Site icon Inspirasi Muslimah

Kekerasan Seksual Anak, Problem Klasik yang Tak Kunjung Selesai

kekerasan seksual anak

Di tengah marak dan hangatnya pemberitaan kampanye pemilihan capres-cawapres, media massa hampir tak pernah berhenti memberitakan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Baru-baru ini di Surabaya, kasus kekerasan seksual menimpa seorang anak, sebut saja Bunga (12). Korban mengalami pelecehan seksual oleh anggota keluarganya sejak 4 tahun yang lalu, saat korban masih duduk di bangku 4 kelas sekolah dasar (SD). Pelaku adalah keluarga dekat korban yakni; ayah kandung, kakak kandung dan dua pamannya. Sebelumnya, kepolisian Resor Kota Yogyakarta menangkap JL (24). Seorang oknum guru sekolah dasar (SD) swasta di kota Yogyakarta yang melakukan pelecehan atau kekerasan seksual terhadap 15 siswanya. Dua kasus  di atas, hanya sedikit contoh, dari ribuan kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak di Indonesia.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), Indonesia telah masuk pada kondisi darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data KemenPPPA, kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan signifikan. Jika pada tahun 2021 ada 4.162 kasus yang dilaporkan, maka pada tahun 2022 menjadi 9.588 kasus. Angka ini sangat mungkin lebih rendah dari angka real kejadian yang ada di masyarakat. Sebab, tidak semua masyarakat memiliki kesadaran diri untuk melaporkan ke pihak berwajib, dengan berbagai alasan. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa kasus kekerasan seksual adalah aib keluarga yang harus ditutupi. Dan alasan lain, mereka tidak mau berurusan dengan penegak hukum.

Bagi korban, pengalaman traumatis sebagai korban kekerasan seksual dapat memberikan dampak pada kondisi psikologis. Hal tersebut bisa terjadi apabila tidak mendapatkan bantuan, pertolongan, dan pendampingan psikologis. Hal tersebut dapat berujung pada munculnya gangguan jiwa seperti cemas, depresi, bipolar, psikotik dan gangguan kepribadian. Kekerasan seksual juga dapat menyebabkan korban merasa bersalah, memiliki gambaran diri yang buruk dan sangat merasa malu. Perasaan bersalah dan malu terbentuk akibat rasa ketidakberdayaannya, karena tidak memiliki kekuatan untuk mengontrol maupun membela diri. Anak yang merupakan korban kekerasan seksual sering merasa bahwa mereka berbeda dengan orang lain. Pada beberapa korban, merasa marah pada tubuhnya, akibat penganiayaan/kekerasan yang mereka alami. Korban lainnya memilih menggunakan obat-obatan dan minuman beralkohol untuk menghukum tubuhnya. Mereka berusaha untuk berusaha menghindari memori tentang kejadian kekerasan yang pernah menimpa dirinya.

Berbagai dampak kekerasan seksual terhadap anak, tentu akan berpengaruh pada kualitas hidup korban dan mengancam masa depannya. Tentu, apabila hal tersebut kita kaitkan lebih jauh, kualitas hidup anak sebagai individu juga sangat menentukan bagaimana kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa ini ke depan. Sejatinya, ranah domestik (rumah) maupun sekolah, harusnya menjadi tempat ternyaman dan membahagiakan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun justru menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual. Kekerasan seksual pada anak merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang berdampak negatif terhadap kesehatan fisik, mental, kehidupan sosial dan ekonomi. Fakta yang ada, tidak sedikit korban masih kesulitan mendapatkan keadilan, sedangkan pelaku mendapatkan impunitas atau lolos dari konsekuensi hukum.

Banyak faktor yang melatar belakangi kasus kekerasan seksual pada anak terjadi. Beberapa faktor tersebut di antaranya pengaruh negatif dari perkembangan teknologi informasi yang masif, lingkungan sosial yang permisif, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya pengangguran, hingga kondisi lingkungan yang tidak ramah anak.

Berdasarkan pengamatan penulis, dalam kasus kekerasan seksual pada anak, selain faktor tersebut di atas, tidak tuntasnya penyelesaian kasus hukum dalam kasus kekerasan (seksual) pada anak, justru kadang karena kurang kooperatifnya keluarga korban karena intimidasi dari pelaku, kerabat, rasa kasihan justru kepada pelaku, serta ketidaksiapan mengikuti proses hukum yang tidak sebentar. Pada keluarga dengan pendidikan rendah dan miskin, lamanya proses hukum dan kurangnya support ekonomi (pekerjaan) dari pemerintah atau pihak terkait lain, merupakan masalah tersendiri. Bagi mereka, mengikuti proses hukum bagi mereka adalah beban tambahan, karena mengganggu aktivitas mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Banyaknya kekerasan seksual yang terjadi di sekolah, baik yang berlatar belakang agama maupun sekolah umum dengan pelaku yang justru pendidik, tentu butuh perhatian serius. Maka sangat penting para pemangku kebijakan, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Sekolah Ramah Anak. Kebijakan sekolah ramah anak, yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 8 Tahun 2014 tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak. Kebijakan ini sesungguhnya sangat bagus sebagai bagian dari upaya melindungi anak-anak di ranah sekolah.

Namun sayangnya, meski telah 9 tahun sejak diundangkan, kebijakan Sekolah Ramah Anak belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah kota maupun daerah. Padahal Sekolah Ramah Anak merupakan salah satu indikator Kota Layak Anak (KLA). Maka, menekan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, butuh komitmen dari semua pihak. Baik pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana, menyeluruh, dalam kebijakan, program dan kegiatan, untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Di antaranya hidup dalam lingkungan yang aman, nyaman dan membahagiakan untuk tumbuh dan berkembang.

Maka sangat penting kiranya semakin tinggi kasus kekerasan seksual terhadap anak diangkat pada debat kelima sebagai debat terakhir dari rangkaian debat capres dan cawapres pada tanggal 4 Februari 2024, yang mengangkat topik “Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi”.  Kekerasan seksual hanya satu bentuk, dari berbagai bentuk kekerasan dan kompleksitas permasalahan anak di Indonesia. Permasalahan kekerasan seksual terhadap anak adalah persoalan sangat serius, karena sangat menentukan bagaimana kualitas bangsa ini di masa depan. Komitmen perlindungan anak harus menjadi komitmen semua elemen masyarakat, termasuk Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilu 2024 ini.

Bagikan
Exit mobile version