f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
politikus perempuan

Politikus Perempuan Indonesia di Pemilu 1955 (1)

Ketika mempelajari sejarah politik Indonesia di awal kemerdekaan, citra yang seringkali terpampang di benak kita adalah bahwa sejarah politik Indonesia adalah sejarah perjuangan bapak-bapak. Jika tidak disuguhi sejarah bambu runcing dan mesiu, kita mungkin akan menemukan perdebatan para politikus laki-laki melawan pegawai kolonial Belanda yang juga laki-laki. Selepas pengakuan kemerdekaan, citra ini tidak hilang. Kerap ketika mempelajari sejarah perdebatan dasar negara di Konstituante—lembaga yang dulu bertugas membikin UUD Indonesia, hingga kemudian bubar pada tahun 1959—atau pertarungan politik di zaman demokrasi parlementer tahun 1950an, nama yang sering muncul lagi-lagi adalah laki-laki.

Citraan ini tidak keliru. Di antara tahun 1950-1959, jumlah para politikus perempuan di masing-masing partai politik memang tidak sampai 30%. Akibatnya, di hampir semua kabinet pemerintah Indonesia di antara tahun tersebut, dari kabinet Muhammad Natsier di tahun 1950 hingga zaken kabinet Djuanda Kartawidjaja, para politikus perempuan tidak banyak menjadi menteri. Sehingga memberikan citraan politik Indonesia yang sangat maskulin masa itu.

Namun, perlu kita ingat bahwa bukan berarti tidak ada kiprah politikus perempuan dalam politik Indonesia masa itu. Ada beberapa politikus perempuan Indonesia yang terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante di tengah situasi politik yang kalut masa itu. Beberapa nama tersebut direkam oleh arsip-arsip publik Indonesia, dan para peneliti sudah mencoba mendokumentasikan peran perempuan dalam politik Indonesia di tahun 1950an dalam karya-karya sejarah mereka.  

Saya mencoba memetakan peran mereka dengan menggunakan data Konstituante.Net yang dikumpulkan oleh Dr. Kevin Fogg dan Dr. Syahrul Hidayat. Meskipun ada banyak partai yang sama sekali tidak punya wakil perempuan—biasanya partai-partai kecil—politikus perempuan sudah mewarnai partai-partai besar di masa itu.

Baca Juga  Peran Vital Legislator Perempuan dalam Mewujudkan Kepentingan Perempuan dan Anak
Partai Nasionalis Indonesia

Mari kita mulai dari dua partai pemenang Pemilu: Partai Nasionalis Indonesia. Di jajaran anggota DPR tahun 1955 di Fraksi PNI ada beberapa politikus perempuan, seperti Ny. Lastari Sutrasno, Ny. Soemari, Ny. Supeni, dan Ny. Sutijah Suryahadi. Mereka mewakili beberapa daerah pemilihan Indonesia di Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Salah satu nama yang cukup menonjol di antara para politikus perempuan PNI adalah Ny. Supeni Pudjobuntoro. Ny. Supeni adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu PNI. Namun, yang paling terkenal adalah kiprahnya dalam diplomasi dan pergulatan membela kepentingan Indonesia di luar negeri. Ny. Supeni adalah salah satu anggota tim bikinan Soekarno untuk pengambilalihan Irian Barat dari Belanda. Ia juga memiliki peran dalam Konferensi Asia-Afrika bersama Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Prakarsa inilah yang membuat Soekarno mempercayai Ny. Supeni sebagai Duta Besar di beberapa negara. Dan konon kiprahnya cukup disegani di negara-negara sekutu Indonesia zaman Soekarno untuk melawan negara-negara Barat yang pro-Belanda masa itu. Nama Supeni penting dalam sejarah diplomasi Indonesia sebelum Orde Baru.

Majelis Syura Muslimin Indonesia

Di Masyumi, ada beberapa nama yang cukup ternama di jajaran pengurus DPR dan Konstituante. Di antaranya : Ruchajah Abdulhamid, Nadimah Tandjung, Sjarkawi Mustafa, Hj. Rangkayo Rahmah El-Yunusiah dan Ny. Sukaptinah. Keduanya punya peran yang signifikan dengan dua later belakang yang berbeda, dan menjadi figur penting dalam pergerakan Muslimah Indonesia masa itu.

Nama pertama adalah kader Nasyiatul Aisyiah dari Kalimantan Selatan. Ibu Ruchajah Abdulhamid adalah aktivis Nasyiatul Aisyiah dan Aisyiah di Kandangan, kini bagian dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Zaman Jepang, beliau aktif sebagai Wakil Ketua Nasyiatul Aisyiah di Kandangan, dan kemudian aktif sebagai pengurus Aisyiah Kandangan. Selepas itu beliau banyak menggerakkan dunia Pendidikan, dengan menjadi guru di Sekolah Muhammadiyah Kandangan, dan kemudian menjadi pengasuh panti asuhan di Amuntai, Hulu Sungai Utara. Tahun 1950, beliau dipercaya menjadi Ketua Muslimat Masyumi Cabang Kandangan, dan kemudian akhirnya terpilih menjadi anggota Konstituante di Pemilu tahun 1955. Beliau adalah satu-satunya wakil perempuan Kalimantan Selatan di Konstituante.

Baca Juga  Ketika Wajah dan Tubuh Ada dalam Kendalimu

Selain Ruhajah Abdulhamid, ada dua tokoh Aisyiyah lain di Konstituante, yakni Hj Nadimah Tandjung, dan Hj, Sjarkawi Mustafa. Nadimah Tandjung adalah Ketua Aisyiyah Sumatera Timur (sekarang menjadi Provinsi Riau), dan Sjarkawi Mustafa adalah Sekretaris Nasyiatul Aisyiyah di Bukittinggi. Keduanya memberikan kontribusi yang besar sebagai politikus Masyumi dengan latar belakang sebagai tokoh Aisyiyah di Sumatera.

Namun, yang cukup terkemuka di jajaran Fraksi Partai Masyumi di Dewan Perwakilan Rakyat adalah seorang ulama asal Sumatera Barat: Hj. Rangkayo Rahmah El-Yunusiyah. Beliau cukup terkenal di kalangan umat Islam Indonesia masa itu sebagai perintis Diniyah Putri di Padang Panjang pada tahun 1923. Konon kiprah beliau juga menginspirasi Universitas Al-Azhar membuka Kulliyatul Banat, fakultas yang dikhususkan untuk perempuan. Sehingga di tahun 1957 beliau diberi gelar “Syekh” oleh Universitas Al-Azhar. Karena kiprah ini juga, tak heran jika beliau kemudian diberi kepercayaan untuk mewakili Partai Masyumi di tahun 1955 dan terpilih menjadi anggota DPR.

Bagikan
Post a Comment