Site icon Inspirasi Muslimah

Kompetisi Debat di Sosial Media dengan Trending Twitter sebagai Mosinya

Debat

Nadin Amizah menjadi bahan perbincangan yang ramai diperdebatkan di jagat maya karena pernyataanya yang kontroversional saat diundang di podcast dengan slogan fenomenal one two three close the door  milik Deddy Corbuzier. Perdebatan memang menjadi hobi lama bagi warganet di Indonesia apalagi sejak masa pandemi yang menambah banyak waktu luang. Debat tentang bubur lebih enak diaduk atau tidak diaduk saja belum usai, sekarang ditambah perdebatan mengenai si kaya dan si miskin.

Perdebatan warganet di dunia maya seakan difasilitasi dan diberikan tempat layaknya arena lomba tanpa aturan dan wasit yang menengahi. Sehingga siapa saja asal punya kuota dapat menyuarakan pendapat di akun media sosialnya. Twitter menjadi salah satu media sosial yang sering menyelenggarakan ‘ajang’ perbebatan ini. Tak jarang trending topic di Twitter merupakan hasil keributan itu.

Stok keributan di Twitter seakan tidak ada habisnya atau mungkin netizen Indonesia yang semakin longgar waktunya. Setiap kali membuka Twitter ada saja yang sedang diperdebatkan. Urusan sepele kadang jadi besar. Urusan besar tambah besar lagi. Orang-orang berlomba dengan jarinya karena sekarang perdebatan bukan lagi adu data dan fakta, namun cukup adu kecepatan jempol mengetik dengan kata-kata menarik.

Mendramatisir Kejadian

Jika sinetron Indosiar banyak adegan dramatis maka warganet Twitter tidak kalah ahli daripada sutradara dalam mendramatsir suatu kejadian. Hawa panas sering kali menjadi menyelimuti atmosfer saat scrolling timeline di Twitter. Karena banyak ahli-ahli baru yang muncul dengan teori yang dianggap benar oleh masing-masing pengikutnya.

Misalnya saja bubur diaduk lebih nikmat daripada bubur tidak diaduk menjadi teori lama dan sumber keributan netizen sampai sekarang. Jika bubur diaduk maka bumbu akan merata dan dapat dinikmati dengan mudah. Berlainan dengan kubu bubur tidak diaduk karena alasan keestetikaan saat memakannya. Dua kubu ini akan terus menyerang dengan argumen yang dapat mengungguli kubu seberang.

Tidak lagi peduli dengan data dan fakta yang jelas pendapatnya harus lebih lebih kuat dan tentunya disukai banyak orang. Sehingga kalau dibelah seolah akan ada pendapat pro dan kontra. Dalam kasus Nadin Amizah pendapat juga dibagi atas kubu yang melabeli jiwa literasinya tinggi sehingga merasa lebih memahami maksud yang disampaikan mengenai si kaya dan si miskin. Serta kubu yang bersebelahan lebih bernuansa panas karena seakan tidak terima dengan pernyataan Nadin bahwa si kaya akan lebih mudah berbuat baik.

Bara Perdebatan Netizen Indonesia

Zaman sekarang memang terlalu banyak tantangannya. Selain masalah rasisme yang tidak juga reda, masalah toleransi juga sering menjadi kayu bakar dalam suatu perdebatan. Jiwa kompetitif netizen di Indonesia sepertinya terlalu besar seolah berisiko kematian jika pendapatnya tidak menang dalam suatu perdebatan virtual. Biasanya netizen yang  sependapat akan menyirami minyak tanah di bara api yang mulai menyala sehingga dapat terjadi keributan besar yang dapat menggegerkan satu negara.

Entah hadiah apa yang dimenangkan dari kompetensi saling memakan ini. Entah memakan ludah sendiri jika ternyata pendapatnya dipatahkan atau memakan teman yang pendapatnya berseberangan. Namanya suatu kompetisi tidak asik kalau tidak ada bintang tamu. Maka dari itu biasanya ada publik figur yang akan turut meramaikan. Ada yang datang hanya dengan yel-yel penyemangat atau mungkin ikut mendaftar jadi peserta kompetisi adu pendapat.

Nah, inilah yang istimewa dari netizen Twitter dari negri kita tercinta. Jika idolanya sudah mengeluarkan sabda maka pantang untuk tidak mendukungnya. Tentunya sebagai bukti nyata bahwa memang pendukung setia dengan tameng toleransi dan open minded di dalamnya. Sehingga perdebatan dengan mengatasnamakan open minded terdengar lebih elegan.

Padahal jika diruntut ke belakang open minded dan toleransi haruslah menjadi modal utama jika ingin menyuarakan pendapat. Kalau tidak dapat menerima atau bahkan membantah argumen lain tidak akan tidak akan menjadi keder. Sikap legowo akan muncul untuk memadamkan bara api yang menyala sudah tercukupi.

Bijak Bersosial Media

Media sosial menjadi area publik yang dapat dilihat dan diakses oleh siapa saja. Apalagi di Twitter banyak kalangan yang memakainya menjadi media komunikasi yang berharap mendapatkan informasi bermanfaat bukannya keributan yang membuat pening jidat.

Kemampuan memfilter serta kemampuan menahan emosi juga perlu untuk melihat suatu hal yang dianggap tidak sejalan. Bermain media sosial menghamburkan waktu dan kuota merupakan suatu previlege (kalau kata anak zaman sekarang). Karena masih banyak orang yang kehabisan waktu karena melakukan hal-hal produktif dalam kesehariannya sehingga tidak sempat melihat keributan di dunia maya.

Ada juga yang tinggal di area susah sinyal sehingga tidak bisa ikut menyuarakan pendapatnya. Semua itu kembali lagi ke diri masing-masing karena notabennya setiap orang berbeda dengan membawa keunikannya sendiri. Tetapi tetap harus tau cara mengontrol diri dan emosi serta bijak bersosial media.

Bagikan
Exit mobile version