Site icon Inspirasi Muslimah

Rita Pranawati : Keselamatan Anak Menjadi Tujuan Tertinggi Pencegahan Kekerasan di Lembaga Pendidikan

kekerasan

Kekerasan dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat yang menyelimuti Indonesia, baik kekerasan yang dilakukan guru terhadap peserta didik maupun yang dilakukan oleh sesama peserta didik. Tak hanya dalam lingkup sekolah formal, beberapa sekolah agama berasrama atau yang biasa disebut pesantren turut menyumbang kasus kekerasan dalam dunia pendidikan.

Berdasarkan data Simfoni PPA 2022, ditemukan 541 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah. Kasus kekerasan ini hampir merata terjadi di seluruh wilayah Indonesia, baik dari Sabang hingga Merauke. Kasus kekerasan tersebut tentunya meninggalkan trauma hingga berujung menghilangkan nyawa korban. Salah satu kasus terbaru di lingkup pesantren yakni kasus yang terjadi di Pondok Modern Darussalam Gontor 1 Pusat Ponorogo yang dilakukan oleh sesama peserta didik. Pelakunya yakni dua kakak kelasnya.

Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah (16/09/2022) mengatakan, “Pemenuhan hak atas pendidikan dengan rasa aman dan nyaman akan mendorong anak-anak menjadi pribadi yang ihsan, berkarakter, dan berakhlakul karimah. Perubahan sosial di era 5.0 menjadi pengaruh yang signifikan dalam kehidupan masyarakat termasuk menjadi bagian kultur dalam menempuh pendidikan.”

Hak Perkembangan Psikologi Anak Jarang Diperhatikan

Membicarakan perlindungan terhadap anak berarti memberikan rasa aman terhadap anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Rita juga menyampaikan, “Perkembangan psikologi anak jarang disoroti, padahal dalam UU Dasar NRI 1945 Pasal 28 B anak berhak untuk mendapatkan hak-haknya, didalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Selain itu, beliau menambahkan bahwa pengaruh lingkungan dalam keluarga bisa menjadi sumbu utama munculnya kekerasan fisik ataupun psikis terhadap anak. Peran keluarga menjadi pendorong utama untuk edukasi terhadap pencegahan kekerasan terhadap anak. Tak hanya internal keluarga, masyarakat dan ormas (Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah) diharapkan dapat menjadi garda pelindung ketika terjadi tindak kekerasan pada anak.

Kekerasan dalam dunia pendidikan ini berdampak panjang terhadap psikis korban, yakni adanya trauma sebagai akibat dari kekerasan tersebut, seperti : penghianatan atau hilanganya kepercayaan anak terhadap orang dewasa, trauma seksual, merasa tidak berdaya, hingga berbagai stigma yang menghantui isi kepalanya.

Pengaruh Relasi Kuasa Antara Korban-Pelaku

Anak menjadi kelompok masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap orang yang dominan di sekitarnya; termasuk antara pengasuh pesantren dan santri. Kekerasan sering dilakukan oleh orang-orang yang memiliki power. Menurut Rita, relasi kuasa tak hanya pelaku terhadap korban dalam hal ini pengasuh pesantren dengan santri. Namun bisa juga antara santri senior terhadap santri junior. Faktanya kerap dijumpai kesenjangan yang nyata terhadap relasi kuasa ini sementara kemampuan untuk melindungi diri sendiri terbatas. Sehingga hal ini membuat anak tidak memiliki kuasa atas dirinya saat mendapatkan bentuk kekerasan ataupun diskiminasi yang diterimanya.

Kebijakan Keselamatan Anak Sebagai Tindakan Preventif

Berbicara mengenai anak, sudah semestinya membicarakan tentang kebijakan terhadap keselamatan anak. Upaya pencegahan (preventif) lebih diutamakan daripada penanganan dalam upaya pencegahan kekerasan dalam dunia pendidikan. Dalam forum online tersebut, Rita menyampaikan bahwa kebijakan keselamatan terhadap anak itu ada empat poin.

Pertama, saat proses rekruitmen pengelola. Pada proses rekruitmen ini sebaiknya pengelola menentukan syarat-syarat tertentu ketika proses penyaringan terhadap calon pembina pesantren dengan memperhatikan rekam jejak (track record) dari para pendaftar. Pembina pesantren sebagai pengganti orangtua dalam proses penanaman pendidikan karakter anak harus memiliki rekam jejak (track record) yang baik. Meliputi aspek fisik dan mental yang matang sehingga para orangtua merasa aman ketika menitipkan pendidikan lewat pesantren.

Kedua, edukasi tentang KHA terhadap penyelenggaraan pendampingan anak.

Ketiga, edukasi terhadap tenaga pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik hingga lingkungan sekitar. Respek menjadi pelajaran dasar terkait dalam mencegah kekerasan terhadap anak. Imbuhnya, minimal memiliki pengetahuan tentang hak-hak anak, child friendly dan memahami psikologi perkembangan anak.

Keempat, pembuatan progam dan SOP yang melindungi anak. SOP yang ramah anak terkait proses mengajar, ijin dan pendampingan anak pada jam-jam transisi (jam istirahat) juga patut diperhatikan yang rentan menjadi celah untuk melakukan tindakan kekerasan. Selain itu, pendisiplinan terhadap progam yang telah dicanangkan diharapkan mampu untuk membangun kesadaran diri. Bukan untuk membangun kesadaran palsu karena takut akan punishment.

Bagikan
Exit mobile version