Site icon Inspirasi Muslimah

Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim

KEBEBASAN DAN POLITIK PERUBAHAN IKLIM

Berita banjir yang terjadi di Korea Selatan sempat menjadi berita utama yang di portal media online dan cetak. Hujan lebat yang melanda ibu kota Korea Selatan, Seoul sejak Senin (8/8) menyebabkan banjir yang merendam kendaraan dan sejumlah bangunan. Air membanjiri rumah-rumah, jalanan hingga stasiun kereta bawah tanah. Per hari Rabu (10/8) total ada 9 orang korban tewas yang masih dicari oleh tim penyelamat. Meski banjir telah surut, hujan deras diperkirakan akan berlanjut hingga Kamis (11/8).

Banjir di Seoul mengingatkan kembali pada kasus banjir yang terjadi awal tahun 2021 di Kalimantan Selatan. Portal berita daerah dan nasional baik online maupun cetak memuat tema yang serupa yaitu mengenai Banjir Kalimantan Selatan. Dilansir dalam laman berita online tirto.id Banjir melanda sejak Sabtu (9/1/2021). Mengutip kalimat Presiden Jokowi terjadi karena tingginya curah hujan selama 10 hari berturut-turut; yang mengakibatkan Sungai Barito meluap hingga air membanjiri 10 kabupaten dan 2 kota di Kalimantan Selatan. Dan menitipkan pesan kepada kepala daerah agar intervensi rehabilitasi lahan seperti reboisasi, penanaman kembali di lahan Daerah Aliran Sungai (DAS) perlu di lakukan.

Serupa, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan telah terjadi cuaca ekstrem berupa hujan lebat disertai kilat dan angin kencang. Hal ini dipicu oleh kondisi dinamika atmosfer di wilayah Kalimantan Selatan yang labil. Pertama, pergerakan suplai uap air dari Pasifik Timur ke Pasifik Barat (La Nina). Kedua, suhu muka laut yang hangat dari normalnya mengakibatkan aktivitas potensi pembentukan awan hujan di wilayah Kalimantan Selatan lebih signifikan. Ketiga, pusaran angin tertutup di sekitar Kalimantan mengakibatkan terbentuknya daerah pertemuan angin (konvergensi) di wilayah Laut Jawa hingga Kalimantan bagian Selatan dan Timur.

Hutan Kalimantan

Namun, lain halnya yang Greenpeace Indonesia sampaikan. Banjir bandang yang terjadi di Kalimantan Selatan disebabkan Daerah Aliran Sungai (DAS) telah kehilangan sekitar 304.225 hektar tutupan hutan sepanjang tahun 2001-2019. Sebagian sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pentingnya DAS adalah sebagai wilayah yang menampung air hujan. Namun karena tutupan hutannya berkurang drastis, kemampuan menampung air pun menjadi berkurang.

Senada dengan hal tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalsel curah hujan yang tinggi tidak akan menyebabkan banjir jika luas hutan primer dan sekunder tidak terkikis. Dari total 3,7 hektar luas lahan di Kalimantan Selatan, sekitar 1,2 juta hektar dikuasai pertambangan dan 620 hektar oleh kelapa sawit. Sementara total jumlah luas hutan sekunder yaitu 581.188 hektar dan total luas hutan primer hanya 89.169 hektar. Sisa lahan hutan hanya 29 persen. Oleh sebab itu, WALHI Kalsel mendesak pemerintah untuk mengevaluasi seluruh izin-izin alih fungsi lahan yang dikeluarkan. Karena izin tersebut dapat menyebabkan degradasi hutan.

Selain sebagai penampung air, deforestasi mendorong terjadinya krisis iklim yang berpengaruh besar pada curah hujan yang ekstrem di musim penghujan. Dan rawannya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di musim kering.

Kebebasan dan Politik Perubahan Iklim

Kasus perubahan iklim bukan hanya melulu membahas mengenai hutan yang telah alih fungsi menjadi lahan keruk batubara atau perkebunan sawit; namun lebih daripada itu mengenai kepentingan politik yang dibalut dengan asas pemberdayaan potensi sumber daya alam untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.

Kepentingan politik ini seperti menjadi bagian dalam pemikiran etika lingkungan. Etika lingkungan merupakan bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan. Dalam etika ini mahluk non-manusia mendapatkan perhatian. Salah satunya dalam konsep antroposentrisme. Antroposentrisme dalam teori etika lingkungan sebagai sebuah paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mendasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam semesta. Dan manusia memiliki hak untuk memanfaatkan dan menggunakan alam demi kepentingan dan kebutuhan hidupnya.

Dalam buku Berfilsafat Tanpa Konteks. Franz Magnis Suseno mengaitakan pemikiran antroposentris ini dengan ‘ekonomi kapitalis’ yaitu yang berorientasi pada laba dan yang terjadi hanyalah ekspolitasi terhadap sumber kekayaan alam dengan cara menggali, membongkar, tanpa memikirkan akibat bagi alam ataupun meminimalkan resiko pencemaran sebab hal itu akan meningkatkan biaya produksi.

Ini erat sekali hubungannya. Faktor kebebasan dan politik sebagai ‘asas utama’ untuk mengekploitasi hutan pun semakin terlegitimasi dengan adanya konsep antroposentris.

Sedangkan berbeda dengan antroposentrisme, ekosentrisme mengambil posisi sebaliknya. Ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis dan abiotis) memiliki nilai karena keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem. Ekosentrisme dalam teori etika lingkungan merupakan kelanjutan dari biosentrisme, yang meletakkan komunitas biotis sebagai subjek yang memiliki nilai. Maka ekosentrisme bertindak lebih jauh dengan menempatkan seluruh komunitas ekologis sebagai subjek yang memiliki nilai.

Pada 16 Maret diperingati sebagai Hari Bakti Rimbawan; yaitu hari di mana tanggal berdirinya Departemen Kehutanan dan diperingati oleh rimbawan atau forester. Rimbawan sendiri berarti seorang yang memiliki profesi pengelolaan hutan atau orang yang memainkan peran dalam kegiatan pengelolaan hutan kearah kelestarian. Bahkan bukan hanya yang berprofesi mengelola hutan saja, tapi menyangkut kepada siapapun yang memiliki sikap mental, pemikiran, perhatian dan dedikasinya untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan kelestarian alam.

Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa kini ilmu pengetahuan telah dikonstruksi ke arah yang ramah lingkungan dan merupakan koreksi terhadap dasar teori yang merusak alam. Paradigma hijau ini yang memperkuat arus pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Dan negara diarahkan kepada paradigma hijau tersebut melalui penerapan green economy, bahkan dalam pembangunan Ibukota Negara (IKN) dengan konsep smart green city.

Kepentingan politik untuk menguasai alam atau kepentingan politik untuk melestarikan alam. Sebenarnya menjadi pertanyaan untuk kita masing-masing. Kita bebas untuk memilih antar keduanya. Walaupun menjadi sebuah perdebatan besar dalam regulasi yang diberikan seluruh izin alih fungsi lahan yang dikeluarkan apakah sudah seiring dengan konsep green economy dan green city yang sama sama memiliki legalitas di mata hukum.

Menurut Rahmania, kalau jadi manusia antroposentris apa yang kamu lakukan? Apakah kamu sepakat dengan hal itu? Atau bahkan kamu menjadi tim ekosentrisme demi asas kemaslahatan seluruh makhluk hidup?

Bagikan
Exit mobile version