Site icon Inspirasi Muslimah

Janda dan Keberanian Melawan Stigmanya

Janda stigma

Seorang perempuan yang juga seorang istri sekaligus seorang ibu harus bekerja keras menjadi tulang punggung demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Selain itu ia juga harus mengerjakan pekerjaan domestik yang tiada habisnya itu yang konon adalah kewajiban seorang istri.

Sedangkan laki-laki yang menjadi suaminya hanya ongkang-ongkang kaki tanpa peduli dengan kerepotan dan kelelahan yang dirasakan oleh istrinya. Jika membutuhkan uang untuk keperluan pribadinya maupun pemenuhan hobi tinggal minta ke istri. Jika tidak diberi dia akan marah dan kemarahannya dia lampiaskan dengan memukul istri maupun anak-anaknya. Dan sang istri tetap bertahan demi status di masyarakat, stigma masyarakat terhadap status janda apalagi janda cerai sangatlah menakutkan.

Seorang perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga tanpa karir; hanya mengerjakan pekerjaan domestik dari mengurus anak, suami, rumah dan tetekbengeknya harus menerima begitu saja ketika tahu ternyata suaminya berkhinat. Wanita tersebut tidak berani untuk bersikap karena khawatir jika ternyata suaminya lebih memilih wanita lain dibandingkan dengan dirinya. Siapa yang akan menghidupinya dan anak-anaknya jika hal itu sampai terjadi adalah momok yang lebih menakutkan dari sekedar menahan kesedihan karena dikhianati. Yang penting suaminya masih memberikan uang untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan masih membiayai sekolah anak-anak.

Seorang perempuan mati-matian mempertahankan keutuhan rumah tangganya padahal suaminya kerap melakukan tindak kekerasan. Dari yang ringan hingga mengakibatkan cidera. Perempuan tersebut tidak bisa untuk tidak memaafkan dan menerima suaminya kembali meskipun perbuatan suaminya itu pasti akan berulang kembali. Cinta menjadi alasannya. Ya, perempuan tersebut masih mencintai lelaki yang kerap memukulinya ketika ada satu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya.

***

Ilustrasi-ilustrasi di atas sekilas nampak seperti cerita yang sering muncul di FTV. Namun diakui atau tidak kisah-kisah tersebut memang ada dan masih saja terjadi di sekitar kita. Iya, terjadi saat ini di sekitar kita dan bahkan oleh perempuan yang justru memiliki akses sosial dan pendidikan yang mumpuni. Jika kisah di atas terjadi pada perempuan dengan akses sosial tidak terbatas dan pendidikan tinggi tentu akan meninggalkan tanya apa yang melatarbelakanginya.  

Dulu, Kartini berjuang demi agar perempuan mendapatkan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki, agar perempuan mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Setelah akses pendidikan diperoleh tentu saja diharapkan perempuan bisa ikut berperan aktif dalam masyarakat maupun dalam pengambilan keputusan di lingkup keluarga.

Saat ini, meskipun belum tuntas namun sudah bisa dikatakan bahwa akses pendidikan untuk perempuan sudah mumpuni, sudah baik dan jauh berbeda dengan keadaan ketika kartini memperjuangkannya. Lalu, apakah perjuangan perempuan berhenti lantaran hal ini? Tentu saja perjuangan tidak akan berhenti. Setelah tuntas satu permasalahan akan muncul permasalahan lain yang harus diperjuangkan.

 Justru perjuangan perempuan saat ini saya rasa lebih komplek sesuai dengan kasus yang dihadapi masing-masing perempuan.

***

Dalam kasus-kasus seperti di atas menurut saya tidak perlulah ikatan pernikahan dipertahankan sedemikian rupa karena sudah tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang luhur. Perempuan harus berani mengambil sikap demi dirinya sendiri, demi masa depannya dan demi masa depan anak-anaknya. Berikut beberapa hal yang harus ada untuk memupuk keberanian wanita dalam mengambil langkah atau sikap tegas terhadap suatu ikatan.

Pertama, seorang perempuan yang kebetulan tidak berkarir dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga otomatis tidak menghasilkan uang. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari hanya mengandalkan uang yang diberikan oleh suami. Perempuan harus yakin dan percaya bahwa yang memberikan rizki dan mencukupi semua kebutuhan keluarganya adalah Tuhan; suami hanyalah perantara datangnya rizki yang diperolehnya. Dan jika satu pintu tertutup maka Tuhan yang maha pengasih tidak mungkin kebingungan mencari pintu lain untuk memberikan rejeki bagi hambanya selama hambanya tersebut mau berusaha.

Kedua tentu saja support sistem. Support sistem paling berpengaruh adalah lingkungan terdekat yaitu keluarga setelah itu menyusul lingkungan tempat tinggal. Dukungan keluarga menjadi sangat penting karena di sanalah tempat kembali seorang perempuan setelah sebelumnya diperistri oleh seorang laki-laki. Dukungan dari keluarga bisa berupa penerimaan kembali dengan baik, tidak mencemooh atas pilihannya, hingga membantu untuk memulai kembali dunianya.

Dan juga dukungan dari keluarga adalah kunci seorang perempuan mampu bangkit kembali setelah keterpurukannya dan keluarga jugalah yang mampu mempertahankan kepercayaan diri terutama dari pandangan masyarakat.

Sedangkan lingkungan sekitar meskipun bukan support sistem utama namun memiliki peranan yang signifikan. Dalam hal ini ada kaitannya dengan stigma masyarakat mengenai status janda yang disandang seorang perempuan yang memutuskan untuk mengakhiri sebuah ikatan pernikahan.

Ketiga, seorang perempuan harus berani melawan stigma negatif dari masyarakat yang memiliki anggapan bahwa status janda kerap berkonotasi negatif. Perempuan harus berani dan mampu melawan stigma tersebut dengan bekerja keras, berkarya, mandiri dan tentu saja memiliki sikap dan karakter yang kuat.

***

Sebenarnya tidak sedikit perempuan yang memutuskan menjadi single parent; namun tetap mampu memberikan pendidikan dan fasilitas yang terbaik untuk anak-anaknya hingga meraih kesuksesan. Jangan lupa, Khadijah istri Rosululloh yang pertama adalah seorang janda  dan pengusaha yang sukses dan cukup disegani di lingkungannya.

Yang harus ditegaskan adalah bahwa perempuan yang memutuskan untuk mengakhiri rumah tangganya harus berani melawan stigma yang sudah kadung terbentuk di masyarakat. Agar stigma ini tergerus dan muncul kesadaran bahwa stigma negatif terhadap status seseorang itu keliru. Yang mempengaruhi ketidakbaikan seseorang itu bukan karena statusnya tapi karena personal orangnya.

Ikatan pernikahan adalah ikatan suci yang sangat kuat, sampai dalam alquran di sebut sebagai mitsaqan ghalizha (QS An-nisa: 21) dan memiliki tujuan mulia; di antaranya adalah untuk menciptakan ketentraman, keamanan, mendapatkan keturunan yang baik-baik dan sebagainya. Namun ketika dalam pernikahan terjadi kasus yang menyakiti salah satu pihak dan melenceng jauh dari tujuan awal pernikahan yang mulia; maka meskipun perceraian adalah yang dibenci oleh Allah SWT bukan berarti kita tidak bisa memilihnya sebagai solusi terakhir demi kebaikan. Nyatanya meskipun dibenci namun tidak diharamkan bukan?

Bagikan
Exit mobile version