Site icon Inspirasi Muslimah

Mengelola Bakat

bakat

Awal tahun 90 an, aku pernah menonton pertunjukan musik yang dimainkan oleh Om Ireng Maulana dan Ermy Kulit. Petikan gitar banjo Om Ireng dan suara alto khas Ermy Kulit sungguh padu. Ada keserasian irama dan lagu saat lirik “Mack the Knife” dinyanyikan. Alunan musik dan lagu yang dinyanyikan itu begitu lekat di telingaku, hingga saat ini.

“Ireng Maulana itu memang berbakat main musik ya…” bisikku kepada kawan sebelahku. Seorang pemusik, sekaligus mahasiswa jurusan Seni Musik di Institut Kesenian Jakarta. Spontan, kawanku memprotes. “Ireng Maulana itu tidak hanya berbakat. Kemampuan bermain musiknya itu karena proses latihan yang sangat panjang, tekun dan gila-gilaan,” jelasnya.  

Membaca riwayat hidup Ireng Maulana, memanglah demikian. Ireng pernah satu tahun belajar keroncong di Amerika Serikat. Lalu belajar musik klasik di Belanda selama empat tahun. Setelah itu, ia kembali lagi ke Amerika hanya untuk belajar musik klasik. Waktu yang cukup panjang untuk belajar musik secara khusus.

Menemukan Bakat

Dalam pengertian sederhana, menurut KBBI, bakat adalah dasar (kepandaian, sifat, dan pembawaan) yang dibawa sejak lahir. Sayangnya, bakat itu tidak mudah diketahui secara pasti oleh setiap orang. Tidak banyak orang yang benar-benar tau dan yakin akan bakat di dalam dirinya. Aku termasuk dalam golongan itu. Sampai sekarang, aku belum mampu mengenali bakatku sendiri. Meski demikian, aku tidak terarik untuk ikut biro jasa ajang pencarian bakat. Aku mengamati beberapa orang yang tiba-tiba memiliki keahlian tertentu, meski tidak pernah ditekuninya selama ini.

Cerita Pertama

Bude Anik, kakak sepupuku. Dia seorang marketing professional bidang penjualan dan penyewaan apartemen di Jakarta. Ia telah merintis karir itu sejak selesai kuliah. Kemudian setelah usianya menginjak 50 lebih sedikit, dia memutuskan untuk bekerja mandiri, bisa mengatur waktunya secara fleksibel. Pada saat banyak waktu luang di rumah, perlahan-lahan ingatan masa lalunya muncul. Dulu, saat sekolah SMA, dia gemar menggambar desain baju perempuan dengan pensil. Banyak oret-oretan yang terkumpul. Sayang sekali, saat itu belum ada kamera handphone, hingga tidak bisa terdokumentasikan.  

Berangkat dari ingatan masa lalu, dia mulai rajin membuka desain-desain baju di Instagram. Lalu mulai membuka-buka link “cara menjahit”. Lama-lama, muncul ketertarikan untuk menjahit. Dia mulai membuka toko online, dan langsung membeli mesin jahit elektrik merk SINGER. Begitu mesin jahit tiba, ia langsung belajar dari YouTube. Mula-mula menjahit sarung bantal-guling, lalu telapak meja. Kok bagus ya hasilnya…dan banyak tamu memujinya. Kecintaan itu terasa semakin subur, hingga mulai berani menjahit baju tidur dan baju untuk dirinya sendiri.

Ketika lebaran lalu, Bude Anik dan putrinya menggunakan baju jahitan sendiri. Istriku yang biasanya agak rewel soal kualitas jahitan, kaget sekali. Dia kagum dengan kualitas jahitan baju Bude. Pakde yang kurang “ngeh” dengan aktifitas jahitan Bude, tidak sengaja ikut memberi komentar terhadap baju yang dikenakan putrinya.

“Bajumu baru ya Dik. Bagus banget, belinya kapan sih, kok Papa gak tau ya…?” sapanya

“Ini kan baju yang dijahit Mama, gimana sih gak tau ?”jawabnya

“Oh, bagus banget. Papa gak tau lho kalau Mama bisa menjahit sebagus ini ?” ucap Pakde.

