Site icon Inspirasi Muslimah

Menerima Takdir-Nya

Oleh : Kholita Puspitasari*

Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Aku lahir di sebuah desa yang terletak di Malang. Orang-orang mengenalku sebagai sosok yang ceria dan mudah bergaul. Bahkan beberapa orang juga mengira bahwa hidupku selalu bejo (beruntung). Sampai kawanku pernah bilang gini, “Enak kamu mah selalu beruntung, ingin ini itu selalu keturutan”. Dalam hatiku  bergumam, “Ah itu mah hanya kebetulan aja”.

Dalam hidup ini selalu begitu, seringkali mengira kehidupan orang lain tampaknya selalu bahagia. Menukil pepatah jawa mengatakan urip iku mung sawang sinawang (hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat). Kita melihat kehidupan orang lain yang tampaknya selalu wah padahal itu semua terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita lihat. Begitupun sebaliknya, orang lain melihat hidup kita enak terus padahal aslinya juga tidak seperti itu.

Di balik itu semua, ada suatu hal yang sempat membuatku tak karuan. Awalnya aku cuek dan tidak peduli, tetapi pada akhirnya aku juga ikut khawatir dan harus segera ambil tindakan. Sejak terlahir di dunia ini, aku mempunyai toh (tanda lahir) di kepala. Ibu sempat bilang waktu aku baru lahir toh (tanda lahir) itu hanya berwarna coklat tapi seiring berjalannya waktu semakin membesar dan warnanya berubah menjadi hitam keunguan. Bahkan sewaktu aku kecil juga sering di buat bercandaan seperti “Kamu kalau hilang mudah dicari, kan ada toh (tanda lahir) nya”. Haha

Toh yang Membawaku Pada Sebuah Takdir

Semakin beranjak dewasa aku merasa semakin terganggu dengan toh (tanda lahir) yang ada di kepalaku itu. Bagaimana tidak, setiap kali aku kecapekan selalu terasa sakit di kepala. Selain itu, ukurannya yang semakin membesar hingga ketika aku memakai kerudung pun terlihat benjolannya. Saat itu, ibu ku menyarankan untuk periksa ke dokter. Awalnya aku tak mau, karena takut akan terjadi sesuatu yang tak aku inginkan. Ternyata benar, setelah aku konsultasi dengan dokter beliau menyatakan bahwa ini adalah tumor jinak dan harus dioperasi karena kalau tidak bisa menjadi tumor ganas.

Siapa yang tidak sedih mendengar pernyataan seperti ini. Mendengar kata dokter harus dioperasi itu yang membuat aku pilu. Apalagi aku pribadi paling takut sama alat kedokteran semacam suntikan dan sejenisnya. Keyakinan untuk sembuh dan sehat adalah modal awal aku memberanikan diri untuk melakukan operasi. Di samping itu juga adanya dukungan dan do’a dari keluarga, sahabat serta orang-orang terdekat dan alhamdulillah aku bisa melewati operasi dengan lancar.

Pasca operasi aku harus bolak balik rumah sakit untuk rawat jalan. Seringkali aku bergumam pada diri sendiri, “Ya Allah kenapa aku yang engkau berikan cobaan seperti ini, aku ingin seperti kawanku yang baik-baik saja”.

Entah apa yang membuatku seperti itu, mungkin karena aku lelah dengan semua proses pra dan pasca operasi. Mungkin juga karena aku melihat orang lain yang tampaknya bahagia dan baik-baik saja.

Kisah di Rumah Sakit

Suatu hari aku harus periksa ke rumah sakit untuk kontrol. Seperti biasanya pagi-pagi sekali aku harus segera bersiap dan bergegas menuju rumah sakit. Sampai di rumah sakit aku mengambil nomor antrian dan menunggu sampai giliranku di panggil. Sembari menunggu antrian, aku duduk di loby dan tidak sengaja aku duduk di sebelah ibu yang agak tua, duduk di kursi roda dan tampaknya sedang menunggu antrian juga.

Agar suasana tidak sepi mulailah aku membuka percakapan dengan ibu tersebut.

“Nunggu antrian bu?” tanyaku. Ia menjawab, “iya mbak”.

“Sakit apa bu?” tanyaku kembali.

“Ini mbak, ada benjolan di anus. Duh mbak sampai berdarah-darah makanya ini saya pakai pempers,” jawabnya.

Makjleb… seketika hatiku tersentuh dan bergumam pada diri sendiri “Ya Allah… ternyata penyakitku ini belum seberapa, masih ada yang lebih parah dari aku. Terimakasih ya Allah.”

Seketika juga aku merasa bersyukur atas semua yang di berikan Allah kepadaku.

Sering Sekali Kita Merasa Paling

Seringkali kita merasa bahwa hidup kita yang paling menderita, sering mendapat cobaan dan lain sebagainya. Padahal jika kita mau membuka mata, ternyata banyak sekali orang-orang yang cobaannya jauh lebih berat dari pada kita. Mari kita selalu mengingat sebuah penggalan ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa “Allah tidak akan menguji hambaNya di luar batas kemampuannya”.

Selain itu kita juga harus yakin, ketika Allah memberikan cobaan kepada kita pasti Dia juga akan memberikan solusi dari setiap cobaan tersebut. Tentunya juga harus ada usaha untuk menyelesaikannya.

Dalam surat Al-insyirah juga mengatakan bahwa “Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan”. Maka hendaknya kita bersabar ketika mendapat cobaan serta berusaha untuk menyelesaikannya karena itu semua kehendak Tuhan yang maha Esa. Tidak perlu juga membandingkan diri kita dengan orang lain agar kita selalu bersyukur atas apa yang di berikan olehNya. (s)

*) Penulis adalah Alumni PAI FAI UMM dan pengajar di Tazkia IIBS Malang

Bagikan
Exit mobile version