Site icon Inspirasi Muslimah

Laki-Laki yang Paham Agama; Apa Sesederhana Itu?

laki-laki paham agama

“Sederhana saja ya Allah, yang paham agama, bertanggung jawab, tidak merokok,  nggak mau pacaran”.“Laki-laki gaul tapi paham agama memang nggak ada obat”. Kalimat-kalimat seperti itu, belakangan ini sering muncul di FYP akun media sosial penulis. Mungkin karena aktivitas penelusuran beberapa pekan ini yang banyak membuka postingan ‘hijrah-hijrah’ untuk kepentingan observasi data penelitian.

Dari sekian problem postingan gerakan hijrah di media sosial, jenis postingan tersebut menjadi salah satu yang cukup mengganjal dalam benak penulis. Betapa tidak, kebanyakan yang upload dan repost itu akun perempuan yang katanya telah ‘berhijrah’ dengan konsep postingan yang beragam. Mulai dari bentuk meme dengan background laki-laki good looking jubahan, video laki-laki yang berjalan ke masjid dengan backsound isntrumen/lagu ‘Islami’ dan yang lainnya.

Selain itu, banyak dengan narasi sejenis “gaul tapi paham agama idaman semua kaum hawa” memenuhi kolom komentar. Pertanyaannya kemudian, yang ‘paham agama’ itu sebenarnya seperti apa? Apakah dengan modal jubahan sudah bisa dikatakan paham agama atau tidak? Apakah yang sekedar hafal beberapa teks al-Qur’an dan hadis sudah termasuk paham agama atau tidak, ataukah dengan modal ‘islamisasi’ bahasa keseharian; akhi, ukhti, syukron, jazakallah lantas sudah bisa dikatakan paham agama? Itulah yang akan penulis coba jawab dalam tulisan singkat ini.

Sebelum menjawab itu, sejenak mari kita ikuti logika postingan-postingan yang beredar itu. Hemat penulis, pengertian paham agama oleh sebagian mereka -untuk mengatakan tidak semua- hanya pada ranah aspek lahiriah bukan pada ranah hal yang substantif. Laki-laki dengan hanya bermodal jubahan, rajin ke masjid, ikut nimbrung beberapa kajian dan hafal beberapa teks Al-Qur’an dan hadis bagi mereka itu sudah termasuk paham agama. Laki-laki dengan modal ‘islamisasi’ bahasa dengan style tidak isbal dan terikat dalam lingkaran tarbiyah bagi mereka itu juga sudah dianggap paham agama.

Tren Hijrah dan Laki-Laki Paham Agama

Realitas demikian, cukup untuk menunjukan isu ini bukan sesuatu yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kriteria dalam membangun rumah tangga, sangat memungkinkan menghasilkan generasi yang berpotensi memunculkan berbagai bibit konservatisme agama. Dalam hal ini, model keberagamaan yang hanya melihat teks Al-Qur’an dan hadis Nabi saw secara harfiah, atau dalam ringkasan hasil riset PPIM UIN Jakarta ‘Tren Keberagamaan Hijrah Kontemporer’ disebut sebagai kombinasi praktis dan normatif yang bersumber dari teks-teks agama serta mempromosikan kepatuhan literal dan ekslusif terhadap syariah.

Kembali ke pertanyaan yang penulis ajukan sebelumnya. Seperti apakah laki-laki yang ‘paham agama’. Singkatnya, menjawab pertanyaan ini bukanlah sesuatu yang dapat dijawab secara ‘hitam putih’. Sebagaimana sulitnya mendefinisikan agama oleh para pakar (Quraish Shihab, ‘Islam yang Saya Anut; Dasar-dasar Ajaran Islam’ hal. 32-27) menentukan barometer kepahaman akan agama juga menjadi sesuatu yang amat sulit. Agaknya, juga tidak berlebihan jika mustahil menjawab secara jelas dan sempurna.

