Site icon Inspirasi Muslimah

Keseimbangan Kerja Keluarga: Peran Kebijakan Cuti Ayah

cuti ayah

Bukan berita baru lagi bahwa Indonesia merupakan negara ketiga yang memiliki tingkat fatherless terbanyak di dunia. Lekatnya budaya patriarki, tingginya angka perceraian, dan berbagai masalah rumah tangga lainnya sering kali memberikan jarak keterpisahan antara ayah dengan anak. Adapun dampaknya pada anak yang mengalami fatherless dapat dirasakan hingga dewasa, terutama dalam hal psikologis.

Mengingat banyaknya permasalahan keluarga saat ini, Sebenarnya pemerintah sudah melakukan pencegahan melalui adanya program PUSPAGA (Pusat Pembelajaran Keluarga) sebagai layanan peningkatan kualitas ketahanan keluarga melalui konseling, konsultasi, dan informasi terkait pengetahuan dan keterampilan menjadi orang tua sesuai hak anak. Namun, keberhasilan program ini tentu akan terhambat jika tidak terdapat kesadaran ataupun partisipasi dari seorang ayah. Maka diperlukan adanya sosialisasi berkelanjutan ataupun kebijakan lain yang dapat membangun keterlibatan ayah agar program dapat berjalan efektif. 

Mengenal Paternity Leave di Indonesia

Paternity Leave atau biasa disebut cuti ayah, merupakan hak yang diberikan oleh seorang ayah untuk mengambil hari libur dari pekerjaannya. Pandangan tradisional biasanya menganggap ayah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Sementara ibu yang bertanggung jawab penuh atas peran pengasuhan dan perawatan anak. Namun seiring berjalannya waktu, beberapa negara sudah melegalkan adanya kebijakan cuti ayah sebagai bentuk pemberian kesempatan untuk membangun kedekatan bersama anak. 

Cuti ayah memiliki perbedaan kebijakan di setiap negara. Sebagai contoh, di Islandia, ayah mendapat kesempatan cuti selama setengah tahun dengan tetap menerima 80% penghasilannya. Sementara di Jepang, ayah mendapat hak cuti selama 3 minggu dengan bayaran 67% dari gaji, tanpa pajak, dan 50% gaji selama sisa cuti.

Namun di Indonesia sendiri, UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan hak cuti ayah hanya berlangsung selama selama 2 hari dengan bayaran penuh saat istri melahirkan ataupun mengalami keguguran. Kebijakan ini menunjukkan bahwa peran ayah saat istri melahirkan masih pemerintah anggap sebelah mata. Padahal, proses melahirkan membutuhkan pendampingan dan dukungan dari suami.

Lain halnya dengan pegawai swasta, pegawai negeri sipil (PNS) justru mendapatkan keuntungan lebih besar dari kebijakan pendampingan istri melahirkan. Berdasarkan Peraturan BKN Nomor 24 Tahun 2017, PNS memiliki hak cuti ayah hingga 1 bulan tanpa mengurangi hak cuti tahunan. Hingga kini keadilan dalam aturan hukum Indonesia mengenai hak cuti ayah masih menjadi pertanyaan. Padahal kebijakan cuti melahirkan bagi perempuan PNS maupun non PNS sudah serentak selama 3 bulan. Namun sangat disayangkan apabila hak cuti ibu melahirkan tidak disesuaikan dengan keberlakuan hak cuti ayah.

Urgensi Pemberian Hak Cuti Ayah

Memberikan hak cuti yang lebih lama kepada seorang ayah akan menjadi kesempatan yang baik untuk mendorong keterlibatan aktif suami dalam tugas domestik. Terutama saat istri sedang hamil atau baru saja melahirkan. Mengingat masa pasca melahirkan adalah masa yang penuh tekanan, sehingga dukungan dari seorang suami sangat penting bagi istri.

Pada tahun 2022, DPR RI telah mengusulkan memberikan cuti selama 40 hari bagi suami ketika istrinya melahirkan, seperti yang tertera dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Usulan ini juga sejalan dengan usulan peningkatan waktu cuti melahirkan bagi ibu yang bekerja, yang totalnya selama 6 bulan. Rencana ini pastinya merupakan langkah untuk membawa kesejahteraan dan keharmonisan keluarga

Namun rancangan implementasi kebijakan cuti ayah selama 40 hari rupanya mengundang polemik di tengah masyarakat, terutama di media sosial. Terdapat asumsi yang mengatakan bahwa adanya kemungkinan beberapa suami justru menganggap cuti ayah sebagai waktu liburan dan tidak aktif membantu dalam tugas domestik, sehingga menambah beban istri. Ada pula yang beranggapan bahwa periode cuti selama 40 hari terbilang sangat lama, mengingat laki-laki tidak mengalami proses nifas, dan lain sebagainya.

