Site icon Inspirasi Muslimah

Keberkahan Ramadan

keberkahan ramadan

Kulalui jalanan sekolahku dengan hati hampa. Ada yang membuncah di dadaku, terasa sesak namun sulit diungkapkan. Kulihat sekeliling jalanan menuju kantor guru masih sunyi, belum terdengar suara berisik anak-anak ataupun teman-teman seprofesiku sesama guru. Masuk ke kantor guru, segera kuhampiri lemari tempat biasanya buku dan berkas penting lainnya kususun. Semuaya  ku kumpulkan dalam sebuah map plastik besar.

Riuh rendah hatiku menahan kesedihan. Ini hari terakhirku di tempat ini. Kupandangi sekeliling ruangan, mataku tertumbuk pada rekanku yang rupanya telah sedari tadi memperhatikanku. Dia Pak Yakup, seorang guru fisika. Entah sejak kapan dia di sini memperhatikanku dengan wajah iba. Agaknya dia bisa merasakan yang kurasakan . Dia satu-satunya yang kujumpa pagi itu, hanya dengannya lah aku pamit. “Saya pamit pak, mulai hari ini saya sudah tak mengajar lagi, minta maaf kalau ada salah”. Itulah ucapan terakhirku. Dia hanya diam sambil mengangguk, tanpa suara.

Di sepanjang jalan pulang, kulihat orang ramai lalu-lalang. Hatiku begitu hampa, mataku  nanar, tak kuasa menahan bulir-bulir air mata.

Dua pekan lagi Ramadan tiba. Bulan yang kunanti, juga anak-anakku. Kami telah berencana pulang kampung setelah aku menerima gaji dan THR-ku. Tapi…, itu hanya tinggal rencana, karena keduanya takkan kudapat lagi..

Tiba di rumah, anak-anakku belum tahu dan menyadari gundah gulanaku. Mereka menghampiri dan bertanya dengan riang. Si sulung minta sepatu baru tahun ini, setelah sebelumnya dia hanya mendapat baju baru. Dua adiknya menyinggung rencana kami yang akan pulang kampung tahun ini. Tiba tiba terdengar suara, “Assalamu’ alaikum”, ayah anak-anakku pulang. Yah, dia suamiku, bang Hasyim, seorang guru juga, yang mengajar di sebuah SMP swasta  di kota kami. Kulihat wajah nya juga lelah, tapi senyum kecilnya menutupi semburat letihnya. Diberikannya penganan berbungkus daun pada anak ku yang kecil. Beberapa kue basah, dan itu sudah cukup membuat anak-anakku bahagia.

Dengan menarik nafas, dia bertanya padaku, “Sudah ada kepastian di sekolah Imah? Jadi mereka memberhentikan kamu?”. Aku tertegun, seakan malas untuk menjawab. “Ya bang, besok Imah tidak mengajar lagi di sana”. Kulihat wajah suamiku datar saja. Aku tidak tahu apa yang dipendam di hatinya, namun ucapannya cukup membuat hatiku sedikit terobati. “Sudahlah”, dia berujar, “Allah maha tahu akan apa yang digariskanNya untuk kita”. Tapi aku berkilah, “Berarti penghasilan kita berkurang, sementara kebutuhan kita tahun ajaran yang akan datang ini semakin bertambah, karena Zainab kan masuk SMP, sedangkan Husin masuk SD”, ucapku lirih sambil meneteskan air mata.

Zainab adalah anak sulungku, sedang Hasan dan Husin anak-anakku berikutnya. Kulihat suamiku diam, kemudian dia berkata lembut, “Allah maha kaya, Imah. InsyaAllah akan ada jalannya”. Walau hatiku sedikit terobati, terus terang aku masih takut dan galau. Betapa tidak, bang Hasyim suamiku hanya seorang guru sekolah swasta yang penghasilannya relatif kecil, sementara biaya sekolah anak-anakku serta kebutuhan untuk bulan Ramadan dan hari raya rasanya jauh lebih besar dari hari biasanya. Tapi seperti ucapan dan harapan suamiku, aku harus yakin dan percaya.