Percakapan penuh pujian spontan itu terasa sekali tulusnya. Ungkapan yang sangat membahagiakan. “Duuuuh rasanya kayak punya setengah dunia dan seisinya….” ujar Bude bangga. 

Cerita Kedua

Cik Mil, Ibu berdarah Bangka ini pernah lama bermukim di Palembang dan Amerika. Peraih dua gelar master bidang Ilmu Lingkungan dan Studi Asia Tenggara itu adalah seorang professional. Pekerja kantoran yang waktunya habis di jalan dan kantor. Saya mengenalnya sejak mahasiswi dulu. Namun saat itu, tidak tampak keahliannya memasak.

Beberapa waktu lalu, dia punya waktu luang untuk bekerja di rumah. Tanpa disengaja, kegemaran yang selama ini tersimpan, tiba-tiba tumbuh subur. Iya, Cik Mil gemar sekali membuat empek-empek dengan berbagai macam rasa. Selain itu, dia juga sering memasak segala macam lauk pauk berbahan ikan. Seperti biasa, hasil karyanya selalu diunggah di medsos. Empek-empek bestuan Cik Mil dahsyat banget. Gak ada lawan deh. Seolah aku sedang berada di Palembang. Sayang sekali, aku bermasalah dengan gluten, jadi belum sempat pesan lagi.     

Suatu saat aku menghubungi Cik Mil untuk memuji kualitas empek-empeknya. Melalui komunikasi singkat, dia kelihatan sangat bahagia, penuh energi baik. Kebanggaan dan kebahagiannya sebanding dengan penghargaan dan kenikmatan yang telah dirasakan oleh banyak orang. “Ternyata, kebahagiaan hidupku begitu sederhana Bang,” ucapnya penuh aura kebaikan.

Bakat atau Kesungguhan

Konon, seseorang bisa meraih kesuksesan karena kemampuannya mengembangkan bakat yang ia miliki. Pandangan lain mengatakan, bahwa bakat saja tidak cukup. Karakter, jauh lebih penting daripada bakat. Bakat, tidak akan bernilai, ketika tidak dibarengi dengan karakter baik yang menyertainya. Seperti; kerja keras, kejujuran, tanggung jawab, berlaku adil, kemampuan bekerja sama, kemampuan berkomunikasi, toleran, hormat terhadap sesama, kemampuan mengambil keputusan dan lain-lain. Selain itu kesuksesan seseorang mungkin bisa dicapai oleh keterampilannya dalam berhubungan dengan orang lain. Termasuk keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri.

Terlepas dari itu, ada yang berkeyakinan bahwa hidup manusia itu tergantung nasib. Sukses dan tidaknya tergantung perasaan kita dalam melihat dan melakoninya. “Apa sih standar sukses itu?”. Toh ukuranya tidak pernah seragam. Bahkan, tidak ada standar baku yang berlaku bagi setiap orang. 

Aku tidak bisa memastikan, apakah keahlian Om Ireng Maulana dalam bermain gitar, kehebatan Bude Anik dalam menjahit baju, dan ketangkasan Cik Mil dalam membesut makanan, itu semata-mata dilandasi oleh bakat ? Hematku bukan. Mereka bertiga adalah orang-orang yang selama ini tekun, bersungguh-sungguh, melakukan pekerjaannya dengan hati dan cinta. Kualitas permainan musik yang enak didengar, pakaian yang bagus dan pas dikenakan, kelezatan masakan yang bisa dinikmati, itu semua adalah hasil dari sebuah kesungguhan usaha dan kerja penuh cinta. Apresiasi dan kepuasan orang lain menjadi bonus dan penandanya.

Kepuasan batin dan Kebahagiaan hati, ternyata tidak harus menunggu menjadi juara dalam lomba. Begitu hasil karya kita telah diapresiasi oleh orang-orang tercinta, serta bisa dinikmati oleh banyak orang, maka sesungguhnya kita telah meraih kebahagiaan sejati. Maka, bersyukurlah untuk bisa melengkapinya. (AJH)   

Bagikan
Exit mobile version