Begitupun tantangan lainnya adalah kurangnya dukungan dari tempat kerja laki-laki itu sendiri, karena masih banyak beberapa perusahaan yang belum mampu mendukung pilihan cuti ayah selama 40 hari. Berbagai alasan dan pendapat tersebut tentu juga dipengaruhi oleh adanya budaya patriarki yang masih melekat, di mana peran ayah dianggap sebagai pencari nafkah dan ibu bertanggung jawab atas urusan domestik.

Dengan demikian, pada akhirnya sudah sepatutnya peran laki-laki dalam keterlibatan urusan domestik mulai menjadi hal yang biasa. Penting juga bagi pemerintah untuk segera mengesahkan kebijakan RUU KIA mengenai hak cuti ayah selama 40 hari. Karena hingga saat ini keabsahan wacana tersebut masih menjadi pertanyaan.

Bukan Sebatas Pendampingan Istri Melahirkan

Sebagaimana yang sudah banyak beberapa negara lakukan, cuti ayah umumnya Pemerintah berikan kepada para suami untuk mendampingi istri-istrinya yang sedang melahirkan. Setelah proses melahirkan, peran ayah memang penting dalam memberikan dukungan terutama dalam perawatan bayi baru lahir. Ini juga dapat membantu mengurangi faktor penyebab “baby blues” pada seorang ibu. Namun, penting untuk diingat bahwa peran ayah tidak hanya saat anak masih bayi, tetapi juga harus berkelanjutan hingga anak berusia dewasa.

Dalam banyak situasi, peran ayah sering kali diabaikan atau kurang diperhatikan dalam perawatan dan pendidikan anak. Ayah sering kali tidak memiliki waktu yang cukup untuk menghabiskan bersama anak-anak mereka. Karena beban kerja yang tinggi atau kurangnya fleksibilitas kerja. Akibatnya, anak-anak dapat mengalami kekurangan interaksi dan ikatan dengan ayah.

Dengan kebijakan cuti ayah, memungkinkan ayah mendapat kesempatan untuk lebih terlibat dalam kehidupan anak-anak mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berkualitas bersama anak, terlibat dalam kegiatan sekolah, dan memberikan perhatian dan dukungan emosional yang penting bagi perkembangan anak.

Selain perawatan dan pengasuhan, cuti ayah juga memberikan kesempatan bagi ayah untuk menjadi model perilaku yang baik bagi anak, membentuk kepribadian dan karakter yang bertanggung jawab dan berkontribusi positif terhadap masyarakat. Melalui cuti ayah, ayah dapat membangun hubungan yang kuat dengan anak mereka, membantu dalam perkembangan mereka, dan menjadi panutan yang baik dalam kehidupan mereka.

Dalam hal ini, kebijakan cuti ayah dapat membantu mengurangi fatherless dengan memberikan kesempatan kepada ayah untuk lebih aktif dalam peran ayahnya dan memperkuat ikatan keluarga. Oleh karena itu, saat ini sudah seharusnya peran ayah dalam mengurus anak mulai kita anggap sebagai hal yang biasa dan penting. Selain itu, perlu juga kesadaran bagi seluruh ayah untuk memanfaatkan waktu libur mingguan dengan maksimal guna membangun ikatan dengan anak dengan orang tua.

Sumber Referensi

Ariyanti, Dewi. (2017). Paternity leave (cuti ayah): apa, bagaimana, dan untuk apa. Yinyang: jurnal studi islam gender dan anak. 12(2), 351-366

Raditya & Priyanto. (2018). Eksistensi hak cuti karena istri melahirkan bagi pekerja pria menurut undang-undang no.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, [S.l.], p. 1-16, aug. 2018. ISSN 2303-0569.

Faqih, dkk. Ribut-ribut RUU KIA: kenapa cuti ayah patut didukung untuk wujudkan kesetaraan. Magdalene. Diakses tanggal 8 Juli 2022. https://magdalene.co/story/ribut-ribut-ruu-kia-kenapa-cuti-ayah-patut-didukung-untuk-wujudkan-kesetaraan/

Badan Lesgislasi. DPR inisiasi cuti 40 hari bagi suami yang istrinya melahirkan lewat RUU KIA. Diakses tanggal 20 Juni 2022. https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/39423/t/DPR+Inisiasi+Cuti+40+Hari+Bagi+Suami+yang+Istrinya+Melahirkan+Lewat+RUU+KIA

Parentalk.id (2023). Cuti ayah di berbagai negara. Instagram. Diakses tanggal 6 Agustus 2023. https://www.instagram.com/p/CvlysUZJum_/?img_index=3

Bagikan
Exit mobile version