Site icon Inspirasi Muslimah

Membedah Wajah Pendidikan Indonesia

pendidikan indonesia

If you can’t explain it simply enough, you don’t understand it well enough.” Quote Albert Einsten. Inilah yang dikemukakan oleh Indra Charismiadji, pengamat pendidikan abad 21 kepada saya, 6 Januari lalu, pada sebuah bincang siang sebelum makan siang.

“Quote – quote Albert einstein banyak yang mengena di hati saya karena saya banyak terjun di dunia pendidikan. Saya sering menemui para pendidik yang ngga mampu njelasin dengan cara yang sederhana. Kata  Einstein, kalo kamu ngga bisa menjelaskan dengan cara yang sederhana agar mudah dipahami orang makan artinya kamu belum menguasainya,” jebolan University of Toledo, Ohio, Amerika Serikat ini menjelaskan.

Keprihatinannya pada dunia pendidikan menyebabkan pria dua anak ini meninggalkan pekerjaannya di Amerika Serikat tada tahun 2002. Padahal saat itu Indra sudah mengantongi gaji sebesar 500 juta perbulan. Saat itu, teman-temannya yang sudah hidup mapan di negara adidaya ini menyarankannya untuk tidak pulang.

“Bodoh kalau pulang ke Indonesia dalam kondisi yang masih kacau. Nanti saja, kalau sudah bagus, kita kembali,” katanya, menirukan saran teman-temannya.

Tapi, bukannya menurut, Indra malah balik bertanya, “Kalau bukan orang Indonesia sendiri yang memperbaiki, lalu siapa lagi ?” kata pria kelahiran 9 Maret 1976 ini.

Sejak saat itu, Indra berjuang di dunia pendidikan. Sepak terjangnya di Indonesia diawali dengan mengusung CAL (Computer-Assisted Language Learning) – belajar bahasa via bantuan komputer untuk pertama kalinya di berbagai lembaga pendidikan. Di berbagai kesempatan, ia sering berbagi pendapat seputar teknologi pendidikan dan pembelajaran abad 21.

Pada tahun 2018, ia menerima penghargaan “Anugerah Pendidikan Indonesia” dari Ikatan Guru Indonesia (IGI) pada tahun 2018. Hingga saat ini, berusaha menyuarakan opini konstruktif terkait dunia pendidikan.

Guru itu Panggilan Hati

Sebenarnya, profesi guru itu bukan sedakar pekerja.

“Artinya gini, ngga semua orang bisa jadi atlit bulutangkis. Ngga semua orang bisa mengajar. Hanya orang-orang yang terpanggil saja yang bisa jadi guru.”

Penyuka warna merah ini menambahkan bahwa sebagian guru mengajar bukan karena panggilan hati tapi terpaksa. Padahal guru adalah profesi yang penting dan mulia.

“Ini dibuktikan oleh negara maju Jepang. Pada saat negara ini luluhlantak karena Hiroshima dan Nagasaki dibom saat itu, pemerintah Jepang mencari guru dan dosen untuk membangun kembali negaranya. Ini menunjukkan betapa profesi guru dan dosen bukan profesi yang sembarangan. Mereka sangat dihormati profesinya juga dari sisi penghasilannya.”

Tak hanya Jepang, Singapura juga melakukan hal yang serupa. Lee Kuan Yew – Perdana Menteri Singapura dari tahun 1959–1990, antusias membangun rakyatnya dengan SDM terunggul yakni guru. Menurutnya, manusia yang unggul di masa depan harus dididik dengan individu yang terunggul di masa kini.

Menurut Indra, masyarakat Indonesia termasuk pada masyarakat complasent. Masyarakat yang bisa menerima apa yang terjadi dalam dunia pendidikan dan menganggapnya baik-baik saja. Merasa cukup dengan pendidikan yang diperoleh dan merasa anaknya bisa kerja setelah lulus dari perguruan tinggi negeri.

No Grand Design

Menurut Indra, pemerintah sebaiknya memiliki blue print agar pendidikan lebih terarah. Hal ini akan memperbaiki sistem pendidikan di negara yang kita cintai ini.

“Indonesia ngga punya blue print. Ngga punya grand design. Bandingkan dengan Singapura yang negaranya hanya segede kecamatan di Indonesia, sekolahnya hanya 300 dan universitasnya hanya 5. Mereka punya blue print untuk digitalisasi pendidikan dari taun 97. Saat ini udah bicara di fase 5. Pas pandemi mo daring kek luring kek ngga ada masalah karena udah 25 tahun melakoninya.”

Indra menambahkan bahwa Indonesia bisa belajar kepada Malaysia dengan program one bestarinet-nya. Upaya negeri tetangga ini mendigitalisasi 10 ribu sekolahnya dengan rencana 15 tahun dihentikan karena pada tahun ke-9 dianggap tidak sesuai target. Keputusan mereka diambil karena mereka punya grand design yang jelas.

“ Di Indonesia ada 260 ribu sekolah dengan 7 ribu perguruan tinggi, diperlukan planning jelas. Kalo ngaca ke Malaysia aja maka kita butuh 390 tahun. Kita harus berhitung seperti itu. Saya selalu mengatakan agar kita punya grand design. Selalu cerewet. Pendidikan kita mau dibangun seperti apa?”

Itulah wajah pendidikan Indonesia.

Keep Fighting

Kendati perjuangannya terasa berat, Indra tidak menyerah. Ia memilih maju terus pantang mundur.

“Saya tau ini chancenya kecil untuk menang. Ini perjuangan melawan sesuatu yang berat. Tapi harus diupayakan. Kalo upaya kami berhasil ya bagus. Kalo ngga ya ngga papa. Paling ngga udah berusaha semampu kita. Saya berharap banyak orang yang punya pandangan sama dengan saya. Saya tidak memihak. Yang benar saya dukung, yang salah saya kritik.”

Bagi Indra, ia tak pernah menyesali keputusannya untuk bertarung di ganasnya ombak lautan pendidikan yang tak berpihak padanya. Sebaliknya, ia memperoleh kebahagiaan tersendiri.

Inilah alasan utama Indra memutuskan beralih dari korporasi menuju organisasi nirlaba pada bidang pendidikan – Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) sebagai Direktur Eksekutif, pada tahun 2019.

“Ngga nyesel, saya lebih hepi begini. Kalo jadi pengusaha kan bisa ngumpulin uang banyak untuk sendiri dan tim. Tapi yang saya lakuin ini akan berdampak pada 250 juta penduduk Indonesia. Minimalnya 50 juta penduduk memang butuh perbaikan pendidikan, it will bring joy to my life. Ini ngga bisa diukur dengan uang karena ini adalah membuat perubahan,” pungkas pria berkacamata ini.

Bagikan
Exit mobile version