f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kesehatan

Para Tenaga Kesehatan dan Perannya Sebagai Sahabat di Era Pandemi

Di era pandemi, membaca informasi dari para pegiat kesehatan yang rajin membuat konten edukasi kesehatan sejak pandemi berlangsung menjadi kebiasaan baru masyarakat pada umumnya. Masyarakat tertarik dengan segala informasi terkait pandemi yang akurat, sumbernya bisa dipercaya, serta tuturannya mudah dipahami. Para pegiat kesehatan di media sosial tersebut sebagian besar adalah dokter. 

Sebenarnya, jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi, dokter sudah menjadi profesi yang selalu dimuliakan, disanjung, dan dipercaya memiliki kemampuan untuk menjelaskan hal-hal yang terkait dengan kesehatan. Lalu di era media sosial, di mana kebutuhan akan informasi yang akurat dan cepat menjadi hal primer; dokter otomatis memiliki peluang dan panggung yang luas untuk dapat membagikan pengetahuan mereka, khususnya bagi warganet. 

Dalam situasi pandemi saat ini, dokter yang aktif di media sosial semakin banyak bermunculan. Mulai dari dokter senior yang bertugas sebagai Satgas Covid-19 hingga para dokter muda yang merasa tergerak untuk memberikan edukasi di masyarakat. Mereka semua berjuang di lapangan untuk membantu masyarakat sekaligus berusaha berjuang pula di dunia maya untuk menyampaikan edukasi terkait pandemi dan kesehatan pada umumnya seluas mungkin. 

Sayangnya, saat lakon yang baik muncul, entah mengapa lakon yang berlawanan juga muncul. Seperti kita ketahui, belakangan muncul oknum yang justru menjadi penghambat edukasi. Beberapa oknum tersebut punya latar belakang dunia kesehatan, meski seharusnya sudah tidak menyebut dirinya sebagai dokter karena STR-nya sudah kadaluarsa. Mereka turut meramaikan arus, sayangnya yang mereka lakukan adalah turut berlomba-lomba memberikan sumbangan berupa banjir disinformasi. 

Lucunya, para pelaku penyebar hoax dan disinformasi ini justru dengan mudah diterima oleh sebagian masyarakat. Cara berkomunikasi mereka jelas menarik bagi para pengikutnya. Oknum pembuat hoax nampaknya juga memiliki kemampuan mendengarkan yang baik. Bukankah kunci sukses dari berkomunikasi, salah satunya adalah kemampuan mendengarkan? 

Baca Juga  Memahami Makna Syukur dari Bapak Pengantar Paket

Selain itu, mereka juga jeli membidik target, yaitu golongan masyarakat yang belum lihai menalar suatu informasi di dunia maya. 

Kemunculan para penyebar hoax menjadi salah satu penyebab terbentuknya polarisasi, antara mereka yang memiliki pengetahuan yang cukup dengan mereka yang sebatas percaya pada edaran penuh disinformasi dalam ruang-ruang komunikasi digital. Para pengusung teori konspirasi pun semakin dijunjung berkat bantuan oknum penebar disinformasi. Perang terhadap arus disinformasi menjadi hal yang sama melelahkannya dengan perjuangan menyelamatkan manusia di masa pandemi ini. 

Sementara itu, di luar bisingnya sautan antara mereka yang terpolarisasi, ada ruang yang cukup hening dari sorot media. Ruang-ruang privat ini berisi kepercayaan antara keluarga pasien isoman dengan dokter maupun tenaga medis lain yang berelasi dengan mereka. 

Tenaga medis yang lebih tepat disebut sebagai relawan ini berperan sebagai konsultan untuk keluarga yang sedang isoman. Mereka melayani dengan cara memberi semangat, perhatian, serta saran-saran praktis terkait dengan kondisi keluarga yang sedang isoman. 

Salah satu teman dalam komunitas menulis yang saya ikuti, dr. Prima Ardiansah , sering kali kami minta untuk menjawab pertanyaan seputar isoman. Menjawab pertanyaan saja rupanya belum cukup; dokter muda ini bahkan beberapa kali menyapa para sahabat yang sedang isoman untuk sekadar menyapa dan memastikan kesehatan teman komunitasnya. Begitu pula yang dilakukan oleh teman dari komunitas Sharing ASI-MPASI, yang saya ikuti. Seorang perawat yang bekerja di RSUP Persahabatan, Jakarta, Ika Mulyana, melakukan hal yang tak jauh berbeda dari dokter Prima, memberikan perhatiannya untuk para ibu di dalam komunitasnya. 

