Site icon Inspirasi Muslimah

Perjumpaan Langsung dengan Buya Syafii Maarif

Oleh : Akbar Malik*

Tahun 2015, kala itu saya masih SMA, saya mengikuti kegiatan Jambore Pelajar Teladan Bangsa yang diadakan oleh Maarif Institute. Karena tidak punya latar belakang keorganisasian Muhammadiyah dari orang tua, pada saat itu saya tidak terlalu tahu siapa itu Buya Syafii Maarif.

Ketika mengikuti kegiatan yang diadakan lembaga yang diinisasi Buya Syafii Maarif itu, saya beruntung bisa berjumpa langsung dengan beliau. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. Saya cermati setiap tutur kata yang keluar dari mulutnya. Saya ikuti gerak-gerik langkah dan gesturnya. Saya pandangi beliau dari kejauhan demi mendapat kesan lebih terhadapnya.

Dari sedikit pengamatan dan pendalaman selama kurang lebih beberapa jam, saya mendapat kesan bahwa beliau merupakan pribadi yang sungguh sederhana. Ketika beliau memberikan sambutan di balai kota DKI Jakarta pada saat itu pun–salah satu venue kegiatan–hanya mengenakan sepatu sandal. Sungguh pribadi yang “autentik”, meminjam istilah beliau.

Selepas kegiatan itu berakhir, saya tidak berhenti menyelami pribadi dan pemikiran Buya Syafii Maarif. Sampai akhirnya di masa SMA ketika itu, saya tahu bahwa beliau mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Karya dan kiprahnya tidak berhenti walau purnatugas di Muhammadiyah, salah satunya beliau membentuk Maarif Institute sebagai lembaga riset yang bergerak di bidang kebudayaan dalam bingkai kemanusiaan, keislaman, dan keindonesiaan.

Secara kultur dan intelektual, sebenarnya saya lebih dekat dan akrab dengan ulama, pemikir, dan cendekiawan dari Nahdhatul Ulama (NU) seperti Gus Dur atau Gus Mus. Dari beliau-beliau jugalah saya mendapat semacam testimoni dan penilaian tentang kepribadian Buya Syafii Maarif.

Menurut Gus Dur dalam salah satu esainya, Buya Syafii Maarif adalah salah satu cendekiawan muslim generasi pertama di Indonesia dari Universitas Chicago. Lebih lanjut, Gus Dur memberikan predikat “pendekar” kepada Buya Syafii Maarif yang walau sebagai “orang organisasi” tetap fokus pada pembangunan umat secara kultural.

Sementara menurut Gus Mus dalam salah satu postingan di akun Instagramnya, beliau memublikasikan kebersamaannya dengan Buya Syafii Maarif. Caption-nya berbunyi: sowan tokoh panutan bangsa; cendekiawan; jernih; jujur; berani; sederhana; dan merdeka. Lengkap sekali Gus Mus mendeklarasikan gambarannya terhadap Buya Syafii Maarif.

Selain karena perjumpaan secara langsung, kutipan langsung dari Gus Dur dan Gus Mus, konsistensi Buya Syafii Maarif membela kemanusiaan dan menyerukan persaudaraan dalam perbedaan membuat saya secara pribadi sangat mengagumi beliau. Petuahnya selaras dengan tindakannya. Keteguhannya beriringan dengan keberaniannya. Autentisitas sikap dan perilakunya lengkap tergambar dalam kesederhanaannya.

Sosok yang Egaliter dan Sederhana

Yang menjadikan Buya Syafii Maarif masih terus aktif mewarnai pemikiran bangsa dengan tulisan dan karya-karyanya, menurut saya, selain kekayaan dan kedalaman keilmuan beliau, adalah keaktifannya menjalin interaksi dan komunikasi antarumat dan antargolongan. Hal tersebut menjadikannya cendekiawan yang paripurna yang mampu mengolaborasikan antara wawasan keislaman dengan gerakan perdamaian kemanusiaan.

Saya masih ingat kejadian pada tahun 2018 ketika ada sebuah gereja yang diserang oleh seseorang yang tak dikenal di Sleman. Mendengar kejadian itu terjadi, dengan perhatian dan kesigapan, Buya Syafii Maarif datang langsung ke tempat kejadian untuk melihat keadaan. Kemudian ketika dimintai keterangannya tentang kejadian itu, Buya dengan ekspresi sedih menyatakan kekecewaannya terhadap kejadian tersebut.

Selain itu, saya pun masih ingat ketika mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Maarif Institute. Ada satu agenda di mana kami peserta kegiatan jambore dialog dengan pastor dari Gereja Katedral Jakarta. Pengalaman secara empiris, disertai dengan pengamatan secara langsung melalui tulisan, pendapat, dan tindakan Buya Syafii Maarif membuat saya semakin mantap menganggap beliau sebagai sosok yang egaliter.

Soal kesederhanaan beliau, sepertinya sudah bukan hal aneh. Semua orang yang mengenal beliau, memberikan penilaiannya terhadap beliau, hampir pasti menyatakan bahwa Buya termasuk orang yang sederhana. Beberapa kali Buya terkena potret netizen sedang menaiki kereta umum sampai mengantre pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Dalam satu tangkapan kamera, Buya didapati sedang menunggu kereta di Stasiun Tebet. Dalam fotonya yang beredar itu, katanya beliau sedang menanti kereta keberangkatan ke Bogor. Usut punya usut, Buya sebenarnya bisa saja meminta sopirnya untuk mengantarkannya, tapi beliau tidak enak karena itu hari Sabtu. Masya Allah.

Beliau itu guru besar di perguruan tinggi negeri, cendekiawan muslim yang reputasinya internasional, juga mantan ketua umum salah satu organisasi massa terbesar di Indonesia, tapi masih bisa bergaya hidup sesederhana itu. Saya tidak habis pikir dan bertanya-tanya bagaimana seorang Buya Syafii Maarif menjalani hidupnya dengan penuh kesederhanaan yang radikal.

Sekarang, beliau sudah berusia 85 tahun. Di usianya yang sudah tidak muda, sampai hari ini kita masih diberi kesegaran oleh nasihat dan buah pikirnya dalam rupa tulisan-tulisan dan ceramah-ceramahnya. Bersyukurlah kita masih bisa melihat wajah teduh Buya Syafii Maarif sebagai salah satu tokoh bangsa sekaligus intelektual muslim yang paling getol menggelorakan perdamaian umat manusia.

Semoga senantiasa disehatkan, Buya. Terima kasih telah memberikan pencerahan yang berarti bagi saya pribadi, juga yang tak ternilai harganya bagi bangsa ini.

*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.

Bagikan
Exit mobile version