Site icon Inspirasi Muslimah

Pendidikan Monolog Vs Pendidikan Dialog

Pendidikan

Andrias Pujiono

Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat mendasar bagi kehidupan manusia, termasuk keluarga. Kebiasaan di dalam rumah; aktivitas bersama anggota keluarga bisa menjadi bagian dari pendidikan dalam keluarga.

Suatu ketika saya sedang bekerja dalam ruang kerja di rumah yang tertutup. Terdengar cukup jelas suara anak sulung perempuan saya yang berumur sebelas tahun mengatakan, kamu itu anak perempuan! Saya penasaran, membuka pintu dan bertanya kepadanya, kenapa kak”? “Dia ini (adiknya) lho tangannya dimasukkan ke dalam lengan bajunya. Dia kan cewek, jawab si kakak.

Jadi menurut si Sulung, apa yang adik perempuannya lakukan itu tidak pantas, kecuali jika dia itu laki-laki. Si kakak tidak menjelaskan, kenapa hal itu tidak boleh. ‘pokoknya tidak boleh’. Saya ingat, beberapa kali mendengar dan melihat bahwa hal itu pernah neneknya lakukan. “kamu jangan ini dan itu, kamu kan perempuan”. Ternyata, si sulung meniru apa yang neneknya pernah katakan.

***

Bukan hanya si nenek yang pernah melakukan hal tersebut. Saya pernah mendengar teman saya berkata, “kamu harus ‘macho’, kamu kan cowok!”. Mungkin banyak orang tua lain mendidik anak-anak dengan gaya seperti itu. “Ini aturannya, kamu harus ikuti.” “Bapak atau ibumu dulu seperti itu, kamu juga harus demikian.”

Masih banyak para orang tua yang mendidik anak-anaknya berdasarkan apa yang mereka terima dari orang tua mereka dulu. Kita mengatakan A boleh dan B tidak boleh berdasarkan apa yang pernah orang tua kita katakan. Sehingga pendidikan dalam keluarga lebih cenderung bersifat “pewarisan”.

Anak-anak sering kali hanya diminta untuk mengikuti tanpa banyak bertanya. Orang tua berkata bahwa ini baik dan itu tidak baik. Tetapi tanpa penjelasan mengapa itu baik dan yang lain tidak.

Anak perempuan tidak boleh ini dan itu, tetapi anak laki-laki boleh. Misalnya, anak perempuan tidak boleh memanjat pohon, tetapi anak laki-laki boleh. Atau anak laki-laki boleh main bola, tetapi anak perempuan tidak. Boleh dan tidak, hanya berdasarkan jenis kelamin atau gendernya, berdasarkan apa yang dulu kita terima dari para pendahulu kita.

***

Salah satu sisi pendidikan adalah sisi pewarisan. Dalam konteks keluarga, para  orang tua bertugas mewariskan norma-norma, nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan kepada anak-anaknya. Mereka meyakini bahwa suatu norma, nilai dan kebiasaan tertentu baik dan harus dimiliki oleh anak-anak mereka, sehingga perlu diwariskan.

Namun di sisi lain, pendidikan harus mendorong seseorang mampu berpikir kritis. Anak-anak sudah memiliki potensi menjadi seseorang yang kritis. Hal itu terlihat ketika mereka dengan polosnya mempertanyakan banyak hal kepada orang tua. Kenapa ini boleh, dan itu tidak? Kenapa itu harus dan ini tidak harus dilakukan?

Pendidikan yang menekankan hanya pada pewarisan bisa kita sebut sebagai pendidikan monolog. “Sesuatu itu baik, kamu harus melakukannya”. Itu kata para orang tua ke anak-anak. Pendidikan monolog bersifat satu arah. Dari orang tua ke anak. Tidak menyisakan ruang komunikasi dari anak ke orang tua, efeknya anak menjadi pasif.

Pendidikan seharusnya bersifat dialog bukan monolog. Artinya ada timbal balik. Dari orang tua ke anak, dan dari anak ke orang tua. Di dalam pendidikan dua arah, orang tua memberikan ruang kepada anak untuk bertanya atau bahkan berdiskusi. Anak bukan subjek yang pasif, namun aktif.

*** 

Pewarisan yang kaku, dan tidak memberi ruang bertanya dan diskusi bukan pendidikan yang sesungguhnya dalam arti luas. Itu bukan pendidikan dua arah, dan juga bukan pendidikan yang memerdekakan. Sisi pewarisan dan pemikiran kritis harus berkawan akrab. Menciptakan ruang bertanya dan diskusi. Terjadi komunikasi dua arah. Model pendidikan ini adalah pendidikan yang memerdekakan anak.