Nama dokter Prima dan suster Ika mungkin tak muncul di aplikasi-aplikasi telemedicine. Mereka juga tidak seterkenal para influencer yang gencar mengedukasi lewat media sosial dalam aneka platform. Namun, betapa berharganya balasan pesan Whatsapp mereka bagi orang-orang yang mereka bantu saat bertanya tentang hal-hal terkait Covid-19. Sosok seperti dokter Prima dan suster Ika tentunya ada banyak sekali di sekitar kita. Mereka menjadi sahabat yang nyata. Bukankah banyak dari kita yang ketika bergejala, hal yang dilakukan pertama kali bukannya menghubungi Satgas Covid-19, namun menghubungi teman seperti dokter Prima dan suster Ika? 

Baca Juga  Pilkada Berkualitas di Era Pandemi

Sungguh mulia, apa yang mereka perbuat dengan menyediakan diri membalas pesan-pesan dari masyarakat awam. Para nakes ini turut berperan dalam melawan mereka yang gemar menyebarkan disinformasi tentang kesehatan selama pandemi berlangsung. Butuh kemampuan komunikasi yang baik, supaya jawaban yang diberikan tidak menimbulkan kepanikan namun juga tidak membuat si penanya menyepelekan keadaan. 

Wabah belum terlihat akan berakhir. Kebisingan akibat polarisasi akibat dari kegagalan penyatuan visi untuk menangani pandemi telah menjelma menjadi wabah lain. Bangsa ini mulai berada di titik lelah meski masih banyak yang tak henti mencoba mengalahkan kelelahannya; salah satunya para nakes yang mengambil peran sebagai “kawan baik” mereka yang harus isoman. 

Sementara itu yang terjadi di ruang publik, pemerintah menjadi pihak yang paling punya andil dalam hal kegagalan komunikasi. Sangat berbeda dari para dokter pendamping isoman yang memikirkan bagaimana membuat orang awam menjadi waspada tetapi tidak panik dalam menghadapi pandemi. Di ruang publik, masyarakat lebih memilih mengukuti penjelasan dari para nakes yang dianggap komunikatif dibandingkan penjelasan-penjelasan yang dirilis resmi oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah lelah diombangambingkan keadaan; sementara pembuat kebijakan masih saja mengucapkan hal-hal yang membuat keadaan tak menjadi lebih baik. 

Mungkin ini memang saat-saat di mana manusia dipaksa untuk bisa berdiri dengan kakinya sendiri. Ibaratnya, dengan kaki yang lumpuh dan terluka, masyarakat masih diminta berdiri dengan kakinya sendiri. Sementara itu, suara-suara berupa kritik dan saran untuk pemerintah terus bergaung seiring raungan ambulans yang hilir mudik berusaha menyelamatkan nyawa pasien di dalamnya. 

Semoga seperti halnya suara sirine yang dapat membuat pengendara di depannya meminggirkan kendaraan; demikian juga suara-suara yang berisi kritik dan saran dari luar jajaran pemerintah mampu membuat kepentingan-kepentingan yang tak darurat untuk minggir sejenak. Pemangku kebijakan mungkin masih kesulitan untuk meniru para dokter yang sudah berusaha membangun jalur komunikasi bagi masyarakat awam. 

Baca Juga  Kenapa Sekolah Belum Dibuka Pak?

Kesulitan dalam ketepatan penyampaian informasi ditambah dengan problematika klasik para pemangku kebijakan yang terlihat kurang bisa mendengarkan dengan baik mungkin bisa diatasi dengan membantu memperbaiki fungsi pendengaran tersebut. Namun, semoga saja kita tidak perlu memperbesar volume keluhan kita, dari rintihan menjadi raungan, seperti ambulans di jalan raya hanya untuk lebih didengarkan. Semoga saja para pemangku kebijakan senantiasa mampu untuk melihat, mendengar, dan memutuskan berbagai hal terkait pandemi dengan hati nurani dan akal pikiran yang bersih. 

Bagikan
Comments
  • Erni Bahri

    Ameeen🙏❤️

    Agustus 18, 2021
Post a Comment