f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
kartini

Kartini: Dari Feminisme, Kemanusiaan, Kebudayaan, Hingga Pendidikan

1949, Simone de Beauvoir, filsuf asal Prancis melahirkan feminis eksistensialis dengan diktum “Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi seorang perempuan.” Jauh dari  waktu itu, 50  tahun sebelumnya, tepatnya tahun 1899, seorang gadis Jawa yang secara tradisi telah didefinisikan menjadi Raden Ayu, membangun fondasi filsafat eksistensialis di bumi Nusantara. Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar ia bermaklumat: “Panggil aku Kartini saja, itulah namaku.”

Pernyataan tersebut membentuk biografinya sebagai tokoh emansipasi atau yang disebut  S.K Trimurti sebagai perempuan yang pemikirannya melampaui zaman. Kartini mendefinisikan diri dengan mempertanyakan eksistensinya sebagai perempuan, bangsawan, dan umat Islam. Ia menata ulang  definisi-definisi tersebut dalam rentang hidup yang cukup singkat, hanya 25 tahun.

Dalam waktu seperempat abad, pikirannya telah menjangkau ruang feminisme, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Semangatnya untuk memerdekakan diri dan memajukan masyarakat Jawa terekam dalam surat-suratnya yang kini dikenal sebagai buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Dalam suratnya, tanggal 23 Agustus kepada Stella Zeehandelaar, ia mengungkapkan semangat yang menggelora layaknya api abadi yang tak pernah padam:

“Aku hendak, aku mesti menurut kebebasanku. Aku hendak, Stella, aku hendak terdengarlah olehmu? Manakan aku akan menang, bila tiada aku berjuang? Manakan aku akan mendapat, bila tiada ku cari? Tiada berjuang tiada menang; aku akan berjuang, Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku.”

Surat-surat lain tak habis-habisnya berisi catatan  pemikiran Kartini menyoal ketidakadilan di bumi Nusantara. Kartini hidup dalam balutan budaya patriarki, feodalisme dan kolonialisme yang menggeliat di Nusantara akhir abad ke-19. Semua itu membenturkan Kartini untuk berpikir soal kemanusiaan, kebudayaan, dan pendidikan.  Kita boleh menduga, pikiran menyoal emansipasi hanyalah satu dari banyak  percikan pemikiran lainnya.

Baca Juga  Perempuan, Si Kartini Musiman

Kartini digelisahkan oleh praktik diskriminasi. Peristiwa ini pernah ia alami dalam sekolah, keluarga, maupun masyarakat. Salah satu peristiwa itu menyangkut perbedaan etnis. Ia pernah dilarang oleh keluarganya untuk berhubungan dengan orang-orang Cina, yang dianggap buruk oleh masyarakat pada waktu itu.

Dalam Surat-Surat Kepada Nyonya Abendanon Mandri dan Suaminya (1989), Kartini menuliskan pendapat dalam surat yang bertanggal 14  Desember 1902,  kepada nyonya Abendanon: “Kami senang sekali bersahabat dengan berbagai bangsa. Hanya dengan Cina, kami tidak boleh berhubungan,  itu  kehendak  ayah  dan  saya  sedih sekali, sebab juga bangsa itu ingin saya kenal dari pandangan yang murni. Apa yang kami ketahui dari orang-orang  yang  kasihan  sekali  dihina  itu kebanyakan buruk. Kami tidak dapat dan tidak mau menerima bahwa tidak ada sesuatu yang bagus, luhur, dan mulia ditemukan di antara bangsa itu. Tiba-tiba saya teringat akan Cina, yang membantu pemerintah dengan satu ton untuk mengurangi bahaya di kalangan rakyat ketika negeri kami diserang oleh banyak kekurangan  air.  Tidak,  kami  tidak  setuju  dengan penghinaan umum terhadap kaum Cina. Ada  sungguh-sungguh hati mulia dan jiwa luhur di antara mereka.”

Kartini menolak arus umum untuk melakukan diskriminasi. Sikap ini tidak hanya ia tunjukkan pada perbedaan etnis tetapi juga jenis kelamin, warna kulit, keturunan, dan agama. Ia meyakini bahwa semua manusia sama adanya.

