Site icon Inspirasi Muslimah

Problematika Gender: Berhenti Saling Meninggi, Mari Saling Merangkul

gender

Dalam sebuah seminar di bulan Januari lalu yang bertajuk diskusi awal tahun. Salah satu dari tiga narasumber adalah seorang perempuan yang bergelar profesor. Entah sengaja atau tidak, moderator kala itu yang kebetulan seorang laki-laki saat memperkenalkan profesor tersebut dengan menyebutkan bahwa sengaja mengundang seorang narasumber perempuan sebagai pelengkap (formalitas) agar bisa mengutarakan perspektifnya mengenai diskusi tersebut.

Dalam hal ini penulis belum sadar bahwasanya ada kata yang kurang mengenakan terucap oleh moderator. Seminar tersebut memang sengaja mengundang narasumber dari berbagai latar belakang berbeda yang memiliki keahlian lebih di bidangnya masing-masing. Hal ini tentu sebagai usaha agar terciptanya pengetahuan yang komprehensif dengan perspektif yang berbeda-beda dan memberikan pandangan serta wawasan lebih kepada pendengar.

Kemudian tibalah saat di mana seorang profesor perempuan tersebut berbicara untuk menyampaikan materinya. Sebelum masuk ke dalam pemaparan materi, beliau dengan tegas menyampaikan bahwasanya kehadirannya tersebut bukanlah sebagai pelengkap atau formalitas saja agar diskusi saat itu terlihat pro kesetaraan gender dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara dikhalayak umum. Tutur beliau imbas perkataan moderator di awal tadi.

Dalam pemaparan materinya yang memang mengenai keluarga dan perspektif perempuan terucaplah bahwasanya laki-laki itu hanya menyumbangkan cairan saja. Selebihnya perempuanlah yang menanggung hingga ke tahap akhir kehidupannya seorang anak. Mengandung, melahirkan, menyusui, merawat dan lainnya. Walaupun beliau mengucapkan ini dengan kata maaf sebelumnya dan gaya bercanda.

Akan tetapi, penulis sedikit terkagetkan dan merenungkan kata tersebut. Beliau juga menyampaikan bahwasanya keluarga yang ideal adalah yang fleksibel, tidak terpaku pada peran biologis seorang suami atau istri. Yang mana keduanya harus bisa benar-benar saling melengkapi. Dalam hal ini penulis coba memahami perkataan beliau dan bertanya-tanya kepada diri sendiri. Jika para laki-laki dan perempuan terus membanggakan dirinya masing-masing agar terlihat paling berpengaruh dalam kehidupan, lalu kapan kesetaraan gender tersebut benar-benar bisa diwujudkan?

Kesetaraan gender adalah prinsip yang menyatakan bahwa semua individu, tidak peduli jenis kelamin atau identitas gender mereka, memiliki hak yang sama, kesempatan, dan perlakuan yang adil dalam semua aspek kehidupan. Prinsip ini menegaskan bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan tidak boleh menjadi dasar untuk membatasi hak-hak, kebebasan, atau peluang individu.

Kesetaraan gender melibatkan perjuangan untuk mengatasi diskriminasi gender, stereotip gender yang merugikan, serta ketidakadilan dan ketimpangan yang berkaitan dengan gender dalam berbagai bidang. Seperti pendidikan, pekerjaan, politik, dan kehidupan sosial. Prinsip ini mengakui bahwa semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka, memiliki kapasitas dan potensi yang sama untuk berkontribusi dan mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang.

Mencapai kesetaraan gender melibatkan upaya untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh perempuan. Termasuk pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender, ketimpangan dalam akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan, serta kesenjangan dalam partisipasi politik dan keputusan penting. Ini juga melibatkan menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak-hak individu tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Kesetaraan gender bukan berarti menjadikan laki-laki dan perempuan identik atau mengabaikan perbedaan biologis dan sosial di antara mereka. Sebaliknya, itu mengacu pada pengakuan bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk dihormati, didengar, dan memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan potensi mereka tanpa dibatasi oleh stereotip gender.

Penting untuk memahami bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender adalah upaya yang berkelanjutan. Membutuhkan kerja sama dan partisipasi semua pihak, termasuk individu, pemerintah, lembaga masyarakat, dan kelompok advokasi, untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang. Terlebih lagi pemahaman mengenai kesetaraan gender kepada masyarakat baik itu laki-laki maupun perempuan.

Dalam keberagaman agama, suku, bangsa, dan budaya, setiap orang berhak untuk menerima pemuliaan. Manusia adalah makhluk yang dimuliakan dan diciptakan oleh Allah Swt. dengan struktur terbaik, (QS. At-Tin : 4). Semua manusia diciptakan dengan fitrah yang sama dan lahir dalam keadaan setara. Karena Islam adalah agama yang memuliakan manusia. Maka, pemahaman terhadap ajaran agama tersebut harus didasarkan pada prinsip mengangkat harkat dan martabat manusia.

Islam mengajarkan bahwa nilai seseorang tidak tergantung pada jenis kelaminnya atau kebangsaannya. Laki-laki dan perempuan dari segala ras mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia dan mengabdi atau berperan dalam segala aspek kehidupan. Nilai seseorang di hadapan Allah ditentukan atas dasar ketakwaannya. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Kesetaraan gender akan bisa tercipta bila mana setiap kita merasa saling membutuhkan. Bahwasanya laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Tidak boleh lagi laki-laki merasa paling hebat karena Nabi Adam As. adalah manusia pertama yang merupakan seorang laki-laki. Perempuan merasa bahwasanya dialah yang paling berjasa didunia ini karena lewat seorang ibu kita semua dilahirkan.

Perlulah adanya sikap tabayun di setiap insan agar bisa lebih menghargai satu sama lain. Bahwa laki-laki dan perempuan itu saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain. Keduanya harus memiliki sifat rendah hati dan tidak congkak dengan kelebihannya masing-masing. Karena pada ujungnya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk berpasangan, bergandengan tangan dan bersama dalam mengarungi kehidupan.

Bagikan
Exit mobile version