Site icon Inspirasi Muslimah

Gelar Haji dan Hajah Melahirkan Perbuatan Riya’ dan Takabur?

haji dan hajah

Sindi Berliana Rahmawati

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima, yang mana wajib menunaikanya apabila mampu secara lahir dan batin. Negara Indonesia dengan mayoritas masyarakatnya yang muslim tentu saja sudah tidak asing dengan ibadah haji. Tak heran, Indonesia menjadi negara dengan kouta haji terbanyak di dunia. Berdasarkan laporan Saudi Expatriates tahun 2022, jumlah kouta haji internasional yang diberikan ke Indonesia adalah sebanyak 100.051 jemaah.

Tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang sudah melaksanakan ibadah haji. Uniknya, di Indonesia setelah melaksanakan ibadah haji, maka secara otomatis namanya mendapatkan gelar haji untuk laki-laki dan hajah untuk perempuan. Gelar ini biasanya diberikan sebagai penghargaan kepada seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji, karena kita tahu bahwa ibadah haji tidak dapat ditunaikan oleh setiap muslim.

Gelar haji dan hajah kerap kali menjadi bumerang bagi pelaksana ibadah haji. Pasalnya dengan gelar tersebut beberapa orang menjadi berbangga diri dan merasa dirinya lebih baik dari pada yang lainya, karena telah melaksanakan ibadah haji. Kemudian akankah gelar haji dan hajah tidak seharusnya digunakan karena dapat melahirkan sikap riya’ dan takabur? Dan apakah gelar haji dan hajah yang diberikan kepada seseorang yang sudah berhaji memberikan dampak yang negatif saja tanpa ada nilai positifnya?

Riya’ dan Takabur

Allah Swt. dengan tegas berfirman dalam QS. Al-A’raf ayat 146 yang artinya : “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku”.  

Dari firman Allah tersebut, dapat kita ketahui bahwasannya sikap riya’ dan takabur merupakan penyakit hati yang dibenci Allah, karena sejatinya kita sebagai hamba tidak sepantasnya membangga-banggakan apa yang kita miliki yang tidak sebanding dengan kekuasaan Allah Swt.

Menurut Al-Ghazali, kesombongan adalah suatu sifat di dalam jiwa yang tumbuh dari penglihatan nafsu. Sifat ini bermula dari virus hati dengan anggapan dirinya paling mulia dan baik. Sedangkan dalam pandangannya orang lain hina dan tercela. Gelar haji atau hajah sendiri dapat menimbulkan kepuasan diri dan menjadi keterbiasaan dalam diri untuk selalu lebih dimuliakan dari manusia lainnya. Ketika suatu saat seseorang yang sudah berhaji dipanggil tanpa gelarnya, jika menuruti nafsunya tanpa sadar ia akan marah karena merasa tidak dihormati lagi.

Apabila sikap riya’ dan takabur tetap terpelihara di dalam hati, dan terus menggerus nilai suatu ibadah; maka kerugianlah yang akan diperoleh. Karena hal tersebut dapat menggugurkan pahala dan merusak niat suatu ibadah beserta nilai keikhlasannya. Hal serupa pernah dikemukakan oleh Syekh Abdul Badi Ghazi, tokoh pemikir muslim berkebangsaan Mesir, bahwa penggunaan gelar haji seringkali merusak kesucian ibadah; akibatnya ibadah haji menjadi kulit tanpa isi.

Sebagai Pengingat

Gelar haji dan hajah di Indonesia sendiri sudah menjadi sebuah ciri khas. Terlepas dari dampaknya yang perlu diwaspadai, gelar tersebut menjadi pengingat untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Contoh sederhananya, di desa tidak mungkin seorang ibu hajah tidak menggunakan kerudung. Walaupun kita tidak tahu maksud dan tujuannya mengenakan kerudung itu dipergunakan untuk memenuhi ekspektasi tetangganya ataupun memang karena kesadaran diri untuk menutup aurat. Tetapi tetap saja ia telah menjalankan kewajibannya menutup aurat.

Kemudian gelar haji dan hajah menjadi sebuah alarm yang mengingatkan kita ketika hendak berbuat maksiat. Janganlah! Masa pak haji mencuri sih. Jangan sampai bicara kasar di depan orang, malulah wong pak haji kok. Saya sudah haji, saya harus menjadi lebih baik lagi. Demikian hal-hal tersebut yang selalu menghantui diri, dengan tanggung jawab haji yang suci sehingga kita dapat terhindar dari perbuatan maksiat.

Menjadi sebuah kepastian bahwa orang yang sudah haji dan memiliki gelar haji dan hajah menginginkan hajinya mabrur. Dorongan ini yang selalu menjadi pengingat dan semangat untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi supaya ibdah haji yang telah dilaksanakan menjadi mabrur. “Jagalah gelar haji dalam artian yang luas, bila ingin menjadi haji yang mabrur dan mabrurah,” kata KH Labib Sodik Suhemi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikmah I Brebes.

Kembali pada Niat

Inamal a’malu binniyat”, sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Hakikatnya segala sesuatu yang kita kerjakan baik ibadah, perbuatan, dan pekerjaan harus disertai dengan niat yang baik. Dengan niat yang baik, kemudian dikerjakan dengan cara yang baik pula maka insyaallahakan mendatangkan kebaikan pula. Niat adalah perkara hati yang penting yang mana dapat mengangkat derajat seorang hamba.

Suatu pekerjaan saja harus disertai dengan niat yang baik, apalagi ibadah yang kaitanya dengan Allah Yang Maha Kuasa; maka sudah semestinya niat lebih diutamakan dan menjadi kunci kesuksesan sebuah ibadah. Yahya bin Katsir berkata, “Pelajarilah niat, karena niat itu lebih sampai daripada amal.” Maksudnya, sahnya suatu amal dan sempurnanya suatu amal hanyalah tergantung pada benarnya niat.

Tak terkecuali pada ibadah haji, dalam ibadah ini niat juga menjadi kunci kesuksesannya. Selanjutnya sepulang dari ibadah haji niat berbuat baik harus tetap dilaksankan. Dengan ada dan tidakya gelar haji dan hajah tidak turut mengurangi rasa syukur karena berhasil menunaikan ibadah haji. Namun saya berpendapat bahwa gelar haji dan hajah yang menjadi ciri khas ibadah haji di Indonesia perlu dipertahan. Karena hal tersebut menjadi bukti keanekaragaman budaya Indonesia.  

Perlu pemahaman yang lebih luas, bahwa gelar haji dan hajah bukan suatu kebanggaan yang bisa dibanggakan tetapi suatu tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan. Kembali kepada niat baik dengan menjadikan gelar tersebut sebagai pengingat untuk senantiasa berbuat kebaikan. Gelar haji dan hajah tidak akan melahirkan riya’ dan takabut apabila tidak memandang diri sendiri lebih mulia karena berhasil menunaikan ibadah haji, tetapi harus sadar bahwasanya semua hamba sama derajatnya dimata Allah Swt.

Bagikan
Exit mobile version