Selain menyoal diskriminasi, Kartini juga berpikir soal kesejahteraan masyarakat. Dalam buku Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini (2013) susunan Th. Sumartana, kondisi masyarakat saat itu digambarkan sangat memprihatinkan. Masyarakat berada dalam kegelapan dan kebodohan. Keadaan itu mempengaruhi kesejahteraan hidup rakyat karena mereka tidak tahu cara mengatasi masalah pangan, kesehatan, mengatur ekonomi maupun mendidik anak.

Baca Juga  Zakiah Daradjat: Ulama Perempuan, Konseptor Pendidikan Moral

Melihat realitas tersebut, ia tergerak untuk berpikir soal ekonomi masyarakat. Dalam majalah Tempo, 22-28 April 2013, yang berjudul Gelap-Terang Hidup Kartini, dikisahkan bahwa selepas masa pingitan, ia membantu para pengukir Jepara. Kartini berusaha menghubungi perkumpulan Oost en West untuk menghidupkan kerajinan tangan Hindia Belanda.

Seri buku Tempo: Perempuan-Perempuan Perkasa, yang berjudul Gelap-Terang Hidup Kartini (2019) juga menceritakan bahwa setelah membuka jaringan dengan Oost en West, Kartini memanggil para pengukir untuk membuat aneka furniture dari tempat rokok, tempat jahitan, hingga meja kecil dengan berbagai bentuk. Ia menciptakan motif macan kurung, motif pahatan kayu, dan beberapa motif lain untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Usaha ini ternyata diminati oleh banyak pembeli di dalam maupun luar Jawa. Melalui usahanya, perlahan keadaan ekonomi masyarakat menjadi lebih baik.

Kartini juga berpikir soal kebudayaan. Ia aktif menulis bukan hanya berupa surat-surat tetapi artikel di jurnal ilmiah. Tulisan Kartini yang berjudul Het huwelijk bij de Kodja’s dipublikasikan dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (1898). Ia menggambarkan tradisi brinei mempelai perempuan di malam sebelum pernikahan dan mendeskripsikan prosesi pernikahan di Koja dengan amat detail.

Selain itu, dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (2015) yang disusun Pramoedya Ananta Toer,  disebutkan  Kartini menulis tentang perkawinan di kalangan pembesar pribumi dan dipublikasikan dengan nama anonim. Ia aktif menulis di majalah De Echo, majalah perempuan Hindia yang berbasis di Yogyakarta dengan menggunakan nama samaran Tiga Saudara.

Kartini cukup serius berpikir soal pendidikan. Meski sejarah mencatat  kegagalannya mengenyam pendidikan di Belanda, ia tetap melakukan usaha-usaha yang berkontribusi memajukan pendidikan Bumiputera. Ia membuka sekolah gadis di Jepara bersama kedua adiknya. Setelah   menikah   dengan Adipati   Djojodiningrat, 12   November   1903,   ia kembali membuka  sekolah  gadis  di  Rembang.

Baca Juga  Melihat Semar dalam Diri Gus Dur

Dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, terjemahan Armijn Pane,Kartini mengabarkan hal tersebut dalam surat tertanggal 4 Juli 1903,  kepada Nyonya Abendanon: “Aduhai, ibuku jiwaku, cobalah pikirkan sekolah kecil kami sudah tujuh orang muridnya dan masih ada juga permintaan   yang   datang.   Senangnya, untungnya. Kami dahulu sekali-kali tiada menyangka akan begitu jadinya. Anak-anak itu amat senang hatinya dan orang tuanya  bergirang  hati.  Anak-anak  itu  datang  empat kali   seminggu   mulai   pukul   08.30-12.30.  Mereka belajar menulis, membaca, menjahit, merenda, memasak, dan sebagainya. Mereka itu tiada kami ajari menurut cara yang biasa di sekolah, melainkan sebagaimana kesukaan anak-anak Jawa belajar sepanjang pikiran kami.”

Kartini mencoba mendirikan sekolah untuk gadis Jawa, pertama di Hindia Belanda. Dalam proses pembelajaran, ia menerapkan pendidikan kontekstual atau contextual teaching learning (CTL). Pendidikan dengan spirit pembebasan, yaitu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata. Pendidikan ini memungkinkan peserta didik dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-sehari. Pada akhirnya, pilihan mengingat dan menghormati Kartini bisa dilakukan dengan beragam perspektif. Ingatan akan Kartini tidak hanya menarik kita pada soal wacana kesetaraan gender, tetapi justru memberikan suguhan wacana multiperspektif mengenai kemanusiaan,  kebudayaan dan pendidikan.

Bagikan
Post a Comment