Orang tua mewariskan apa saja yang ia anggap baik. Baik tentang norma-norma, nilai-nilai ataupun kebiasaan-kebiasaan. Dalam proses pewarisan, orang tua jangan lupa memberikan kesempatan anak untuk bertanya. Di sini terjadi pendidikan dua arah. Kenapa kita tidak boleh melakukan ini, kenapa kita harus melakukan itu, dan kenapa kita selalu mengerjakan ini.

Misalnya, anak perempuan tidak boleh memanjat pohon, tetapi anak laki-laki boleh memanjat pohon. Anak perempuan akan bertanya, kenapa saya tidak boleh memanjat? Aku berani dan bisa kok memanjat. Tetapi orang tua yang tidak memberi ruang bertanya akan berkata, pokoknya tidak boleh! Anak perempuan “tidak pantas” memanjat pohon.

Orang tua seperti ini tidak mau repot dengan pertanyaan anak. Atau mungkin berpikir, apa yang menurut mereka baik, yang diwariskan oleh orang tua tidak perlu dipertanyakan. Anak-anak seharusnya seperti mereka dulu, menerima sepenuhnya tanpa banyak bertanya. Apalagi ruang untuk diskusi.

***

Di sisi lain, ada banyak orang tua yang memberikan ruang bertanya, atau bahkan berdiskusi kepada anak-anak mereka. Contohnya, ketika mereka membiasakan anak-anak berdoa, si ayah atau ibu akan memberikan kesempatan atau bahkan memancing mereka bertanya. Dalam tanya jawab atau diskusi tersebut anak akan mengetahui mengapa mereka berdoa. Di sini terjadi edukasi dua arah.

Anak-anak perlu mengetahui mengapa mereka dapat melakukan ini atau tidak boleh melakukan itu. Di rumah kami, saya dan istri mengajarkan anak-anak untuk mengambil makanan secukupnya, dan menghabiskan makanan mereka. Mereka harus memperkirakan jumlah makanan yang mereka bisa habiskan, artinya secukupnya.

Anak kami bertanya, kenapa makanannya harus habis?” Kami menjelaskan bahwa makanan yang mereka nikmati itu telah melalui proses yang panjang. Mulai dari benih ditanam, dirawat, dipanen, digiling dan dimasak. Mereka juga diingatkan tentang beruntungnya mereka bisa makan, karena banyak orang di luar sana yang menderita kelaparan. Selain kedua hal di atas, kami mengajarkan bahwa sisa makanan dapat mengancam ekologi atau alam kita.

Saya memang mewariskan ajaran menghargai makanan; mengambil dan menikmati makanan dengan sewajarnya dan secukupnya. Tidak boleh berlebihan dan tidak habis dimakan. Namun, saya tidak berhenti pada bahwa hal itu salah. Tetapi menjelaskan mengapa hal itu salah. Anak-anak perlu mengetahui alasan dari sesuatu, dan tidak menerima begitu saja. Jika anak memiliki opini, perlu kita buka ruang untuk berdiskusi.

***

Pendidikan dua arah atau dialog, membawa sisi pewarisan dan berpikir kritis secara bersamaan. Anak kita berikan ruang untuk mengajukan pertanyaan dan pendapatnya tentang sesuatu. Sebaliknya, pendidikan satu arah atau monolog sering bersifat “memaksa”. Orang tua menekankan mental ‘pokok e’, harus lakukan ini dan itu tanpa memberikan penjelasan rasional dan ruang berdiskusi.

Penjelasan di balik aturan yang kita buat, nilai yang kita ajarkan dan kebiasaan yang kita jalani sehari-hari harus kita berikan. Dengan itu, anak-anak dapat menjalaninya dengan sukarela, sukacita dan puas. Karena mereka mengetahui alasan-alasan masuk akal dan manfaat di balik ajaran orang tua. Serta merasa dihargai sebagai anak yang didengarkan pendapatnya.

Dengan membuka ruang bertanya, dan berdiskusi anak-anak akan mampu mengembangkan sikap berpikir kritis. Mereka akan tumbuh menjadi anak-anak bermental kritis atau aktif berpikir. Sehingga di kemudian hari mereka akan mampu menerima atau bahkan mampu rekonstruksi aturan, nilai dan kebiasaan yang mungkin sudah usang dan tidak relevan. Inilah pendidikan dua arah atau dialog.

Bagikan
Exit mobile version