Namun, sebagai tawaran jawaban atau jawaban alternatif untuk merespon isu yang penulis angkat dalam tulisan ini. Merefleksikan kembali syarat-syarat untuk menjadi seorang mufassir dan muhandis agaknya sudah cukup untuk menunjukan ‘laki-laki yang paham agama’ tidak sesederhana sebagaimana pemahaman sebagian ‘ukhti-ukhti’ yang katanya telah ‘berhijrah’ itu. Berikut penulis uraikan secara singkat.

Paham Agama; Mufassir dan AL-Muhaddis?

Menurut Imam Jalaluddin al-Suyuti dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an setidaknya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang mufassir . Di antaranya; pertama, menguasai ilmu bahasa Arab beserta aspeknya. Kedua, menguasai ilmu gramatikal Arab (nahwu-sharof). Ketiga, menguasai ilmu ma’ani, bayan dan badi’. Keempat, menguasai ilmu qiro’at, baik itu versi sab’ah atau asyrah. Kelima, menguasai ilmu ushul al-din dengan sempurna. Keenam, menguasai ilmu ushul al-fiqh. Ketujuh, menguasai ilmu asbab al-nuzul. Kedelapan, menguasai ilmu nasik al-mansukh. Kesembilan, menguasai ilmu fiqih dab hukum Islam. Kesepuluh, menguasai hadis-hadis Nabi berkenaan penafsiran suatu ayat. Kesebelas, mendapatkan ilmu mawbihah yakni ilmu yang diberikan oleh Allah swt. kepadanya sehingga dapat berpotensi menjadi seorang mufassir.

Dalam bidang hadis pun demikian, juga tidak sepi dengan syarat yang ketat. Mengutip uraian pemikir hadis Nusantara M. Syuhudi Ismail dalam salah satu karyanya, setidaknya terdapat beberapa gelar dalam bidang hadis. Pertama, gelar al-hakim dengan syarat menghafal dengan baik hadis Nabi Saw. lebih dari 300.000 buah hadis lengkap dengan urutan-urutan sanadnya, seluk-beluk rawinya dan sebagainya. Kedua, al-Hujjah dengan syarat mampu menghafal 300.000 hadis Nabi saw. baik matan, sanad maupun perihal perawinya (jarh wa al-ta’dil-nya). Ketiga, al-muhaddis dengan syarat sanggup menghafal 1000 buah hadis Nabi Saw. baik matan, sanad, jarh wa al-ta’dil perawinya, tingkatan hadisnya serta memahami hadis-hadis yang termaktub dalam kitab-kitab kutub al-tis’ah.

Tidak sesederhana itu kan Rahmania? Pun ini baru dua disiplin keilmuan dari luasnya bidang keilmuan dalam agama Islam. Olehnya, alangka ironis realitas yang ada di berbagai postingan media sosial itu. Labelitas kepahaman akan agama dipahami secara sangat-sangat parsial, hanya dengan modal good looking, style jubahan, tidak isbal, suara merdu dalam melantunkan ayat Al-Qur’an, rajin posting nasihat singkat sudah dianggap paham agama yang katanya sangat diidam-idamkan. Sebenarnya tidak berlebihan jika kecenderungan ini jugalah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran otoritas kepakaran agama.

***

Sebelum mengakhiri tulisan singkat ini, penulis hendak menekankan dua hal. Pertama, labelitas ‘paham agama’ bukanlah persoalan sederhana yang boleh dilekatkan dengan pemahaman parsial. Kedua, para akademisi dan atau yang melek terhadap isu konservatisme agama agaknya juga perlu memberikan perhatian khusus atas kecenderungan ini. Sebab, jika paradigma membangun keluarga sudah berdasar pada pemahaman yang parsial dan ‘konservatif’ maka sangat memungkinkan ke depan bibit-bibit konservatisme agama akan semakin mendominasi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bagikan
Exit mobile version