f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
Pak gimin

Pulanglah, Nak

Sesungguhnya hal yang paling kubenci adalah perpisahan, sebab akan ada rasa yang membersamai setelahnya yaitu rindu. Akan tetapi, bagaimanapun, itulah hidup. Perpisahan adalah hal yang mustahil untuk dicegah.

Menikah! Tentu aku bahagia, tetapi bersama bahagia itu ada rasa sedih yang susah disudahi. Meninggalkan Bune dan Bapak sendiri di kampung. Memutuskan mengikuti langkah imam.

Belum pernah tinggal terpisah orang tua, lantas sekali melangkah harus menyeberang hingga tiga lautan. Jauh sekali. Ada sedikit rasa tak rela di sini. Hati mendadak serasa tak utuh lagi. Aku merapuh, terpikirkan olehku bagaimana Bune dan Bapak kelak menghabiskan waktu sepuh tanpaku.

***

Dalam rindu yang tidak pernah berkesudahan, tidak pernah terputus doa untuk kesehatan mereka.

Tahun pertama di tanah rantau, aku tak bisa pulang. Kehamilan usia muda, menjadi penghalang langkah memutuskan rindu.

Pun, tahun kedua. Bayi umur tiga bulan adalah kemustahilan melangkah jarak ribuan kilo.

Tahun ketiga, kehamilan kedua menyusul. Tentu saja pulang kampung semakin tak termungkinkan.

“Nak, kapan kamu pulang?” tanya Bune melalui telepon. Ada isak yang coba kutahan. Tak mau Bune mendengar suara tangisku. “Tahun ini belum bisa, Bune.”

Helaan napas panjang Bune mampu kudengar dengan jelas. Hampir empat tahun di tanah rantau, belum pernah sekali pun bisa pulang. Kehamilan berturut-turut selama dua tahun ini, seolah menjadi alasan pembenaran.

“Pulang, ya, Nak, Bune kangen. Pingin liat cucu-cucu Bune, sudah sebesar apa mereka?”

Kali ini tangisku tumpah. Aku mengakhiri panggilan telepon lebih cepat. Tidak sanggup kulanjutkan lagi perbincangan ini.

Jangan tanya dua kali. Rindu ini bukan hanya milik Bune dan Bapak saja. Aku pun sama. Lantas, bagaimana caraku menjangkau temu?

Baca Juga  Perempuan Berpendidikan Tinggi dan Segala Dramanya

Harus bagaimana lagi caraku menyemai sabar hingga mampu tumbuh subur tanpa mengaburkan makna ikhlas?

Seketika, aku menjadi anak durhaka. Melupakan orang tua, saat punya keluarga baru.

“Nak, pulang, ya. Bapak sakit.” Suara tangis Bune pecah malam ini. Gemetar ujar terdengar jelas.

Aku tahu, Bapak sedang tidak baik-baik saja. Bune tak mungkin menelepon selarut ini. Keheningan malam berganti gaduh. Kukemas pakaian sebisanya. Tangis tumpah tanpa mampu kubendung lagi.

***

Tentu tak mudah melalui perjalanan panjang dengan dua bocah tanpa Mas Arif. Mas Arif bukan tidak mau menemani. Dia sangat ingin malah. Mas Arif, sudah berupaya memohon izin, tetapi tidak berhasil. Menjadi karyawan, bekerja di bawah perintah orang tidak bisa sesuka hati pulang. Aku paham dan tak membenci keadaan. Tiga puluh enam jam, melalui tiga lautan, aku sampai.

Pulang, mencumbui kenangan usang. Aroma tanah basah, rumah tua Bapak. Tidak banyak yang berubah kecuali perihal Bune. Yah, aku kehilangan.

Sapaan dan dekap hangat Bune tidak ada lagi. Hanya gundukan tanah merah yang masih basah dibilas rintik hujan semalam.

Alur hidup yang ganjil. Bapak yang sakit, tetapi Bune yang berpulang lebih dulu. Katanya, Bune jatuh di kamar mandi. Kepala terbentur keras dan tidak berhasil diselamatkan.

“Bune, Rohaya pulang. Kenapa Bune berpulang?” teriakku di atas batu nisan Bune.

Hampir sepekan Bapak dirawat. Harusnya pulang ke rumah menjadi bahagia. Kali ini tidak. Ada sakit lain, Bapak menangis melihat tiap sudut rumah. Memanggil-manggil pujaan hati.

“Bune, kok tega ninggalin bapak?”

Sungkawa panjang ini seolah tidak berjumpa tepi. Kehadiran dua cucu tak cukup menjadi penawar kehilangan. Dalam hati Bapak, Bune tidak pernah tergantikan.

Baca Juga  Perempuan di Pusaran Pandemi Covid-19

Aku tidak pandai membujuk. Hati hancur, sangat hancur.

“Pak, ikut Rohaya, ya,” kataku pelan.

Bapak menggeleng, menolak ajakan. “Nanti kalau Bapak kangen Bune, bagaimana, Nak? Biar Bapak di rumah aja, ya.”

“Tapi, Pak. Di sini Bapak sendirian.”

“Nggak apa-apa, Nak. Jangan khawatir. Banyak tetangga. Kalau ada apa-apa, Bapak minta tolong mereka nanti.”

“Rohaya kepikiran kalau kayak gini, Pak. Ikut, ya,” bujukku lagi.

***

Bapak tetaplah Bapak, yang tak mau meninggalkan kampung halaman. Tidak mau menyulitkan anak perempuannya. Tidak mau menjadi beban.

Kembali ke tanah rantau. Meninggalkan Bapak sendiri di usia yang mulai merangkak senja. Bagaimana caraku menyudahi gelisah?

Belum satu bulan, sejak pulang kampung kemarin. Kembali telepon berdering di malam paling pekat. Membawa kabar, Bapak sakit dan terbaring tidak berdaya pada ranjang bangsal rumah sakit.

Aku seolah berjalan pada titian durhaka. Jika mampu kuputar waktu, ada kenangan yang ingin kuulang lagi, mendengar nyanyian nina bobo Bune dan gendongan Bapak sambil menyusuri tepian sawah.

Sekarang, Bapak terbaring, tetapi bukan tidur. Sebuah selang oksigen setia membersamai napas. Lantas aku hanya bisa berada di sini saja, di tanah rantau, menyempurnakan durhaka.

Bagikan
Post a Comment