehidupan seseorang dan proses keluarga, membentuk identitas serta aktivitas perempuan. Kepercayaan sosial terlalu membebankan peran pengasuhan kepada ibu saja dari pada peran orang tua secara utuh (ayah dan ibu). Di samping itu, kurangnya kesadaran masyarakat tentang sulitnya mengasuh anak mengakibatkan orang lain dengan mudah merendahkan keputusan ibu. Inilah yang membuat setiap ibu tidak pernah lepas dari penilaian positif dan negatif tentang keputusan hidupnya.

***

Misalnya, kita sering menjumpai klaim bahwa menganggap ibu rumah tangga lebih mulia karena dapat menghabiskan waktu yang tidak terbatas dengan anak, mementingkan kepentingan rumah tangga di atas kepentingan lain, dan dapat hadir secara penuh waktu dalam setiap perkembangan anak. Namun di sisi lain, masyarakat kita membentuk penggambaran negatif tentang ibu rumah tangga yang erat dengan aktivitas menjenuhkan, tidak independent, dan menyia-nyiakan pendidikan.

Begitupun dengan ibu pekerja, mereka dianggap sebagai sosok yang independentsupermom karena dapat membagi waktu antara karier dan aktivitas keibuannya. Di balik itu, ibu pekerja kerap kali mendapatkan gunjingan karena masyarakat menilai lebih mementingkan pencapaian pribadi daripada mengasuh anaknya. Asumsi sosial tidak berhenti memberikan penilaian negatif kepada ibu pekerja yang selalu dianggap kurang dalam menjalankan peran keibuannya. Seperti tidak dekat dengan anak dan mengesampingkan tanggung jawab pengasuhannya.

Penggambaran tersebut sering membuat para ibu akhirnya membandingkan dirinya sendiri dengan ibu yang lain, merasa rendah diri, merasa tidak cukup dan seterusnya. Padahal apakah kita melupakan bahwa setiap ibu adalah manusia yang sama berhaknya mengambil keputusan bagi hidupnya sendiri? Penilaian yang melekat kepada kalangan ibu justru semakin memicu munculnya keinginan saling berkompetisi untuk menjadi ibu yang ideal. Mereka mungkin melupakan bahwa sebenarnya tidak ada indikator pasti tentang menjadi ibu yang paling sempurna. Para ibu terlalu berfokus dalam mengkritisi sesamanya daripada berusaha untuk saling memberikan dukungan.

Fenomena persaingan ini sangat merugikan para ibu, terutama secara pribadi seperti stres dalam melakukan pengasuhan. Pada dasarnya, judgemental terhadap seorang ibu cenderung mengeneralisasi semua ibu. Padahal sejatinya manusia memiliki latar belakang hidup yang berbeda dalam berbagai hal. Seksisme terhadap ibu rumah tangga dan ibu pekerja tidak hanya mengancam kesehatan mental, tetapi juga mengganggu kesejahteraan dan kebebasan dalam menjalani profesi yang mereka inginkan.

Pentingnya Sikap Saling Menghargai Sesama Ibu

Siapa lagi yang dapat memutus rantai persaingan ini kalau bukan dari kalangan ibu sendiri? Para ibu perlu menyadari bahwa setiap ibu memiliki kelebihan, kekurangan serta keterbatasan masing-masing. Dari pada sibuk melukai hati seorang ibu dengan ucapan yang belum tentu benar adanya, bukankah lebih baik untuk saling menghargai dan merangkul dalam menjalankan peran sesama ibu?

Setiap orang tua pasti mempunyai value yang berbeda dalam menjalankan pengasuhan, alangkah lebih indah apabila para ibu dapat saling memberikan dukungan, kekuatan dan mendorong iklim yang rukun untuk menciptakan kebahagiaan bagi semua ibu. Ibu yang bahagia mungkin lebih mudah untuk membagikan kebahagiaannya kepada anak. Dan semua itu akan tergambarkan dari interaksi mereka setiap hari.

Menegosiasikan Pengasuhan dengan Pasangan

Secara umum, masyarakat terlalu menitikberatkan pengasuhan hanya kepada ibu yang menyebabkan pergeseran makna peran pengasuhan yang seharusnya ada pada ibu dan ayah. Di sinilah letak pentingnya komunikasi, seorang ibu dapat mengkomunikasikan pengasuhan dengan ayah untuk menyeimbangkan peran orang tua dalam aktivitas sehari-hari sehingga akan mendorong terciptanya dukungan sosial atas peran tersebut. Membangun negosiasi melalui komunikasi yang sehat dapat menjembatani keinginan ibu tentang bagaimana seharusnya kedua orang tua melakukan pengasuhan. Negosiasi yang sehat tentu juga akan terwujud andaikata seorang ayah dapat mendukung untuk mengerti dan memahami apa keinginan ibu.

Menyadari Bahwa Tidak Ada Orang Tua yang Sempurna

Seiring mudahnya masyarakat memberikan penilaian terhadap seorang ibu, hal ini perlu kita imbangi dengan kesadaran bersama bahwa tidak ada orang tua yang sempurna di dunia. Sadarkah kita bahwa menjadi orang tua adalah salah satu peran tersulit bagi setiap orang yang memiliki anak? Menyandang peran sebagai orang tua tidak secara otomatis membuat kita menjadi ahli dalam mengasuh anak. Lebih dari itu, bahwa semua itu membutuhkan ilmu yang sangat luas. Sejak kecil kita semua tidak pernah mendapatkan pelajaran tentang bagaimana menjadi orang tua ketika di sekolah. Namun, saat memiliki anak secara otomatis peran itu harus kita lakukan secara optimal untuk menciptakan pengasuhan yang tepat.

Kita perlu menyadari bahwa yang terpenting bukan terletak pada mana yang lebih ideal, melainkan pada kemauan dan semangat para ibu untuk terus belajar. Belajar dalam memahami kebutuhan anak dan memberikan yang terbaik bagi keluarga. Sudah seharusnya masyarakat (khususnya sesama ibu) berhenti menjatuhkan keputusan perempuan, dan menggantinya dengan bentuk dukungan untuk saling berkembang bersama, serta mengapresiasi segala kesabaran dan pengorbanan ibu dalam mendidik generasinya.

Referensi

Dillaway H., & Elizabeth Paré. (2008) Locating Mothers, How Cultural Debates About Stay-at-Home Versus Working Mothers Define Women and Home, Journal of Family Issues. DOI:10.1177/0192513X07310309

Editor: Afiruddin

Bagikan
Exit mobile version