Site icon Inspirasi Muslimah

Menghindari Kesedihan bersama Al-Kindi

al-kindi

isa-pamuji

Al-Kindi dalam salah satu karyanya, berjudul Fi Hila li-Daf al-Ahzan, menerangkan filsafat praktis bagaimana cara seseorang terhindar dari kesedihan. Pertama-tama al-Kindi mengidentifikasi apa itu kesedihan. Ia mendefinisikannya sebagai borok psikis yang menyeruak karena kehilangan objek yang dicintai atau tidak mendapatkan objek yang dihasrati. Al-Kindi melihat bahwa kesedihan dapat menimpa siapa saja; dan di mana saja ketika seseorang merasa kehilangan sesuatu yang benar-benar menjadi idamannya.

Sebagaimana definisi al-Kindi mengenai apa itu kesedihan, kita dapat menilik bahwa di dalam definisi tersebut ia secara implisit menyebutkan penyebab kesedihan; yakni kehilangan sesuatu atau tidak mendapatkan sesuatu yang menjadi dambaan, apa pun itu.

Jika kehilangan sesuatu yang menjadi keinginan merupakan penyebab dari kesedihan, apakah mungkin bagi kita terhindar dari kesedihan? Karena kita tahu apa yang kita miliki tidak selamanya kita miliki dan terutama apa yang kita inginkan tidak selalu bisa kita dapatkan.

***

Hal ini terjadi, sebagaimana pandangan al-Kindi, karena kita hidup di dunia yang di dalamnya semua hal selalu bergerak, berubah, dan tidak ada yang tetap, sehingga segala hal tidaklah menetap permanen. Bahkan, keinginan kita atau hasrat kita terhadap sesuatu juga senantiasa berubah-ubah.

Apabila kita menumpuk keinginan-keinginan kita atas sesuatu yang pada akhirnya ternyata tidak dapat kita dapatkan; artinya kita menumpuk kesedihan demi kesedihan di dalam jiwa kita, di mana hulubalang borok tadi akan berdatangan.

Menjadi lumrah bagi kita tertimpa kesedihan karena kita hidup di dunia yang terus tenggelam dan timbul. Al-Kindi menasehati, Jika kita kehilangan objek yang menjadi dambaan dan tidak mendapat objek yang kita cinta, kita seharusnya memersepsi dunia intelektual (‘alam al-‘aql) dan mendapatkan hal-hal yang tidak kita miliki dari sana.

Jika kita melakukan itu, maka kita aman dari seseorang yang merampas milik kita atau mengambilnya dari kita atau kehilangan apa yang kita cintai dari mereka; karena hal-hal (intelektual) ini tidak tersentuh oleh kelainan bentuk atau terpengaruh oleh kematian. Dan kita bukannya gagal mendapatkan hal-hal intelektual yang kita cari setelah yang satu dan lainnya, sebab ia tidak bergerak dan juga tidak berhenti mengada. Oleh karenanya, objek-objek itu dapat tercapai dan tidaklah fana.”

***

Benar bahwa yang membuat seseorang sedih adalah ia terjerat oleh alam indriawi ini; dan ia berseru. “Aku tidak ingin sedih, aku ingin bahagia.” Tetapi ia lupa bahwa apa yang dicari tidak ada di dalam dunia yang terus berubah. Dia mencari di alam apa yang tidak ada di dalamnya, dan tentu siapa pun yang mencari apa pun yang tidak ada di dunia berarti sedang mencari sesuatu yang tidak ada; sia-sia.

Kendatipun memang ia dapat mendapatkan apa yang ia cari, perlu untuk memahami bahwa apa yang ia sudah dapatkan tidak akan selamanya ia genggam, entah hal itu yang akan meninggalkannya, atau dia yang akan meninggalkan hal itu.

Al-Kindi menyarankan agar manusia yang mencari sesuatu di dunia ini untuk hanya mencari apa yang benar-benar dapat diakses baginya. “Kita semestinya tidak menyesali apa yang kita tidak dapat dan menatap di antara segala yang indriawi apa yang mungkin didapatkan saja.”

Al-Kindi memberikan beberapa tips bagaimana caranya mengobati kesedihan. Pertama-tama ia menegaskan bahwa manusia adalah apa yang ada dalam jiwanya, bukan wadaknya. Ia mengingatkan, “Sesungguhnya kita ada karena jiwa, bukan karena tubuh kita; tubuh kita hanyalah alat bagi jiwa untuk mengungkapkan eksistensinya. Aspek luaran menjadi suci karena kesucian jiwa, maka memperbaiki esensi diri kita, yaitu jiwa, lebih baik dari memperbaiki alat.”

