Site icon Inspirasi Muslimah

Matahari Pukul Sepuluh

matahari pukul sepuluh

Katarina-Retno-Triwidayati-1

“Matahari hangat. Hangat di pukul sepuluh. Aku di balkon dan menyerapnya. Sebanyak aku bisa. Tentu seraya aku terus beristighfar.”

Lelaki itu mengurai ingatan. Aku mencatatnya. Kuamati garis wajahnya. Kupetakan lekuk dan ceruk. Kupotret emosi yang menyeruak dari bibir yang bergetar.

Matanya serupa gelas es jeruk berembun di hadapanku. Rambutnya serupa rumput lapangan sepak bola yang dicukur rata dengan ketinggian yang sama. Alisnya lebat dan rapi meski kulihat sisa cukuran di sana.

Dia memang memperhatikan penampilan. Itu sebabnya ia memandangiku dari atas ke bawah, kembali ke atas lagi. Mungkin dia memberiku nilai lima atau enam dari rentang nol hingga sepuluh. Namun, aku tidak peduli dengan penilaian apa pun itu.

“Kamu tahu, kematian itu begitu jelas. Rasanya memang kapan saja itu bisa terjadi. Dengan cara apa pun juga. Tapi, aku tak pernah membayangkan bahwa kematian akan sedekat ini. Serupa napas yang kita embuskan. Hangatnya bahkan terasa di kulit dekat hidung kita. Aromanya mengganggu dan menarik-narik kesadaranmu yang masih ingin berkelana.”

Ah, puitisnya dia. Dideskripsikannya kematian dengan cara serupa pujangga merangkai kata cinta. Aku menyembunyikan tawa. Anggap saja aku memang kurang suka pada segala yang bernuansa cinta semacam yang dikatakannya.

***

“Aku tidak ingin mati dalam kesendirian. Meski tentu saja kita semua akan sendiri. Tapi ini berbeda. Saat tiba-tiba sesuatu terjadi, keadaan memburuk, tidak ada yang menemanimu. Tidak ada siapa-siapa,” katanya.

Ia meraih gelas es teh. Warna teh itu cokelat kemerahan. Sama seperti gelas es jerukku, gelas es teh kepunyaannya pun berembun. Es batu berbentuk kotak-kotak kecil itu mulai mencair. Itu sebabnya di permukaan gelas itu, warnanya mendekati putih.

Dia mengaduk teh dalam gelasnya. Bunyi kemerisik akibat benturan es terdengar. Sedikit berisik tapi aku tidak terganggu.

Sebab yang paling riuh sebenarnya adalah suara-suara yang kudengar setiap malam. Ya, suara kikik tawa perempuan, raung sirine ambulan, dan denting-denting lonceng. Itu teman-temanku tiap malam. Jadi, aku tak terganggu dengan berisik benturan es batu itu.

“Saat itu, aku berjemur seperti biasa. Di balkon tentu saja. Dari tempatku berjemur, aku bisa melihat ke sisi bangunan yang lain. Lalu aku melihatnya. Dua orang perawat mendorong peti mati.”

Kami berpandangan. Ini bagian yang aku sukai. Maksudku begini, aku ingin merekam sebanyak mungkin ekspresinya saat membicarakan kematian. Kematian di depan mata.

***

“Apa yang kamu pikirkan? Apa yang kamu rasakan?” tanyaku. Ada debar di dada yang tak bisa kusembunyikan.

Aku menggerakkan pena. Ke kanan dan ke kiri. Aku menggerakkan kakiku. Bergoyang naik dan turun. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat.

“Aku ketakutan.”

Ah, aku kecewa. Itu jawaban yang begitu standar. Begini, bukankah wajar seseorang yang di ambang kematian merasa takut? Bukankah tidak aneh seseorang melihat peti jenazah dan membayangkan dirinya ada di sana? Didorong dalam diam, mati dalam kesunyian.

Dengan situasi seperti itu, kadang aku berpikir-pikir. Apakah tubuh di dalam peti itu mendengar suara seruan Laa ilaaha illallah berulang-ulang?

Aku tersenyum. Aku berharap senyumku tampak normal. SYa, pencitraan yang baik telah menempatkanku pada standar kenormalan yang cukup gila. Menggelikan.

“Kamu bisa mendeskripsikan lebih jelas?” tanyaku. Kali ini aku mencoba menjalankan tugasku untuk menggali lebih banyak. Aku tidak mau menulis sesuatu yang biasa saja.

