Site icon Inspirasi Muslimah

Pentingnya Meningkatkan Perlindungan dan Keadilan bagi Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Indonesia (1)

perlindungan perempuan

Senin, 24 Juli yang lalu kita dihebohkan dengan kasus yang melibatkan seorang pekerja rumah tangga (PRT) dengan inisial SK yang mengalami penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, dan kekerasan seksual. Yang kemudian dihukum dengan pidana paling tinggi hanya 4 tahun, dengan total restitusi yang relatif rendah. Kejadian tersebut telah menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Putusan ini mencerminkan ketidaksetaraan dalam sistem peradilan Indonesia, terutama dalam hal perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum.

Kasus ini adalah contoh nyata bahwa aparat penegak hukum Indonesia masih jauh dari mencerminkan prinsip-prinsip kesetaraan dan perlindungan hukum bagi perempuan sebagaimana yang telah dimandatkan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Penanganan Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum (PERMA No. 3 tahun 2017). Dalam kasus ini, seorang PRT yang berhadapan dengan perusahaan pemberi kerja memiliki relasi kuasa timpang. Yang pada akhirnya berujung pada eksploitasi dan kekerasan yang dialaminya.

Hal ini juga harus dilihat dalam konteks yang lebih luas, yaitu masalah diskriminasi yang masih melibatkan perempuan di Indonesia. Meskipun telah berlalu 39 tahun sejak CEDAW diratifikasi oleh Indonesia. CEDAW atau Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan adalah instrumen internasional yang menegaskan bahwa negara harus mengupayakan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Pasal 2 CEDAW secara jelas mengamanatkan bahwa negara harus mengambil tindakan konkret untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya. Ini mencakup menjamin perlindungan hukum yang sama bagi perempuan seperti halnya bagi laki-laki. Selain itu, melalui pengadilan nasional yang kompeten, perlindungan perempuan terhadap setiap tindakan diskriminasi dapat dilakukan. Namun, kenyataannya masih ada diskriminasi yang terjadi, terutama dalam proses peradilan.

Dalam konteks kasus SK dan pengalaman perempuan PRT lainnya, aparat penegak hukum belum memperhatikan mandat CEDAW yang mengharuskan negara untuk memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan, terutama di daerah pedesaan. Ini juga berlaku untuk perempuan yang bekerja sebagai PRT, yang mayoritas berasal dari latar belakang ekonomi yang kurang mampu. Mereka sering menghadapi diskriminasi ganda, tidak hanya dalam hal akses ke sumber daya ekonomi yang timpang. Tetapi juga dalam hal diskriminasi gender.

Kasus seperti SK hanyalah salah satu dari banyak contoh yang menunjukkan bahwa aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami pengalaman ketidakadilan struktural yang dialami perempuan. Termasuk ketidakadilan berbasis gender dan ketidakadilan sosial lainnya yang dapat memengaruhi situasi dan posisi perempuan dalam suatu perkara.

Ketidaksetaraan dalam sistem peradilan Indonesia juga tercermin dalam berbagai peraturan dan undang-undang yang masih memiliki aspek diskriminatif terhadap perempuan. Ada perluasan perzinaan dalam KUHP yang dapat digunakan untuk mengriminalisasi perempuan. Selain itu ada juga pasal-pasal dalam UU ITE yang sering digunakan untuk menekan perempuan yang berbicara tentang isu-isu penting. Hal ini harus dievaluasi dan direvisi untuk memastikan bahwa perempuan tidak menjadi sasaran hukum yang tidak adil.

Namun, bukan hanya masalah hukum yang perlu diperhatikan. Pendidikan dan pelatihan yang lebih baik bagi aparat penegak hukum dalam hal hak asasi manusia dan etika adalah langkah penting. Hal ini untuk memastikan bahwa perempuan yang berhadapan dengan hukum diperlakukan secara adil dan tidak diskriminatif.

Selain itu, penghapusan ketidakadilan gender dan sosial yang dihadapi perempuan dalam proses peradilan harus menjadi fokus dalam reformasi peradilan Indonesia. Penekanan pada mandat CEDAW, yang mengakui hak perempuan untuk perlindungan hukum yang sama. Hal tersebut harus diwujudkan dalam peraturan dan praktik peradilan yang lebih baik.

Pengalaman SK dan kasus serupa lainnya adalah pengingat yang kuat. Bahwa upaya untuk meningkatkan perlindungan dan keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum di Indonesia masih sangat diperlukan. Dalam konteks ini, tuntutan dari berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Asosiasi LBH APIK Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia, LBH Masyarakat, dan lain-lain, harus diperhatikan.

Tuntutan ini mencakup kebutuhan mendesak untuk mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) sebagai langkah konkret untuk menghapus diskriminasi terhadap PRT dan memastikan kesetaraan di muka hukum. Ini juga mencakup perlunya evaluasi menyeluruh terhadap implementasi CEDAW dalam bidang penegakan hukum dan penyusunan peraturan dan strategi percepatan implementasi CEDAW.

Pemerintah juga harus melakukan revisi dan/atau penghapusan terhadap peraturan perundang-undangan yang berpotensi merugikan perempuan korban. Pemerintah juga harus memastikan bahwa aparat penegak hukum memiliki pengetahuan yang cukup dalam hal CEDAW dan hak-hak perempuan.

Dalam hal kasus-kasus kekerasan seksual, peraturan dan praktik peradilan harus memasukkan mandat CEDAW secara eksplisit dan jelas. Penghapusan ketidakadilan gender dan sosial yang dihadapi perempuan dalam proses peradilan harus menjadi fokus dalam reformasi peradilan Indonesia.

Kasus SK adalah peringatan keras bahwa perjuangan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan bagi perempuan di Indonesia belum selesai. Diperlukan kerja keras dan komitmen yang kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat sipil, untuk memastikan bahwa perempuan berhadapan dengan hukum di Indonesia mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak. Itu adalah tuntutan moral dan hukum, dan merupakan bagian integral dari perjuangan menuju masyarakat yang lebih adil dan kesetaraan yang sejati.

Bagikan
Exit mobile version