f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kepustakaan

Kepustakaan Islam: Buku Baru dan Kitab Klasik

Dalam beberapa tahun terakhir ini kita saksikan pertumbuhan yang cukup pesat pada kepustakaan Islam di negeri kita. Terlihat perkembangan yang sangat kentara baik dalam jumlah, jenis kertas, maupun isi-isi buku-buku agama yang terbit dan beredar di masyarakat. Buku-buku tentang agama Islam merupakan komoditas yang cukup potensial untuk bahan komersil. Sampai-sampai seorang penerbit tua memberi nasehat kepada penerbit muda agar memusatkan usahanya pada penerbitan buku-buku genre tersebut, sebab pasti akan laku.

Tidak mengherankan apabila beberapa penerbit seakan-akan berlomba dalam mencari naskah. Naskah tersebut baik berupa karangan asli maupun karya terjemahan. Mereka menerbitkannya dalam rangka memenuhi tantangan kebutuhan masyarakat Islam akan literatur keagamaannya.

Untuk melihat lebih jelas betapa beragam buku-buku tentang agama Islam itu setidak-tidaknya kita perlu pergi ke dua tempat, toko buku dan toko kitab. Selain itu perlu pula dilihat buku-buku apa yang dijual oleh para penjaja buku. Yang menjadi perhatian lainnya adalah apakah penjaja itu keluar masuk kampung demi kampung, menawarkan buku-buku di website maupun media sosial, atau yang menawarkannya di kaki lima dan jembatan penyeberangan.

Tatapan sekilas terhadap perkembangan kepustakaan Islam sebagaimana terlihat dari buku-buku atau kitab-kitab yang ada di tempat-tempat penjualan di atas menyadarkan kita betapa mencolok perbedaan yang terdapat di antara dunia buku dan dunia kitab. Buku-buku Islam memperlihatkan perkembangan yang semakin semarak sedangkan kitab-kitab Islam yang berbahasa daerah tidak lagi berkembang, bahkan terancam punah dan menghilang.

Padahal pada faktanya kitab-kitab Islam di Nusantara pernah mewarnai alam pemikiran Islam di kawasan Asia tenggara. Kitab tersebut ditulis dalam bahasa daerah masing-masing. Contohnya yaitu kitab-kitab dalam bahasa Melayu klasik, bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bugis dan bahasa Makassar. Kitab tersebut ada yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu (Pegon) maupun aksara daerah seperti aksara Jawa dan aksara Bugis

Baca Juga  Mengurai Akar Konflik-Konflik Sosial dalam Grup Whatsapp

Berangkat dari tatapan sekilas di atas, tulisan ini mencoba membicarakan dua hal masalah penulisan buku-buku baru dan masalah pelestarian kitab-kitab klasik.

Berinovasi dalam Penulisan Buku-Buku Baru

Pertama-tama buku-buku Islam dapat kita pilah-pilah dalam beberapa kategori yang masing masing mempunyai ciri dan sasarannya sendiri. Pada kelompok pertama kita lihat buku-buku Islam yang bersifat Tadrisiyyah, yaitu buku-buku yang bersifat instruction yaitu buku-buku yang mengandung petunjuk praktis. Misalnya buku-buku tentang pelajaran shalat, manasik haji, pelajaran puasa, cara-cara pemulasaran jenazah dan sebagainya. Buku-buku ini mempunyai konsumennya sendiri dan jumlahnya cukup besar, yaitu kalangan awam.

Menarik untuk menjadi perhatian bahwa buku-buku seperti ini tidak hanya berkembang jumlahnya, akan tetapi juga meningkat tempat penjualannya. Kalau pada beberapa waktu yang lalu kita saksikan di para pedagang kaki lima dan dibawa oleh para penjaja buku. Sekarang buku-buku itu mudah sekali kita temukan di toko-toko buku baik secara online maupu offline.

Kelompok kedua buku-buku Islam yang bersifat Ta’limiyyah, yaitu buku-buku agama yang bersifat learning, buku-buku pelajaran, dan pengetahuan. Misalnya buku-buku yang memuat tentang dirasah Islamiyah seperti buku pelajaran agama Islam karya Hamka dan Islamologi karya Muhammad Ali.

Begitu pula dengan buku-buku tentang pengetahuan ke-Islaman pada umumnya dan beberapa hasil penelitian ilmiah (risalah al-jami’ah) berupa skripsi, tesis, dan disertasi juga masuk kategori kedua ini. Misalnya buku Islam syariat; reproduksi salafiyah ideologis di Indonesia merupakan disertasi dari Haedar Nashir yang dibukukan. Peminatnya sendiri berasal dari kalangan mereka yang sudah terdidik.

