Site icon Inspirasi Muslimah

Pendidikan Anak ala Maria Montessori

Maria Montessori

Di dunia pendidikan, nama Maria Montessori cukup dikenal. Montessori lahir di Chiaravalle, Provinsi Ancona, Italia pada tahun 1870. Ia adalah seorang yang cerdas dan punya kemauan keras. Montessori mengubah pandangan dunia tentang bagaimana anak-anak belajar dan berkembang. Latar belakang pendidikannya adalah ilmu matematika dan teknik mesin. Setelah lulus, Montessori kemudian mempelajari studi kedokteran.[1] Sebuah bidang studi yang tidak lazim ditempuh oleh para wanita di zamannya. Perjuangannya berbuah manis. Montessori berhasil menjadi salah satu dokter pertama di Italia dengan nilai yang memuaskan.

Di Rumah Sakit San Giovanni, lokasi pertama kalinya Montessori ditempatkan setelah lulus, Montessori kemudian menjadi relawan di klinik psikiatri di Universitas Roma.[2] Hatinya tersentuh tatkala berkesempatan mengunjungi sebuah rumah sakit jiwa. Di tempat itu Montessori melihat anak-anak tunagrahita diperlakukan kurang pantas bagai dipenjara. Terlebih anak-anak tersebut dibiarkan begitu saja tanpa diberi stimulasi yang tepat. Montessori lantas tergugah untuk mencari solusi. Menurutnya, anak akan berkembang dengan optimal jika diberi keterampilan menguasai lingkungan.

Pada tahun 1907, Montessori diberi tanggung jawab menangani sebuah wilayah oleh pemerintah. Montessori kemudian terjun langsung mengurus Casa dei Bambini, sebuah pusat pendidikan anak yang terletak di San Lorenzo. Di tahun 1909 menjadi awal mula terbentuknya Metode Montessori, sebuah metode belajar yang efektif. Buku pertama Montessori terbit dan diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Salah satunya dalam bahasa Inggris berjudul “The Montessori Method”. Atas ketajaman pemikirannya, di usianya yang ke-36, Montessori telah menjadi tokoh terkenal di Italia.

Karakter Universal Dimiliki Setiap Anak

Menurut Montessori, setiap anak diciptakan dan dibesarkan dengan cara yang berbeda-beda. Sehingga mereka memiliki keunikan dan karakter yang tidak sama. Oleh karena itu, setelah melakukan pengamatan terhadap beragam anak dengan latar belakang yang berbeda, Montessori mendapat gagasan tentang karakteristik universal, yaitu karakter natural yang dimiliki oleh setiap anak. Karakter universal inilah yang kemudian menjadi landasan awal dalam mendidik anak.

Filosofi Montessori merangkum enam karakter universal berdasarkan observasi yang dilakukannya.[3] Pertama, bahwa semua anak sebenarnya telah dibekali kemampuan absorbent mind (menyerap informasi). Kemampuan tersebut erat kaitannya dengan karakteristik kedua, yaitu keinginan untuk belajar. Sebuah kemauan alamiah yang ada pada tiap diri anak. Karakteristik ketiga, percaya bahwa setiap anak pasti akan melewati beberapa tahapan perkembangan. Montessori membaginya menjadi tiga tahap, yaitu baru lahir hingga usia enam tahun, usia 6-12 tahun, dan usia 12-18 tahun.

Sensitive periods (periode sensitif) adalah karakter keempat. Artinya masa ketika seorang anak secara alami termotivasi belajar dengan sendirinya. Sedangkan karakter kelima, setiap anak memiliki keinginan untuk bisa mandiri. Pada usia dini, Montessori mengembangkan kurikulum exercises of practical life yang berisi tentang aktivitas rutin sehari-hari. Selanjutnya karakter keenam adalah belajar melalui bermain dan melakukan sesuatu. Bermain adalah aktivitas berharga bagi setiap anak.

Di Antara Follow the Child dan Freedom with Limitation

Montessori menekankan perlunya memahami dan merespons kebutuhan dan minat setiap anak. Dalam konteks Montessori, setiap anak dianggap unik. Sehingga kurikulum disesuaikan dengan perkembangan dan minat mereka. Artinya para pendidik mengamati anak-anak dengan cermat untuk mengidentifikasi apa ketertarikan mereka, tingkat kesiapan, serta gaya belajarnya. Dari hasil pengamatan ini, mereka memandu anak-anak pada aktivitas dan bahan yang sesuai.

