Site icon Inspirasi Muslimah

Memaksakan Diri Membaca

membaca

Saat kuliah S1, saya punya prinsip, “mengurangi jatah makan itu lebih baik ketimbang tidak membeli buku”. Dengan prinsip ini, dengan uang bulanan yang sangat cekak, saya memaksakan untuk membeli buku-buku. Saking banyaknya buku, kamar sepetak di indekos Jogja, dominasi ruangannya lebih banyak buku dengan kasur seadanya untuk tidur. Membeli buku dan membacanya kemudian menjadi kesenangan sendiri untuk saya.

Meskipun begitu, karena buku ini juga saya sempat kelaparan. Akhirnya, buku tetralogi Pram pernah saya jual murah karena sudah tidak punya uang untuk makan esoknya. Pembalasan dendam untuk membeli kembali tetralogi Pram akhirnya tunai terbayar kembali ketika saya sudah bekerja dan memiliki cukup uang. Bagi saya, buku tetralogi menjadi semacam penanda sulitnya saat itu yang menjual buku yang disukai hanya untuk makan. Sich!.

Meskipun mencintai buku, daya membeli saya dibatasi oleh ruang, di mana rumah saya di Jakarta harus berbagi dengan istri dan anak-anak. Akibatnya, ada buku-buku yang saya sumbangkan untuk perpustakaan di LSM dan saya titipkan di ruang kantor kerja, karena sekarang tak memiliki ruang lagi di rumah. Meskipun begitu, saya masih membeli buku-buku cetak, karena memang enak dibaca.

Keterbatasan ruang ini lumayan terobati dengan hadirnya tablet untuk membaca. Semua buku-buku pdf saya angkut ke tablet yang saya miliki. Upaya menjaga tradisi membaca, saya masih berusaha mempertahankan sehari untuk membaca 100 halaman di tengah kondisi apapun yang sedang saya kerjakan. Jika tidak memaksakan, saya tidak membayangkan sulitnya untuk mendapatkan ide dalam menulis.

Di sini, satu persatu sarjana yang saya kagumi, saya cek google scholarnya. Jurnal-jurnal terbaik saya juga lihat hampir setiap hari. Tujuannya, gimana saya bisa menyerap pengetahuan dari karya-karya itu. Upaya memaksakan diri ini akhirnya membentuk semacam tradisi membaca saya setiap hari. Tradisi ini membangun perspektif saat saya melihat satu isu. Perspektif ini yang memungkinkan saya bisa berbeda cara penulisannya dengan sarjana lain. Karena itu, setiap ada satu isu yang ingin saya lihat, bukan gimana menyelesaikan tulisan tapi gimana perspektif yang ingin digunakan dalam menyelesaikan tulisan ini.

Seiring bertambahnya umur, membaca melalui tablet ada resikonya. Kalimat yang saya baca dalam tablet terasa mengecil dan agak kabur. Persoalan ini semakin diperkuat oleh dugaan istri bahwasanya saya punya persoalan dengan membaca huruf kecil. Ia lalu meminta saya untuk periksa ke dokter mata, yang kemudian disarankan untuk menggunakan kacamata baca. Perihal ini yang saya tolak mati-matian awalnya tapi kemudian harus menerima, karena emang lebih baik saat menggunakan kacamata saat membaca.

Kini, ke mana-mana saya membawa box kacamata untuk persiapan jika sewaktu-waktu ada waktu luang untuk membaca. Fase inilah yang membuat saya tampaknya merasa tua. Di sisi lain, kenikmatan membaca ini tanpa sadar juga kemudian membuat pena digital saya catnya mulai rusak, karena saya terlalu sering untuk menggunakannya, yaitu dengan mencoret, menandai, sekaligus berdialog dengan teks yang saya baca.

Tradisi membaca memang harus dipaksakan dengan membeli banyak buku agar kita kemudian terpaksa untuk membacanya. Namun, tinggal di wilayah Jakarta dengan rumah yang luasnya tidak terlalu besar, memiliki banyak buku adalah persoalan. Meskipun bisa diganti dengan buku-buku PDF, tapi itu membawa implikasi lain; semakin lelahnya retina mata karena keseringan digunakan membaca melalui tablet seiring bertambahnya umur. Ini berakibat saya harus menggunakan kacamata. Dari semua irisan yang jadi persoalan, apa yang lebih nikmat menjelajahi gagasan para sarjana, pemikir, sekaligus novelis selain dengan membaca?

Bagikan
Exit mobile version