Site icon Inspirasi Muslimah

Pendidikan dan Guru: Belajar dari Gus Dur dan Cak Nun

pendidikan dan guru

Berangkat dari basis Islamiah yang diusung oleh Rahma, tulisan ini dirangkai dengan menempelkan lapisan-lapisan islam yang dikontekstualkan dalam pendidikan. Sebagai upaya memberikan tolak ukur sudut pandang dalam suatu istilah, saya menjabarkan secara subjektif dengan mengartikan secara ruang bahwa Islam adalah sistem; Islam bukan entitas konkret yang bisa dimaterialisasikan. Di mana Islam adalah agama yang sangat terbuka terhadap modernitas dan memberikan ruang supaya manusia berkembang secara dinamis; baik secara jasmani, akali, dan rohani. Di mana keterbukaan itu diterjemahkan oleh manusia sebagai kesempatan untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang. Sedang sarana utama untuk mencapai kemajuan tersebut adalah pendidikan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan berkesinambungan.

Kenyataan berbicara bahwa pendidikan yang berjalan saat ini masih memperlihatkan kurangnya perhatian terhadap harkat dan martabat manusia serta banyak mengabaikan dasar-dasar potensi kemanusiaan. Kondisi inilah yang dinilai sebagai proses yang tidak humanis dan jauh dari nilai-nilai demokrasi. Masih ditemukannya penindasan terhadap peserta didik, pengungkungan kreatifitas, pembodohan dan dominasi yang dilakukan oleh pelaku pendidikan; menandakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia masih jauh dari upaya penyadaran dan pembebasan.

Padahal apapun nama dan alasannya, yang namanya penindasan merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan atau dehumanisasi. Bahkan sebagai mahasiswa, tak takut saya menuliskan bahwa sosok yang mendapat label sebagai ‘guru’ atau ‘dosen’ sendiri pun cenderung mengkapitalisasi profesinya demi mendapatkan keuntungan-keuntungan materil subjektifnya; entah itu kenaikan jabatan, dan lain sebagainya.

***

Gagasan-gagasan Gus Dur tentang dinamisasi (modernisasi) telah menjadi energi utama dalam melawan kejumudan berpikir. Meskipun ia harus menanggung resiko dicap sebagai kontroversial, bahkan murtad dan kafir; ia tidak jera melakukan gebrakan-gebrakan pemikiran yang memiliki daya kejut luar biasa bagi umat Islam Indonesia. Demikian pula ketika menilai pendidikan di Indonesia yang menurutnya masih belum beranjak sebagai alat pembebas untuk kaum tertindas. “Pendidikan masih terjebak dalam klaim ‘kebenaran’ untuk memusuhi pihak lain.” Demikian Gus Dur bertutur. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa,

Dalam uraian panjang, nampaknya hal ini juga merupakan akibat dari proses pendidikan dan dakwah Islam selama 40 tahun terakhir ini yang cenderung bersifat memusuhi, mencurigai, dan tidak mau mengerti agama lain. Itu tidak hanya dilakukan mubaligh-mubaligh di mimbar, melainkan juga para guru di sekolah. Sebabnya adalah: Pertama, mereka sedang mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kedua, Islam telah dijadikan ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang lain. Ini satu contoh dari proses pendangkalan agama: bahwa kepentingan Islam diletakkan dalam kepentingan yang ekslusif, dan menjadi kepentingan yang paling utama.

Pola pendidikan yang cenderung memusuhi pihak lain yang disebabkan oleh belum siapnya umat Islam menerima modernisme dan dijadikannya Islam sebagai ajang kepentingan politik merupakan bentuk pendangkalan terhadap makna (pendidikan) agama yang berakibat pada anggapan sebagian kalangan bahwa Islam merupakan agama yang eksklusif dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Padahal menurut Gus Dur, Islam justru dihadirkan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dengan meletakkan pendidikan pada barisan terdepan sebagai proses transformasi nilai dan pengetahuan yang secara langsung berhadapan dengan manusia dan peserta didik.

***

Sebagai sebuah proses penyadaran terhadap jati diri manusia sebagai hamba Tuhan (‘abdu-llah) dan wakil-Nya di bumi (khalîfatu-llâh fi-l-ard), pendidkan Islam semestinya melakukan reorientasi filosofis-paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didiknya berwajah inklusif, pluralis dan kosmopolitan; dengan berdasar pada konsep rahmatan lil ‘âlamîn sebagai landasan kultural sebagaimana sering disarnpaikan oleh Gus Dur.

Beranjak dari konsep Gus Dur, Cak Nun hadir dengan pandangan kritis terhadap salah satu katalisator pendidikan yakni Guru. Guru sebagai profesi yang kini cenderung dibiaskan dari segi pendapatan—seperti fakta gaji Guru SD yang hanya berapa ratus ribu per bulan, dan dibandingkan dengan beberapa lini guru lain yang mampu memiliki rumah besar, mobil, dan kemakmuran materil yang menjanjikan.

Cak Nun hadir dengan pandangan menyejukkan bahwa guru adalah pekerjaan paling tidak rasional untuk mencapai kekayaan ‘dunia’. Meskipun Cak Nun sendiri tidak melarang untuk seorang guru menjadi kaya. Hanya saja menurut Cak Nun, cara seorang guru menjadi kaya itu bukan menjadi guru dengan mengisi hatinya dengan keinginan untuk kaya. Caranya guru untuk kaya adalah konsentrasi pada cinta pendidikan; cinta kepada anak didik; santun kepada para wali murid; dan mempelajari terus menerus apa yang diperlukan di dalam proses pendidikan.

Menurut saya, pandangan Cak Nun ini memang relevan dengan fakta empirisnya. Saking fokus untuk bisa menjadi kaya, beberapa guru lupa untuk mencintai para siswanya. Guru atau dosen lebih memperhatikan berapa dan seperti apa penelitian yang harus dikerjakan untuk bisa mendapatkan kenaikan jabatan; mereka terkadang lupa untuk mengayomi sesama, hingga mencintai sesama. Hanya fokus pada target-target teknikal hingga mengesampingkan unsur-unsur substansial dari maksud awal kenapa mereka memilih menjadi seorang guru atau dosen pengajar bagi siswa atau mahasiswa.

Daftar Pustaka

Nurcholis Madjid, dkk. (2001). Passing Over: Melintasi Batas Agama. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Jurnal Cak Nun, Guru SD: Channel YouTube CakNun.com

Bagikan
Exit mobile version