Prinsip follow the child membantu anak mengembangkan otonomi dan motivasi dalam dirinya. Anak memiliki kontrol atas proses belajarnya sendiri. Hal ini bermanfaat untuk memantik rasa tanggung jawab, termasuk pengambilan keputusan sejak dini. Pendekatan ini tidak membuat anak merasa digesa. Sebab, metodenya memungkinkan anak belajar at their own pace (sesuai kecepatan mereka sendiri) tanpa harus berkompetisi.

Sedangkan freedom with limitation memastikan anak-anak memiliki kebebasan dalam belajar. Bebas dalam konsep ini bukan berarti tidak terkendali, tetapi tetap dalam koridor yang terstruktur. Kebebasan yang dimaksud adalah mencakup tiga hal. Pertama, anak bebas menentukan material yang dieksplorasi. Kedua, mereka diberi kebebasan dalam menentukan durasi mengeksplorasi materialnya. Ketiga, mereka mendapat kebebasan dalam berdiskusi dan bekerja bersama.[4]

Batasan dalam lingkungan Montessori mencakup etika sopan santun, kebaikan, dan aspek keamanan. Anak akan diajarkan untuk mengembangkan rasa tanggung jawab dan disiplin diri. Tidak hanya itu, mereka juga belajar untuk menghargai waktu kerja sendiri dan orang lain. Sia-sia saja jika kebebasan yang diberikan pada anak-anak tanpa diiringi dengan pilihan aktivitas yang produktif.

Respect the Child and They’ll Respect You

Penggunaan bahasa yang sopan dan hormat sangat penting dalam pendekatan Montessori. Para pendidik di lingkungan Montessori diajarkan untuk berbicara kepada anak-anak dengan hormat dan penuh perhatian. Dengan demikian, anak-anak belajar cara berkomunikasi yang sopan serta menghormati orang lain. Pendidik memosisikan diri sebagai role model bagi anak. Sebab, anak-anak harus dihormati sebagaimana orang dewasa ingin diperlakukan.

Ketika orang tua mendapati anak-anak melakukan ketidaksopanan, menurut Montessori itulah saat yang tepat untuk mengevaluasi diri. Sebab, saling menghargai merupakan sebuah tindakan yang dipelajari oleh anak dari lingkungannya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Montessori:

The problem isn’t that children aren’t respectful towards adults. The problem is that the adults aren’t respectful towards children. Disrespect is learned behaviour.”[5]

Menghargai anak dapat dicontohkan dalam berkegiatan sehari-hari. Seperti memosisikan diri sejajar dengan anak, melakukan kontak mata ketika berbicara, menjaga kestabilan intonasi bicara, serta hadir sepenuhnya mendengarkan mereka. Dengan demikian, anak dapat mencurahkan isi hati dengan perasaan yang nyaman. Dalam lingkungan Montessori akan ditemui suasana yang cenderung tenang, karena anak-anak terbiasa berkomunikasi dengan sopan.

Selain itu, dalam pendekatan Montessori, anak-anak juga ditekankan untuk menghormati lingkungan sekitar sekaligus merawatnya. Sehingga anak-anak belajar mengenai tanggung jawab sosial dan menghargai keberlangsungan alam. Melalui pendekatan Montessori yang mengedepankan penghargaan pada anak, bahasa, serta lingkungan, anak-anak dapat berkembang dalam suasana yang penuh dengan cinta dan penghormatan.

Maria Montessori meninggal pada tahun 1952, tetapi warisannya tetap hidup dalam metode yang dikembangkannya. Montessori dinilai telah memberikan banyak manfaat dalam dunia pendidikan, serta sukses membantu anak-anak mencapai potensi mereka Montessori adalah contoh inspiratif tentang bagaimana seorang individu mampu mengubah dan memberi kontribusi nyata bagi perkembangan anak-anak. Kini, lebih dari satu setengah abad setelah kelahirannya, pemikiran Montessori masih banyak diterapkan di seluruh dunia.


[1] Vidya Dwina Paramita, Jatuh Hati pada Montessori, (Yogyakarta: Bentang Pustaka), halaman 7.

[2] Lesley Britton, Montessori Play and Learn, (Yogyakarta, Bentang Pustaka), halaman 11.

[3] Lesley Britton, Op.cit., halaman 15.

[4] Vidya Dwina Paramita, Ibid., halaman 64-79

[5] Masalahnya bukan anak-anak tidak menghormati orang tua. Masalahnya adalah orang tua tidak menghormati anak-anak. Menghormati adalah perilaku yang dipelajari.

Bagikan
Exit mobile version