Site icon Inspirasi Muslimah

My Covid Journey : Kehilangan dan Kebahagiaan

kehilangan

Masih teringat jelas di ingatanku, setahun yang lalu saat aku bercerita dengan para perawat yang bertugas di IGD tentang mirisnya kondisi sebuah keluarga di Jawa Timur yang mengalami covid. Hampir semua anggota keluarganya mengalami covid, dan meninggal dalam waktu berdekatan. Saat itu kami merasakan betapa menyedihkannya kisah orang tersebut. Lalu, satu tahun kemudian ternyata aku mengalami hal yang mirip dengan kisahnya.

Pertengahan bulan Juli 2021 aku dan ibuku positif Covid-19. Karena kami mengalami gejala ringan dan tanpa komorbid, akhirnya kami isolasi mandiri. Alhamdulillah kedua adik dan ayahku negatif, sehingga masih bisa menyediakan makanan dan segala keperluan kami saat isolasi.

Seminggu kemudian, saat malam takbiran iduladha, aku mendapat telpon dari kakak sepupu yang rumahnya di dekatku jika pamanku mengalami sesak dan saturasinya turun, dia meminta tolong untuk diantarkan ke rumah sakit. Akhirnya ayahkulah yang mengantarkan. Saat itu, kasus Covid-19 di daerahku sedang tinggi-tingginya, semua rumah sakit penuh, oksigen habis. Setelah mencari ke beberapa rumah sakit, alhamdulillah pamanku masih bisa mendapatkan rumah sakit, walaupun dengan membawa velbed sendiri dan masih belum mendapatkan oksigen. Baru keesokan harinya kami mendapatkan oksigen dari tetangga yang baru meninggal karena Covid-19. Satu hari setelah iduladha ayahku positif covid. Ayahku pun isoman karena gejalanya ringan.

Empat hari setelah pamanku dirawat, pamanku meninggal. Rasanya sedih sekali. Kehilangan paman yang selama ini banyak menghabiskan waktu dengan kami. Tapi alhamdulillah saat itu, aku dan ibuku sudah selesai isolasi mandiri, sehingga kami bisa lebih kuat menerima kabar duka ini. Sungguh di tengah kesedihan ini, aku bisa merasakan betapa Allah adalah perencana terbaik. Dalam kondisi duka sekalipun Allah menyiapkan kondisi kita.

Tepat tujuh hari setelah pamanku meninggal, paman dan bibiku yang merupakan kakak ayahku mengalami Covid-19. Mereka berada di kota lain, tapi karena posisiku sebagai dokter, akulah yang mengontrol kondisi mereka dari jauh. Aku lebih khawatir terhadap mereka, karena mereka lansia dan bibiku memiliki komorbid sakit jantung. Keesokan harinya mereka juga mengalami sesak dan saturasinya turun. Aku seperti mengalami reka ulang kejadian pamanku sebelumnya. Kesusahan mencari oksigen dan rumah sakit. Alhamdulillah paman dan bibiku mendapatkan oksigen keesokan harinya. Mereka awalnya menolak dirawat di rumah sakit, tapi dengan bujukan anak-anaknya akhirnya mereka mau dirawat.

Satu minggu setelah dirawat, pamanku meninggal. Kondisi ini cukup berat bagi kami. Di tengah kesedihan yang masih tersisa karena kehilangan saudara, kami merasakan kesedihan lainnya karena hal yang sama, tapi kami harus tetap kuat demi bibi. Kami tidak memberi tahu bibi dan menyembunyikan kesedihan kami darinya, takut bibi tambah drop kondisinya. Akhirnya dengan kesedihan yang masih terasa, kami berjuang lahir dan batin demi kesehatan bibi.

Semakin hari, kondisi bibi alhamdulillah semakin stabil. Terkadang bibi juga menanyakan bagaimana kondisi suaminya, tapi kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak memberitahu kabar kematian paman. Saat itu kami sudah berdisuksi bagaimana nanti cara kami memberitahu bibi tentang kondisi paman yang sudah berpulang kepada allah. Tapi ternyata, dua minggu setelah paman meninggal bibi menyusulnya, kami tidak sempat memberitahu jika paman sudah meninggal, bibi mengetahuinya sendiri dengan cara bertemu paman di akhirat. Berita ini, sungguh berat bagi keluarga kami. Sedih dan kehilangan pastinya. Tapi kami tahu semua ini adalah bagian dari skenarionya yang harus kami terima dan kami yakini jika inilah yang terbaik.

Kehilangan, Syukur dan Kebahagiaan

Semua kondisi ini mengandung hikmah bagi kami, dan bagiku sebagai seorang dokter. Sebagai seorang dokter, kondisi ini mengajarkanku untuk lebih empati kepada pasien, karena aku tahu bagaimana rasanya menjadi keluarga pasien itu. Sedih, bingung, khawatir, carut marut semuanya. Aku harus lebih sabar dalam menghadapi pasien dan keluarga pasien.

Kondisi ini mengingatkan kami lagi, jika hidup di dunia ini hakikatnya adalah menunggu giliran kematian, sekarang giliran mereka, saat waktunya nanti kitapun akan mengalaminya. Kedua paman dan bibiku sudah gilirannya menghadap Allah, jalannya adalah mengalami sakit covid-19. Meskipun akhirnya meninggal, setidaknya kami sudah berusaha maksimal mencari kesembuhan seperti yang allah perintahkan. Mereka adalah orang-orang yang baik. Jika mereka yang meninggal sudah memiliki banyak tabungan kebaikan, anak-anak sholih-sholihah dan amal jariyah, maka sudahkan kita memilikinya?

Di saat aku mengalami kondisi-kondisi yang menyedihkan itu, aku merasakan betapa allah maha baik mengatur segala skenarionya untuk setiap hamba-Nya. Mempersiapkan hambanya untuk menerima hal itu. Di saat bersamaan pula di media sosial aku mendapat kabar orang lain juga merasakan betapa baiknya allah melalui kejadian membahagiakan yang mereka alami. Hal ini, semakin membuatku yakin jika bahagia dan sedih hanyalah jalan untuk semakin mengenal Allah. Keduanya datang silih berganti. Jadi nikmati bahagia dan syukurmu secukupnya.

Bagikan
Exit mobile version