Site icon Inspirasi Muslimah

Memahami Makna Perempuan dan Penciptaanya dalam Al-Qur’an

najwah

Kata perempuan dalam bahasa arab diungkapkan dengan lafaz yang berbeda, antara lain: mar’ah, imra’ah, nisa’, dan unsa. Kata mar’ah dan imra’ah jamaknya nisa’.

Ada yang mengatakan bahwa akar kata Nisa’ adalah nasiya yang artinya lupa, disebabkan lemahnya akal. Akan tetapi pengertian ini kurang tepat, karena tidak semua perempuan akalnya lemah dan mudah lupa.

Sementara dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki (kemaluan), dapat mensturasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Sedangkan wanita adalah perempuan dewasa.

Posisi Perempuan

Pembahasan tentang perempuan sebagai suatu kelompok memunculkan sejumlah kesulitan. Konsep “posisi perempuan” dalam masyarakat memberi kesan bahwa, ada beberapa posisi universal yang diduduki oleh setiap perempuan di semua masyarakat.

Kenyatannya bahwa, bukan semata-mata tidak ada pernyataan yang sederhana tentang “posisi perempuan” yang universal; tetapi pada sebagian besar masyarakat tidaklah mungkin memperbincangkan perempuan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan bersama; tanpa memandang posisi.

Pandangan perempuan dalam Al-Qur’an tentang asal penciptaannya. “Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar Kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah paling bertaqwa” (QS. Al-Hujurat (49):13)

Menurut Prof. Qurays Shihab ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia-dari seorang lelaki dan perempuan; sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia-baik lelaki maupun perempuan; yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt. Memang, secara tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan Al-Qur’an mempunyai kedudukan terhormat.

Dalam hal ini, Mahmud Syaltut, mantan Syaikh Al-Azhar, menulis dalam bukunya, Min Tawjihat Al-Islam bahwa; “Tabiat kemanusiaan antar lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan, sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki; potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.

Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli, menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.

Penciptaan Perempuan

Ayat Al-Qur’an yang popular menjadi rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 1. ”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak”

Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam, seperti misalnya; Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa’i, Abu As-Su’ud, dan lain-lain. Bahkan At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi’ah (abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.

Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad Abduh, dalam Tafsir Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya Al-Qasimi. Mereka memahami arti nafs dalam arti “jenis”. Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Departemen Agama adalah pendapat mayoritas ulama. Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam; para penafsir terdahulu memahami bahwa istri adam zauhaha diciptakan dari Adam sendiri.

Pandangan ini, kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi misalnya, menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu ”wanita bersifat auja’ (bengkok atau tidak lurus)”

Adam dan Hawa

Al-Sya’rawi menjelaskan dalam tafsirnya sebagai berikut: “Allah tidak akan berfirman wa khalaqa minha zaujaha kalau tidak berfirman ya ayyuha al-nas ittaqu rabbakum al-aldzi khalaqakum min nafsin wahidah karena dalam surat Al-Dzariyat, (51): 49). Dijelaskan wa min kulli syai’in khalaqna zaujaini la’allakum tadzakkarun. Sehingga manusia kebingungan dalam memberi arti wa khalaqa minha zaujaha adakah Hawa dijadikan dari tulang rusuk Adam atau dari jenis Adam, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Sebagian berpendapat bahwa, Hawa dijadikan dari tulang rusuk Adam. Sebagian yang lain menyatakan tidak, tetapi dari jenis yang sama dengan argumen bahwa Allah berfirman dalam At-Taubah,(9): 28: laqad ja’akum rasulum min anfusikum Apakah Allah menjadikan Nabi Muhammad Saw dari diri manusia, tidak, tetapi ia adalah Rasul dari jenis manusia.

Sementara penafsir lain seperti Imam Al-Alusi menafsirkan nafs wahidah adalah Adam dan Hawa dengan kapasitasnya sebagai pasangan Adam (zaujaha) diciptakan dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam sebelah kiri.

Argumen yang dikemukakan adalah: Kedudukan kalimat “wa khalaqa mina zaujaha” dalam rentetan ayat Al-Qur’an sebagai ma’thuf alaih; yaitu diathafkan (dihubungkan) dengan lafaz sebelumnya “Khalaqakum” masuk dalam kategori shilah almaushul sehingga kedua kalimat tersebut saling berkaitan erat dan pengulangan kata kerja “khalaqa”. Mengindikasikan perbedaan muatan makna, yaitu bahwa penciptaan yang pertama bermula dari asal mula manusia. Sedangkan penciptaan yang kedua dengan perantara perkembangbiakan maddah (bahan) penciptaan manusia yang awal; sehingga dengan pemahaman yang lebih singkat kata zauj dalam kalimat bermakna Hawa.

Laki-laki dan Perempuan Berpasangan

Sedangkan Wahbah Al-Zuhaili menafsirkan surat An-Nisa’, (4):1) dengan penafsiran yang memilik persamaan maksud dengan pendapat mayoritas mufasir. Ia menyimpulkan bahwa Allah mengingatkan kepada hambaNya akan asal-usul yang sama yaitu manusia diciptakan dari satu nafs; sehingga konsekuensinya semua manusia bersaudara tanpa memandang perbedaan fisik atau derivasinya. Yang pada akhirnya kesamaan tersebut menuntut manusia untuk saling membantu dan meringankan beban sesama, merasa seperti yang dirasakan oleh saudaranya.

Ia juga menekankan perempuan pada hakikatnya, pasangan dari laki-laki. Ia diciptakan dari padanya dan akan kembali kepada-Nya. Keduanya saling membutuhkan dan saling bergantung baik perempuan tersebut berstatus ibu, saudara, anak, istri, keduanya akan melanjutkan kelangsungan hidup dan mencapai kesempurnaannya atas asas tolong-menolong.

Dalam Al-Qur’an tidak terdapat satu jejak pun tentang apa yang terdapat di dalam kitab-kitab suci lainnya: bahwa perempuan diciptakan dari bahan yang lebih rendah dari bahan untuk pria, bahwa status perempuan adalah parasit dan rendah, atau bahwa Hawa diciptakan dari salah satu tulang rusuk kiri Adam. Di samping itu, dalam Islam tidak ada satu pandangan pun yang meremehkan perempuan berkenaan dengan watak dan struktur bawaannya.

Bagikan
Exit mobile version