Site icon Inspirasi Muslimah

Mortalitas Anak Indonesia Terpapar Covid-19 Tertinggi di Dunia!

mortalitas

Beberapa hari terakhir, kita semua terkejut dengan melonjaknya kasus Covid-19 di beberapa daerah. Bahkan sepekan terakhir, 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah masuk dalam kategori zona merah. Bahkan menurut Ketua IDAI dr. Aman B Pulungan dalam konferensi pers daring, kasus mortalitas (kematian) Covid-19 pada anak di Indonesia, saat ini mencapai 12,5 persen, selain itu case fatalitynya 3-5 persen, tertinggi di dunia.

Fenomena Melonjaknya Covid-19

Kasus Covid-19 mengalami tren kenaikan pasca liburan Idul Fitri satu bulan yang lalu. Menurut Wamenkes dr. Dante Saksono Harbuwono, terdapat dua faktor yang menyebabkan lonjakan kasus yang hari ini sangat sulit pemerintah kendalikan.

Pertama, faktor eksternal, faktor ini berkaitan dengan mobilitas masyarakat yang cukup tinggi baik mobilitas local maupun antar daerah. Kedua, terdapat varian-varian baru yang dikenal dengan variant of concern, yang mana Covid-19 melakukan mutasi dan menginveksi sebagian masyarakat.

Mengutip kompas.com, sebanyak 145 kasus Covid-19 dari analisa terhadap 1.989 sekuens genom virus corona tercatat muncul 3 varian baru, seperti: B.1.1.7 (alpha); B.1.351 (beta); B.1.617.2 (delta).

Varian alpha memiliki potensi bahaya meningkatkan risiko kematian, namun belum terbukti terkait pengaruhnya terhadap vaksin. Varian beta memiliki potensi menurunkan efikasi vaksin dan tingkatkan risiko keparahan penyakit. Untuk varian delta, memiliki potensi tingkatkan transmisi virus; kurangi kemanjuran antibodi; bantu virus hindari sistem kekebalan tubuh.

Sepenggal Kisah dari Kota Wali

Sepekan yang lalu, penulis mendapatkan tugas untuk membackup MCC Kudus dalam penaganan Covid-19. Sebagaimana telah berbagai media beritakan, kota wali ini ujug-ujug menjadi perhatian masyarakat karena meledaknya kasus Covid-19. Bahkan sekelas Ketua Satgas Covid-19 Letjen. Ganip Warsito harus turun langsung memimpin rapat koordinasi dalam penanganan Covid-19 di Kudus.

Dari kacamata penulis, memang terjadi lonjakan besar-besaran baik secara data maupun kenyataan lapangan. Misal, dari kasus kematian harian yang biasanya antara 5-15 orang, melonjak antara 30-45 orang tiap harinya. Kemudian antrean di IGD, khususnya malam hari menjadi pemandangan yang luar biasa di seluruh rumah sakit di Kudus.

Bahkan dalam Rapat Koordinasi MCCC Se Jawa Tengah, Ketua MDMC Jepara Ns. Roy menyampaikan bahwa di RSUD Kartini Jepara pun sebagian pasien adalah warga Kudus.

Keadaan di kota dan desa pun hampir sama, Brimob Polri dan tantara-tentara Infantri berseliweran. Pemberitahuan-pemberitahuan tentang kematian saling bersautan, seakan-akan sudah tersedia antrean yang siap dibacakan pak modin. Sungguh fenomena yang mengherankan.

Extra-ordinary Child Care

“Jadi kematian (anak) kita yang paling banyak di dunia. Jadi bisa dibayangkan kan? 1-8 (kena Covid-19) itu anak, dan meninggal 3-5 persen. Ini bervariasi tiap minggu,” kata Ketua IDAI dalam konferensi pers daring. Ia juga menambahkan bahwa 50 persen mortalitas pada anak di atas terjadi pada balita.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan mortalitas anak di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia. Menurut IDAI beberapa penyebab tersebut, seperti: ruang ICU khusus anak terbatas; SDM nakes yang menangani pasien Covid-19 menurun; obat-obatan khusus untuk terapi banyak yang tidak tersedia; termasuk aktifitas anak di luar rumah dengan bebas tanpa pengawasan.

Menurut penulis, fenomena ini harus menjadi cambuk untuk kita semua. Harus dilakukan extra-ordinary child care (perlindungan luar biasa bagi anak) untuk menanggulangi kasus mortalitas, khususnya pada anak semakin meroket.

Memang menjadi dilema tersendiri bagi orang tua terkait berbagai hal termasuk salah satunya pembelajaran daring. Satu tahun pembelajaran dari terlaksana, anak seakan-akan tidak memperlihatkan kemajuan secara signifikan layaknya pembelajaran konvensional. Namun, menurut penulis, kita semua masih harus bersabar sembari mencari metode pengasuhan dan pendidikan anak di rumah yang sesuai dan cocok. Apakah kita akan mengorbankan keselamatan anak karena ego kita agar mereka bisa segera masuk sekolah?

Menggugat Pemerintah

Puncak dari berbagai kekacauan yang hari ini terjadi, menurut penulis adalah efek dari kegagalan pemerintah dalam berbagai segmen. Mulai dari pengambilan kebijakan yang terkesan nggantung; implementasi aturan yang tidak sampai ke akar rumput; komunikasi publik dan politik yang tidak sehat bahkan terjadi miskomunikasi.

Pada segmen pengambilan kebijakan, sejak awal Covid-19 masuk ke Indonesia, pemerintah tidak tegas dalam melakukan perencanaan dan eksekusi kebijakan. Masih ingat kan dengan berbaga statement tokoh-tokoh yang sak geleme dewe? Hal ini memiliki efek domino hingga sekarang ini.

Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah salah dari awal. Pandemi Covid-19 adalah salah satu jenis bencana non-alam yang seyogyanya dikelola dengan pendekatan bencana. Konsep pentahelix yang harusnya mampu menjadi pemecahan masalah, tidak diindahkan oleh pemerintah dan malah terdapat regulasi dan tupoksi antar lembaga negara yang tumpeng tindih.

Kemudian dalam implementasi aturan, pemerintah juga terlihat inkonsisten. Ada istilah PSBB, PPKM, dan lainya yang berbeda-beda dan membuat masyarakat menjadi kebingungan. Termasuk status bencana nasional yang sebenarnya menurut penulis terlalu luas cangkupannya. Status bencana nasional sesuai regulasi, mewajibkan pemerintah pusat menjadi leading sector dalam penanganannya. Namun, nyatanya hari ini banyak yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah, bahkan desa.

Hari ini, penulis menggugat pemerintah pusat berkenaan dengan penanganan Covid-19, yang bahkan menimbulkan kasus mortalitas anak karena Covid-19 menjadi tinggi. Pemerintah telah abai dalam penanganan Covid-19 dan harus mempertanggung jawabkannya secara moril dan materil, bahkan kalau perlu sampai ranah hukum sekalipun.

Bagikan
Exit mobile version