***

Dengan makna yang sama, sebenarnya al-Kindi hendak menyatakan bahwa apabila seseorang sedang sedih; itu berarti jiwanya sedang tidak sehat. Karena kesedihan tersebut muncul dari keadaan jiwa; yang mana sebenarnya jiwa itu sendiri juga terpengaruh oleh tubuh, atau keinginan atau hasrat dari aspek luaran terhadap sesuatu.

Ketika kenyataan menjawab negatif, ia tidak mendapat yang menjadi idamanya, jiwa terpuruk, dan kesedihan menyeruak, kemudian tampak pada raut muka atau ekspresi jasmani lainnya.

Agar terhindar dari kesedihan, kata al-Kindi, seseorang mesti memahami penyebab dari kesedihan tersebut, apakah ia muncul dari perbuatannya sendiri atau dari perbuatan orang lain. Kedua-duanya hanya bisa terantisipasi dengan cara menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut.

Andaikan hal itu sudah kita lakukan tetapi kesedihan tetap menimpanya; maka ia mesti mengingat bahwa itu semua merupakan konsekuensi yang mesti kita terima, karena sebab-sebabnya begitu jelas. Dan yang terpenting adalah bahwa keinginan seseorang untuk tidak merasakan kesedihan (entah karena kehilangan atau gagal) adalah sama dengan ia menginginkan ia tidak hidup di dunia yang fana ini karena memang kesedihan merupakan akibat dari sifat fana segala sesuatu yang ada di dunia.

***

Dalam kata-kata al-Kindi sendiri, “Siapa pun yang berharap atas apa yang tidak ada di dunia fana ini berarti mengharapkan sesuatu yang tidak ada…Manusia hendaknya tidak bersedih karena kehilangan apa yang ia cintai atau gagal mendapat apa yang ia inginkan; sebaliknya, manusia harus mampu membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang mulia dan rela terhadap segala keadaan agar ia selalu bahagia.”

Lebih lanjut, al-Kindi menyatakan. “Oleh karena itu kita harus bertahan dalam menyembuhkan jiwa kita melalui kerasnya proses penyembuhan, kesulitannya, dan menanggung banyak sekali beban yang kita tanggung dalam menyembuhkan tubuh kita, meskipun menyembuhkan jiwa kita jauh lebih tidak memberatkan daripada menyembuhkan tubuh kita.

Perbaikan jiwa ini hanya dapat kita lakukan dengan keteguhan dan konsistensi dalam mendisiplinkan diri tidak dengan obat; deraan besi atau api dan uang, tetapi dengan menata jiwa untuk melakukan kebiasaan yang terpuji. Mulai dari hal-hal kecil dan sepele kemudian meningkat untuk melakukan kebiasaan yang terpuji yang lebih besar. Karena kebiasaan menjadi mudah dan dengan ini daya tahan dari hal-hal yang terlewat menjadi mudah dan akan ada pelipur lara untuk hal-hal yang hilang.

***

Pada akhirnya, seseorang mesti menyadari, sebagaimana al-Kindi telah ingatkan, bahwa apa yang ada di alam ini senantiasa berubah, dan tidak ada kebahagiaan permanen yang kita dapat di dalam dunia ini.

Oleh karena itu, al-Kindi menyarankan agar manusia mencari kebahagiaan di dunia intelek; di mana segala sesuatu ajek karena ia spiritual, dan spiritual karena ia ajek. Menjadikan kenikmatan material yang rentan remuk sebagai tujuan utama merupakan kebodohan, sebagaimana al-Kindi katakan. “Orang yang mengalami sakit, terperdaya, dan bodoh adalah orang yang menginginkan kenikmatan duniawi dan menjadikan hal itu sebagai tujuan utamanya.”

Jelas sekali bahwa manusia acap terperangkap dalam lingkaran setan, yakni ia bersedih karena dunia, tetapi malah menjadikan sumber kesedihannya itu sebagai tujuan utama. Padahal, ia seharusnya lekas menuju ke alam intelek (‘alam ‘aql) di mana tidak ada deformitas dan tidak ada kematian.

Epilog

Sebagai penutup, pernyataan al-Kindi patut sebagai mana kita ketahui. “Sesungguhnya manusia cenderung ingin memiliki banyak hal yang tidak primer demi menegakkan jati dirinya dan kebaikan dalam hidupnya. Padahal semuanya itu membuatnya menderita dalam mencarinya, bersedih karena kehilangannya, dan menyesal karena berlalunya.”

Editor : Wildan Assegaf

Bagikan
Exit mobile version