Site icon Inspirasi Muslimah

Memoar Diri: Rokok, Asthma dan Kabupaten Bogor

asthma

Suzan Lesmana

Merokok telah menjadi sebuah rutinitas harian bagi para ahlul hisab (sebutan para perokok). Ibaratnya kata pepatah Jawa “wes mangan ora udut enek”. Dan tak hanya kaum Adam, kaum hawa pun tak luput dari habit ini.

Yang menjadi masalah jika usia perokok masih belum mampu buat membeli rokok dari hasil keringat sendiri. Misalnya para pelajar—katakanlah usia SMP kisaran usia 13-15 tahun. Tak ayal mereka membeli rokok dari uang jajannya.

Selain karena circle pertemanan yang mempengaruhi para perokok pemula, lingkungan seseorang berinteraksi ikut pemicu munculnya perokok baru. Hal ini terjadi pada diri saya sendiri yang telah memulai merokok pada usia SMP.

Gara-garanya saya harus menjaga warung kelontong milik kakek saya yang kebetulan kosong. Lalu ibu saya kala itu berinisiatif mengisi kekosongan itu. Dan saya pun mendapat giliran jaga siang hari sepulang sekolah.

Saya dan ibu saya bergantian jaga. Karena jarak warung dan rumah lumayan jauh, maka saya pun tak terpantau. Salah satu produk yang dijual adalah rokok. Rasa ingin tahu yang tinggi bagi seorang anak remaja usia belasan mendorong saya mencicipi merk rokok satu demi satu.

Jenis rokok yang saya suka adalah rokok filter yang ada busa di pangkal rokok. Dari seluruh rokok saya menyukai satu merk rokok yang bungkusnya merah. Lebih manis busanya saat dihisap tanpa api menyala. Bermula hanya menghisap busa rokok yang manis, berlanjut dengan membakar ujung rokok.

Sensasi pusing saya rasakan pertama kalinya. Namun saya diyakinkan anak-anak berusia dewasa yang sudah lulus SMU—yang suka nongkrong di warung saya—bahwa pusing tersebut hanya sementara. Meski kata orang merokok bisa bikin mati, namun saya memilih merokok daripada mati gaya. Kala itu.

*

Selanjutnya saya pun semakin terbiasa merokok saat menjaga warung. Dan saya pun mulai menyukai salah satu merk rokok berwarna putih. Lebih ringan menghisapnya bagi anak usia belasan. Stock rokok tak masalah dan melimpah di warung.

Meski demikian saya masih menyuri-nyuri kesempatan merokok. Bila ibu saya datang ke warung, saya pun buru-buru memadamkan puntung rokok dan segera membuang bekasnya—jauh-jauh.

Kebiasaan merokok meski tak sampai jadi candu masih saya teruskan hingga kuliah duduk di semester dua hingga akhirnya asthma menyerang saya. Saya juga kurang paham saat itu apakah asthma saya muncul karena merokok? Karena teman-teman saya yang merokok tak mengalaminya. Saya juga tak berterus terang kepada orang tua saya terhadap kebiasaan merokok ini.

Akhirnya saya pun berhenti total merokok gara-gara asthma. Apalagi sesekali jika kondisi badan drop atau terkena pemicu asthma seperti debu dan perubahan cuaca panas, asthma saya langsung kambuh. Entahlah apakah ini teguran dari Allah kepada saya melalui penyakit asthma?

Ventolin inhaler hisap selalu saya simpan—yang akan berguna saat dibutuhkan dan seolah-olah penyambung nafas kehidupan saya, di samping obat batuk minum jika batuk menyertai. Sampai saya menikah dan punya anak, ventolin inhaler masih menjadi most wanted tools dalam kehidupan saya—bahkan nyawa saya sepertinya.

Malang tak dapat ditolak—asthma ini akhirnya menurun ke anak sulung saya. Alih-alih warisan harta yang saya berikan, malah penyakit asthma yang saya tularkan.

Hingga suatu masa saya pindah rumah di kota berbeda karena mutasi dari tempat kerja. Dari Ibukota pindah ke Kabupaten Bogor.

*

Cuaca sejuk karena berada di wilayah puncak membuat perubahan signifikan bagi kesehatan saya. Lama kelamaan asthma saya hilang dengan sendirinya. Terutama setelah pindah ke rumah yang kedua di Kabupaten Bogor. Yang pasti semua atas izin Allah Swt yang Maha Penyembuh. Alhamdulillaah.

Sudah hampir lima tahun lebih sepertinya saya sudah tak merasakan asthma kambuh.  Begitu pula Ventolin Inhaler sudah tak pernah saya lihat wujudnya. Begitu pula anak saya—sudah lama tak pernah mengeluh sesak nafas. Meski demikian alat nebulizer masih kami simpan—jaga-jaga kalau anak-anak tiba-tiba sesak nafasnya.

Saya sangat mensyukuri keadaan ini. Apalagi saat pandemi Covid-19 melanda negeri di awal Maret 2020. Banyak orang yang mempunyai komorbid atau penyakit bawaan—salah satunya asthma, tak dapat bertahan saat virus Corona menyerang kekebalan tubuhnya.

Semoga saya dan kita semua tetap istiqomah menjadi hamba yang bersyukur—salah satu wujud bersyukur adalah menjaga kesehatan diri, keluarga dan lingkungan sekitar. Bagaimana caranya? Tak hanya ikhtiar zhohir dengan disiplin menjalankan prokes, berjemur diri di bawah sinar mentari pagi, berolah raga atau minum vitamin—namun jangan lupakan pula ikhtiar bathin dengan zikir, doa dan tawakkal pada Allah sang pemilik jiwa.

Jangan pula jumawa menantang sang virus tapi jangan pula takut berlebihan yang akhirnya malah menurunkan imun diri. Toh sama-sama mahluk Allah meski ia tak kasat mata di dunia nyata. Ingat para tentara Rasulullah Saw meski tak takut maju ke medan laga namun mereka tetap memakai perisai dan senjata perang. Jadi tak pasrah namun tetap ikhtiar menjaga diri. Itu.

Semoga kita semua tetap sehat, kuat dan tangguh. Kita belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Semoga Allah segera angkat sang Corona dari muka bumi agar kita kembali dapat merapatkan shaf dalam salat berjama’ah—menjalankan sunnah Nabi Muhammad Saw secara kaffah. Aamiin.

Bagikan
Exit mobile version