Hari berganti hari, bulan Ramadan berjalan sudah hampir 2 pekan. Hampir tidak ada yang berbeda dengan Ramadan sebelumnya, kecuali menu makanan Ramadan kini minim kue kue ataupun takjil lainnya. Dua anak terbesarku sepertinya paham kalau orang tuanya harus berekstra hemat tahun ini, apalagi setelah keduanya pun tahu kalau ibunya tidak lagi punya penghasilan. Setiap tahun aku biasanya sedikit membantu suamiku untuk biaya membeli beberapa helai pakaian baru bagi anak-anakku. Namun kini,ku lihat simpanan uangku bahkan tidak cukup untuk membeli satu helai baju anak remaja. Ahhh.

Aku berpikir untuk kembali mencari lowongan pekerjaan. Namun usahaku masih belum berhasil karena sungguh tidak mudah mendapatkan kerja mengajar pada situasi tahun ajaran baru telah lama berlalu. Apa aku harus ambil kerja serabutan ya? Aku membatin. Kudapati suamiku seminggu ini pulang larut malam dengan wajah lelah. Akhirnya ku coba bertanya, dan ternyata dia bekerja sebagai pengemudi ojek online selepas mengajar. Duh, hatiku benar-benar pilu.

Suatu malam ada kejadian yang menyayat hatiku. Ketika anak-anakku memelukku selepas Salat Isya, sambil berujar, “Bunda, kami gak usah dibelikan baju baru untuk hari raya, baju yang lama masih ada”, ujar dua anak tertuaku. Bahkan anakku yang paling kecil pun ikutan berceloteh, “Bunda, Husin juga gak kan jajan banyak banyak hari raya nanti Bunda!”.  Bahagia bercampur sedih kuraih tangan mereka, “Doakan Bunda ya, bisa punya uang untuk beli baju Hasan, Zainab, dan Husin. Allah gak akan melupakan anak-anak sholeh dan sholehah seperti anak- anak  bunda”, ujarku.

Hari berganti hari, seminggu lagi Idulfitri akan menjelang. Semua masih sama, tidak ada baju baru, tidak ada kue-kue untuk hari raya nanti, yang ada hanya harapan besar pada Allah yang akan menitipkan sedikit rezeki untuk keluarga kami…

“Kriiiiiing”, dering telepon selularku berdering panjang. Kuangkat teleponku. Nun jauh di sana seorang wanita muda berbicara, dia menanyakan namaku, “Benar ini bu Fatimah?”. “Ya”, jawabku. “Selamat ibu, ibu telah memenangkan lomba karya tulis pendidikan dari institusi kami”. Ups, hatiku berdegup kencang. Yah, 3 bulan lalu aku telah mengirimkan karya tulisku ke sebuah institusi pendidikan di kotaku. Alhamdulillah aku pemenangnya, pemenang I. “Bu Fatimah, dua hari lagi akan diadakan penyerahan hadiah di institusi kami, bertepatan dengan acara buka bersama dan family gathering bu, ibu diharapkan datang”. “Iya, iya, saya akan datang”, jawabku dengan perasaan haru biru.

Tidak sabar kuberitahu semua anggota keluarga. Binar-binar kebahagiaan terpancar di mata semuanya, suamiku, dan semua anak-anakku. Momen-momen penyerahan hadiah berlangsung khidmat dan membahagiakan. Selepas penyerahan hadiah, hatiku lepas melayang. Kusadari ini bentuk pertolongan Allah padaku dan keluarga di penghujung Ramadan kareem ini. Dalam ketiadaan uang, Allah kirim hadiah berupa uang 10 juta hasil karya tulisku.  Keluargaku kini bisa lega. Terbayang aku dapat membeli baju baru untuk anak-anakku buat keperluan Idulfitri, juga untuk membiayai sekolah anak-anakku. Tak lepas ku ucap hamdalah. Pertolongan Allah itu memang sangat dekat.

Bagikan
Exit mobile version