Site icon Inspirasi Muslimah

Online Resilience : Keterampilan Penting Menghadapi Norma dan Normal Baru (Part 1)

normal

Oleh : Ahmad Yunus*

COVID-19 dan Pembentukan Norma dan Normal Baru

COVID-19 telah ditetapkan World Health Organization (WHO) sebagai pandemi. Hal ini dikarenakan COVID-19 secara penyebaran dan dampak memiliki risiko biologis menjadi bencana global (Global Catastrophic Biological Risk/ GCBR). Penyebaran COVID-19 pada mulanya diyakini menyebar dari hewan kepada manusia, saat ini telah ditransmisikan dari manusia kepada manusia (WHO, 2020). Sebagai dampaknya, kita kemudian diarahkan untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Seseorang yang positif COVID-19 harus mengisolasikan diri. Sementara mereka yang berisiko tinggi atau diduga terpapar COVID-19 diharuskan untuk mengkarantina diri mereka di rumah atau dipusat-pusat karantina (Central for Disease Control and Prevention, 2020 March 17).

Pada tingkatan yang lebih besar—diranah publik—pemerintah di banyak negara telah memberlakukan ragam kebijakan yang berupaya membatasi jarak kita untuk melakukan interaksi sosial untuk menghindari penyebaran COVID-19. Kebijakan tersebut kita kenal dengan social distancing atau physical distancing (CDC, 2020 March 17). Kebijakan ini dilakukan bertahap mengikut kepada tingkat “kewaspadaan” suatu wilayah. Tahap ini mulai dari Persiapan (Prepare), Pengurangan(Reduce), Pembatasan (Restrict), sampai dengan Penghentian (Eliminate/Lockdown) (Unite against COVID-19, 2020 April 16). Sebagai implikasinya, kita kemudian harus melakukan sebagaian besar aktivitas kita di rumah, dan keluar rumah hanya dalam kondisi mendesak. Kita kemudian mulai untuk mengubah perilaku dan membentuk norma harian yang baru (new norm) semisal bekerja, belajar dan hal lainnya dilakukan dari rumah. New norm inilah yang kita adaptasi sebagai suatu perilaku yang baru, sehingga kita mencapai titik kesetimbangan dengan hadirnya suatu standar normal yang baru (new normal).

Kebiasaan yang banyak berubah pada diri kita adalah berkaitan dengan perilaku kita di dunia maya. Kebijakan restrict yang di Indonesia dikenal dengan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) telah mengubah pola-pola kebiasaan kita di internet. Mulai dari durasi, jenis pengunaan, dan bahkan pembentukan perilaku baru. Semisal, kerja dan belajar dari rumah telah mendorong kita untuk beradaptasi menggunakan ragam perangkat lunak dalam rangka kerja seperti untu telekonferensi, webinar, atau rapat digital. Aplikasi berbasis telekonferensi seperti Zoom, Google Meet, Microsoft Team, dan sebagainya yang digunakan untuk rapat dan webinar  juga naik pesat (Rana, and McLymore, 2020 March 17). Perusahaan seperti Twitter bahkan menyatakan bahwa karywan mereka bisa Work from Home selamanya, hal ini didasarkan atas efektivitas mereka bekerja dari rumah selama COVID-19 (Reuters, 2020 May 13). Selain bekerja dan belajar dari rumah, belanja dari rumahpun menjadi kebiasaan baru yang juga meningkat pesat. Banyak diantara kita saat ini, lebih nyaman berbelanja secara digital atau daring untuk memenuhi kebutuhan harian. Kenaiakan digital shopping (e-commerce) ini meningkat di hampir semua negara (Clapp, 2020 March; Columbus, 2020 April 28).

Internet saat ini memiliki arti dan fungsi yang amat luas. Bagi millennial—generasi yang lahir dari 1981 sampai 2000—Internet aktif digunakan untuk belanja dan pembayaran secara online (Ang et al., 2009; Farris et al., 2002). Dalam konteks pengasuhan dan pendampingan anak, saat ini khusunya orang tua millennial juga menghadapi tantangan baru. Orang tua yang sebelumnya ketat memberlakukan peraturan menggunakan gawai dan internet, saat ini “terpaksa” dan menyerah dengan keadaan dengan memberikan keleluasaan menggunkan gawai dan internet bagi anak mereka, terlebih karena anak-anak banyak juga yang belajar dari rumah. Keadaan-keadaan inilah yang membuat kita pada akhirnya terus mencari norma dan normal demi tujuan keseimbangan dalam hidup selama pandemi.