Kelompok yang terakhir adalah buku-buku Islam yang bersifat Difa’iyyah yaitu buku yang bersifat dakwah sekaligus bergaya apologi membela dan mempertahankan Islam dari kritik orang lain. Masuk dalam kategori ini ialah buku planning jundullah karya Said Hawwa.

Baca Juga  Meneguhkan Moderasi Beragama bagi Kawula Muda
Berkreasi dalam Pelestarian Kitab-Kitab Klasik

Pembahasan tentang penulisan buku-buku Islam agaknya lebih relevan dengan kelompok kedua. Sebab pengembangan dalam penulisan buku-buku Islam yang bersifat Ta’limiyyah akan memberikan resonansi kualitatif yang bersifat positif terhadap buku-buku yang bersifat Tadrisiyyah dan yang bersifat Difa’iyyah.

Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pertama, penulisan buku-buku Islam yang serius juga tidak asal jadi. Perlu kesungguhan dan perhatian penuh dari sang penulis. Penulisan seperti ini adalah karya profesional dan bukan sekedar kaya amatiran. Kepenulisan harus menjadi suatu profesi. Penulis harus dapat hidup dengan hasil tulisannya dan untuk melengkapi literatur kepustakaannya. Namun kondisi kita sekarang masih sangat jauh dari hal ini. Kepenulisan masih merupakan kerja sambilan dan karena itu hasilnya pun tidak memuaskan.

Kedua perlu tersedia sarana perpustakaan yang cukup memadai. Sayang sekali dalam masalah perpustakaan ini, perhatian pihak yang berwenang masih jauh dari harapan. Kita bisa melihat ini dari kondisi perpustakaan berbagai perguruan tinggi baik Islam maupun umum. Ketiga, terjaminnya kebebasan intelektual, pelarangan buku, dan ketakutan membaca. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada buku-buku yang penulisnya berafiliasi pada sekte/pemahaman tertentu. Misalnya penulis yang ikut paham-paham liberal ataupun radikal-konservatif.

Pelarangan terhadap buku-buku yang penulisnya menganut paham tersebut sebenarnya sama saja membatasi kreatifitas dalam dunia tulis-menulis. Kalaupun ada pihak yang tidak suka dan menganggap terdapat kekeliruan, maka bisa menulis buku/tulisan untuk membantah maupun mengkritik buku-buku yang ia anggap keliru itu. Oleh karenanya tidak perlu melarang, sebab bukankah dengan adanya aneka macam pandangan kita bisa belajar banyak?

Selain masalah penulisan buku-buku Islam, perlu juga melestarikan kitab-kitab Islam klasik yang terancam punah. kitab-kitab Islam itu adalah yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu atau bahasa-bahasa daerah lainnya. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus karena dalam perkembangan intelektual Islam di Asia Tenggara dan Nusantara, kitab-kitab klasik tersebut mempunyai peran yang dominan.

Baca Juga  Golden Age, Pondasi Pendidikan Pertama

Perkembangan dalam bidang bahasa, pemikiran, dan pengetahuan keIslaman telah mendesak keberadaan kitab-kitab klasik. Kitab klasik kini seperti barang yang sudah tidak diperlukan lagi dan dibiarkan hilang dari khazanah intelektual kaum muslim. Lebih-lebih di negeri kita peniadaan pelajaran membaca dan menulis huruf Arab-Melayu (Pegon) menyebabkan semakin jarang orang yang mampu membaca kitab-kitab klasik tersebut.

Meskipun usaha melestarikan kitab-kitab klasik kurang menguntungkan secara komersial, namun bagi khazanah keilmuan Islam, usaha ini sangatlah penting. Tidak saja karena kitba-kitab itu pernah mewarnai salah satu periode dalam perkembangan Islam di Nusantara, akan tetapi juga karena di dalam kitab-kitab itu tersimpan kekayaan pengetahuan ke-Islaman yang cukup besar.

Pelestarian kitab-kitab klasik merupakan “PR” bersama untuk semua kaum Muslim baik yang bergelut dalam bidang akademik ataupun tidak. Namun hal itu seyogyanya menjadi kegiatan pertama dalam dunia akademis. Tudjimah, Simuh, Ahmad Baso, dan juga Oman Fathurrahman adalah beberapa tokoh yang sudah mulai menerapkan hal itu. Hendaknya mereka menjadi role model dan menjadi titik tolak bagi penggalakan kegiatan-kegiatan akademis serupa. Bukan hanya bagi para dosen atau mahasiswa saja, akan tetapi juga bagi masyarakat umum sebagai bentuk usaha melestarikan khazanah intelektual Islam yang terancam punah.

Editor: Imam Basthomi

Bagikan
Post a Comment