Site icon Inspirasi Muslimah

Konsep Setara Menurut Amina Wadud Muhsin

pengajian

Misbah Hudri

Amina Wadud dikenal sebagai tokoh feminis muslimah yang lahir di Amerika tahun 1952. Disebut-sebut bahwa, beliau memeluk Islam di tahun 1972; setelah sebelumnya beragama Nasrani dan juga pernah memeluk agama Buddha. Baginya, Islam memberi bahasa tauhid yakni bahasa Tuhan untuk berdialog dengan makhluknya. Kemungkinan, hal tersebutlah yang menjadikannya memeluk Islam.

Latar belakang  pendidikannya yaitu kajian keislaman, bahasa dan bidang pendidikan. Selain aktif sebagai feminis, beliau juga adalah seorang guru besar.

Amina Wadud, Suara Tafsir yang Berkeadilan Gender

Kehadirannya di dalam wilayah penafsiran Al-Qur’an ingin memberi pencerahan terhadap kaum muslim yang terlalu lama berada di alam pikiran patriarkal. Kita sadari atau tidak, mayoritas mufassir adalah laki-laki; sehingga secara ideologis-sosiologis ada pertarungan kepentingan di dalam penafsirannya. Ada hubungan yang mengunggulkan satu pihak dengan pihak lainnya.

Sedangkan sejatinya spirit Al-Qur’an, haruslah bermakna untuk membangun keadilan gender dalam masyarakat- ialah laki-laki dan perempuan harus saling bekerja sama secara simbiosis-mutualisme tanpa mengabaikan salah satunya. Tujuannya adalah untuk mendapat tatanan hidup yang harmoni.

Tiga isu utama yang sering mengemuka dalam peminat studi gender, pertama, asal-usul penciptaan laki-laki dan perempuan. Kedua, persoalan perempuan dan dosa warisan. Ketiga, fungsi keberadaan laki-laki dan perempuan.

Dalam hal ini pemahaman atau hasil tafsiran terhadap teks agama banyak yang menempatkan perempuan satu tingkat di atas laki-laki. Kadangkala pula memunculkan pandangan yang minor dan kurang apresiatif.           

Amina Wadud ingin merekontruksi metodologis dalam menafsirkan Al-Qur’an agar mendapatkan penafsiran yang sensitif gender dan berkeadilan. Gagasan Amina Wadud tidak bisa terlepas dari konteks historis pergaulan dan pergumulan perempuan-perempuan Afrika-Amerika yang memperjuangkan keadilan gender. Karena, memang perempuan kurang mendapat keadilan yang proporsional secara relasi perempuan laki-laki. Di samping pengalaman sosial tersebut, juga dilingkupi oleh pengalaman personal. Beliau yang memiliki ras Afro-Amerika sering mendapatkan diskriminasi sepihak oleh masyarakat di tempat tinggalnya. Sebagai seorang muslimah, beliau juga seorang janda.

Pemikiran dan Teori Amina Wadud.

Asumsi dasar yang menjadi kerangka berpikir Amina Wadud adalah, bahwa Al-Qur’an adalah sumber nilai tertinggi dalam mendudukkan perempuan dan laki-laki terkait keadilan. Juga, menurutnya, selama ini belum ada metode penafsiran yang benar-benar objektif.

Pada mufassir, kerap kali terjebak pada prejudiceperjudicenya, sehingga makna Al-Qur’an pun terkesan semaunya. Itulah sebabnya, riset penelitiannya mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pemaknaan teks yang hidup dan kaya akan makna; tidak hanya mereproduksi makan teks tapi juga memproduksi makna. Model berpikir tesebut hampir mirip dengan hermeneutika Gadamer. Adapun teori Amina Wadud memiliki istilah sebagai teori holistik Al-Qur’an.

Lebih lanjut, terdapat penjelasan bahwa dari cara penafsiran seperti itu, maka teks akan menjadi dinamis pemaknaannya; selalu kontekstual seiring dengan perkembangan budaya dan budaya manusia. Untuk itu, beliau juga mensyaratkan adanya world view atau weltanchauung.

Berikut merupakan metodologi tafsirnya yang disusun runtut yang ia kemukakan adalah model hermeneutik yang prinsip dasarnya seorang mufassir harus selalu menghubungkan tiga aspek;

  1. Teks tertulis (teks tersebut ditulis)
  2. Komposisi tata bahasa teks
  3. Keseluruhan teks dimaksudkan ialah weltanchaung (pandangan dunia)
Tafsir Amina Wadud

Contoh penafsiran Amina Wadud tentang laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan surah an-Nisa ayat 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Dalam QS. al-Nisa’ ayat 34, (qawwamuna ’ala an-nisa) menurut Amina Wadud; pengertian tersebut hanya berlaku jika terdapat dua keadaan yaitu suami mampu atau sanggup membuktikan kelebihannya dan suami mendukung kaum perempuan (isterinya) dengan menggunakan harta mereka. Jika kedua kondisi itu tidak dapat dipenuhi, maka suami bukanlah pemimpin bagi istrinya.

Konsep kepemimpinan memang sudah mapan akan tetapi bagi kaum feminis, pendapat yang mengatakan suami sebagai pemimpin tidaklah sejalan dan bertentangan dengan ide utama yang dijunjung kaum feminis yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Maka konsekuensi logis dari konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah terciptanya status setara antara istri dan suami. [wallahu a’lam]

Bagikan
Exit mobile version