Apa tantangan yang kita hadapi?

Situasi dimana kita terus menerus terisolasi dan membuat norma dan normal baru sesungguhnya sangatlah rentan secara psikologi karena kita dihadapkan dengan sesuatu yang baru yang penuh ketidakpastian (uncertainty). Ketidakpastian ini dikarenakan informasi dan pengatahuan tentang COVID-19 masih sangat terbatas. Kita menghadapi suasana yang tidak kita ketahui (Unknown) berkaitan dengan COVID-19, seperti informasi dampak lanjutan dari pandemi COVID-19, kapan pandemi ini akan berakhir, dan apa yang akan terjadi setelah COVID-19 berakhir. Ketidaktahuan tersebut yang mendorong kita akhirnya mudah cemas, mudah khawatir, dan menjadikan kita irritability. Beberapa juga membentuk respon dengan panik, seperti panic buying, bahkan sebagain yang lain mengalami panic attack yang membentuk perilaku obsessive Compulsive. Tentu dalam kondisi cemas, khawatir, panik, irritabilitas, bahkan depresi dapat menyebabkan kesalahpahaman diantara sesama penghuni rumah—antara suami-istri, orangtua-anak—dimana situasi ini berisiko menyebabkankan terjadinya KDRT—Intimate Partner Violence (IPV)—baik sebagai pelaku atau korban.

Sebagian orang mungkin dapat melalui ini dengan baik, tapi ada yang juga yang merespon dengan perilaku maladaptasi. Perilaku maladaptasi utama yang muncul misalnya serangan panik (panic flight), dan sindrom selama bencana (disaster syndrome) (Adams and Anderson, 2019). Serangan panik dikaitkan dengan ketakutan akut, kehilangan kendali, dan gejala non-sosial dan non-rasional. Ini terjadi sebagai akibat dari serangkaian kondisi yang membuat seseorang merasa seolah-olah satu-satunya respons yang layak adalah melarikan diri dari situasi yang mereka hadapi. Selian itu serangan panik juga dapat menyerang masayarakat—dalam cakupan kelompok atau masal (Adams and Anderson, 2019).

Sindrom bencana, merupakan respon perilaku maladaptasi lainnya yang mengacu pada sekelompok kondisi, sebagian besar ditandai oleh keadaan syok dan ditandai oleh mudah terpengaruh dan terbawa suasana (docility), pemikiran yang kacau, dan kurangnya kepekaan terhadap isyarat dari lingkungan terdekat (Tierney, Lindell, dan Perry, 2001). Penelitian telah menunjukkan bahwa timbulnya sindrom bencana jarang terjadi tetapi lebih mungkin terjadi pada bencana yang muncul tiba-tiba dengan kerusakan fisik yang luas, cedera mengerikan, dan kematian (Fritz dan Marks, 1954). Kondisi ini biasanya bersifat sementara dan cenderung hanya mempengaruhi sebagian kecil dari populasi yang terkena dampak. Serangan panik dan sindrom bencana adalah respons perilaku yang terjadi pada awal bencana, tetapi respons maladaptasi lainnya yang terjadi selama dan setelah bencana, misalnya, perilaku menghindar, penyalahgunaan alkohol, dan penyalahgunaan narkoba (Adams and Anderson, 2019).

Kita menghadapi satu keadaan yang dikenal dengan Cabin fever. Cabin fever merujuk pada kondisi dimana kita mengalami gangguan emosi dikarenakan adanya batasan pergerakan—semisal tinggal di rumah, dan ruang isolasi—karena adanya kondisi tertentu. Kondisi yang dimaksudkan misalnya karena penyakit, cuaca buruk, hukuman, dan lain sebagainya. Pergerakan kita yang amat terbatas, bahkan keharusan sepanjang waktu beraktivitas dari rumah, meningkat risiko kita mengalami cabin fever. Cabin fever sendiri berisiko meningkatkan domestic Violence (James, 2014 January 9; Christensen, 1984) dan penyalahgunaan obat (Recoverycenterofamerica.com; www.nst.com.my, 2020 March 27; Boddy, Young and O’Lary, 2020 March 13).