“Aku ketakutan. Sudah kukatakan aku ketakutan. Aku sungguh ketakutan.”

***

Aku mendesah kecewa. Dada ayam berbungkus tepung dengan saus kecokelatan berguling nyaman di piring putih di hadapanku.

Sedikit kasar kuletakkan pena di samping piringku. Buku kecil terbuka di dekat piring yang sama. Di sana sudah ada diagram dan peta yang kubuat sambil mendengarnya bicara.

Aku tahu coretan itu tidak akan dipahami orang lain. Ini hanya serupa kode. Sebuah rahasia. Ya, rahasia yang kubuat bahkan di depan matanya.

Kuambil pisau dan garpu. Kutekan garpu perlahan hingga menembus daging ayam yang tebal namun lembut itu. Kugerakkan pisau. Perlahan. Seiris demi seiris. Pelan-pelan.

Aku sedikit berharap menemukan sisa darah di sana. Sesuatu yang berwarna merah. Lengket. Mengalir pelan. Lalu menjadi banjir yang menenggelamkan selembar selada, parutan wortel, dan irisan tipis kol. Oh, juga potongan tipis timun dan tomat.

Alangkah membosankan isi piringku. Sama seperti pembicaraan tentang kematian ini. Isinya hanya kesedihan dan kesendirian. Bahkan tak bisa dideskripsikan lagi. Menjemukan.

***

“Masalahku adalah tidak bisa menyampaikan padamu apa yang kurasakan dan kupikirkan saat itu,” katamu. Aku mengalihkan perhatian dari daging ayam ke wajahmu.

Matamu tampak seperti menyelidiki isi hatiku. Aku tertawa, aku tidak suka diselidiki, aku melarangmu menyelidiki.

“Aku tahu kamu berpikir bahwa aku tidak cukup kooperatif. Tapi, coba kamu bayangkan. Cara membayangkan tentu saja membuat kebalikan. Kamu selalu menyendiri kan? Kamu membenci keramaian, dan selalu merasa nyaman berada di dalam kamarmu, di tempat yang itu-itu saja. Bayangkan jika kamu berada di keramaian. Di sana semua mata memandangmu. Apa kamu merasa nyaman?”

Aku masih mengulas senyum. Senyum standar yang aku punya untuk berbagai situasi menjemukan seperti saat ini.

“Itulah yang aku rasakan. Aku tidak nyaman. Entahlah bagaimana menceritakan padamu tentang hangat matahari pukul sepuluh yang pada saat bersamaan membawa dingin yang mengerikan. Ketakutan. Kecemasan,” katamu.

Kali ini kulihat kamu memandangi ponsel. Sudah kita sepakati, tidak ada pesan atau telepon selama kita bicara. Sebelah alisku terangkat. Kamu lalu meletakkan ponsel itu kembali.

***

“Kamu tahu aku sibuk sekali. Telepon dan pesan tak pernah berhenti masuk. Kamu tahu, dalam kesendirian di rumah sakit, aku merasa semua telepon dan pesan itu adalah bentuk perhatian. Saat itu aku bersyukur dan bisa menilai bahwa aku punya banyak sekali teman.”

Aku tertawa sekilas. Tawa yang kali ini terdengar lebih keras dari tawa sebelumnya. Kembali kusayat daging ayam itu. Kupotong dalam ukuran kecil-kecil. Kemudian potongan itu kutata dengan cara mendorong-dorongnya dengan ujung pisau.

“Aku tidak pernah meneleponmu. Seingatku aku hanya satu kali mengirimimu pesan,” kataku. Aku masih saja mendorong-dorong daging ayam itu. Sayuran dengan mayonnaise itu sedikit berhamburan. Aku tidak suka sesuatu yang berantakan. Tapi kali ini aku menikmatinya.

“Aku tahu kamu sibuk,” katamu. Tanganmu terulur dan menggenggam tangan kiriku yang hanya tergeletak di meja begitu saja.

“Kamu tahu, saat di balkon, setiap kurasai matahari pukul sepuluh, aku seperti merasai hadirmu. Kehangatan yang jelas. Aku kesepian di sana. Tapi secara ajaib matahari pukul sepuluh membuatku merasakan kamu ada di sisiku, meneguhkanku, menungguku sembuh,” katamu. Nadamu begitu sungguh-sungguh.

Aku tertawa. Matahari pukul sepuluh dan aku? Kehangatan dan kesepian?

Apa? Kesepian? Aku bahkan tidak pernah tahu rasanya sepi.

Bagikan
Exit mobile version