Dalam kondisi yang penuh ketidak tahuan (unknown) dan ketidak pastian (uncertainty) mendorong kita untuk mengerahkan segala upaya dalam mencari jalan keluar. Sebagai mahluk yang berpikir kita memiliki sifat dasar rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu adalah elemen dasar dari kognitif. Ia adalah motivasi untuk belajar, berpengaruh dalam pengambilan keputusan, dan krusial dalam perkembangan kesehatan kita. (Kidd and Hayden, 2015). Rasa ingin tahu tersebut membantu manusia untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia memerlukan perasaan aman (safe or secure) (Arruma and Hanchor, 2017) dan memerlukan perasaan dalam kendali (in control) (Leotti et al, 2010). Rasa aman yang dicari adalah rasa aman dari bahaya secara fisik dan sosial (Arruma and Hanchor, 2017). COVID-19 secara jelas telah mengganggu rasa aman dan perasaan dalam kendali yang kita miliki. COVID-19 mengakibatkan kerugian secara fisik—berupa gangguan organ pernafasan dan juga kehilangan nyawa—serta mengakibatkan kita mengalami kerugian secara sosial berupa terpisah dari komunitas akibat PSBB dan penjarakan fisik. Dengan demikian rasa ingin tahu kita telah mendorong kita berusaha untuk mencari informasi sebanyak mungkin terkait dengan COVID-19.

Kita yang memang selama COVID-19 berinteraksi menggunakan internet secara intens, juga menggunakan internet sebagai sumber informasi untuk memenuhi rasa ingin tahu sehingga rasa aman dan perasaan dalam kendali bisa didapatkan kembali. Mencari informasi melalui internet dan membandingkannya amatlah positif. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat meminimalisir risiko negatif yang ada. Isu berita bohong (Fake News atau Hoax) atau isu konspirasi mengenai COVID-19 yang tidak disasrkan bukti ilmiah menjadi ancaman nyata bagi kita. Kita harus pandai untuk memilih, membandingkan, menyaring, dan bahkan mengevaluasi pemberitaan yang ada agar tidak terjebak dalam hoax. Selama COVID-19, banyak isu dan pemberitaan beredar yang mengarah kepada hoax. Isu itu mulai dari sumber COVID-19, pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab atas COVID-19, penyebab COVID-19, dan bahkan COVID-19 sendiri dianggap sebagai “rekayasa belaka” atau “isu yang dilebih-lebihkan”.

Informasi demikian telah mendorong munculnya ragam reaksi di masyarakat. Sebagai contoh, isu 5G telah berkontribusi dalam pelemaham sistem imun yang mengakibatkan COVID-19 menyebar luas telah mendorong terjadinya perusakan terhadap 77 mobile tower di seluruh UK (Reichert, 2020 May 7; BBC News, 2020 April 21). Hal ini tentu dapat merugikan karena dapat menggangu saluran komunikasi yang sangat diperlukan rumah sakit dan pihak tertetentu untuk berkoordinasi dengan yang lainnya. Sebagian yang lain bahkan menyakini bahwa COVID-19 tidaklah nyata dan hanya mitos—konspirasi belaka—(Robson, 2020 April 7). Keyakinan demikian tentu saja dapat menghambat upaya pemberantasan COVID-19. Jika kita meyakini bahwa COVID-19 adalah mitos, maka kewaspadaan, upaya pencegahan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan upaya penanganan COVID-19 akan terhambat. Isu-isu yang simpang siur tentang asal virus juga telah mengarah kepada upaya rasisme dan xenophobia kepada orang asia yang rasnya dikaitkan erat dengan asal virus COVID-19 (Lau, 2020 March 23; Yong, 2020 April 27).

Bersambung …

*) Ahmad Yunus adalah Mahasiswa dalam Program Master of Counseling (Substance Abuse) – Universiti Sains Islam Malaysia (USIM). Juga merupakan alumni BK-FKIP UHAMKA Jakarta.

Bagikan
Exit mobile version