Site icon Inspirasi Muslimah

Figur Ideal dalam Membangun Peradaban Rumah Tangga (1)

rumah tangga

Keluarga adalah pondasi awal dari sebuah bangunan masyarakat, ia adalah core dalam membentuk insting, watak, jiwa seseorang yang kemudian menjadi penyangga terpenting bagi peradaban dan kemajuan setiap bangsa. Suami istri merupakan pilar terpenting bagi pembentukan keluarga. Meneladani kehidupan rumah tangga Rasulullah Saw, dapat dijadikan suatu inspirasi dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

Hanya saja dalam realitasnya orang lupa menjadikan figur Rasulullah sebagai ikon ideal dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Sehingga banyak dari mereka terombang-ambing, kehilangan kendali oleh ombak perbedaan dan pertengkaran. Bahkan ada yang berakhir dengan kegagalan dan perceraian.

Al-Quran juga telah memerintahkan kepada umatnya untuk menciptakan keharmonisan dalam keluarga. Di dalamnya juga dijelaskan bahwa keluarga yang ideal dalam Islam ditentukan oleh kesadaran antara setiap anggota tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing dalam rumah tangga sebagai Allah dalam firmanNya QS. anNisa [4]: ayat 34-35.

Tafsir QS. An Nisa ayat 34-35

Tidak sedikit umat Islam yang kurang tepat dalam memahami interpretasi ayat konteks kepemimpinan (qawwamah) di atas. Sehingga menimbulkan kesalahpahaman bahwa pribadi laki-laki lebih mulia dan superior daripada perempuan. Padahal kelebihan yang dimaksud dalam ayat di atas tidak berarti bahwa pribadi laki-laki lebih mulia daripada pribadi perempuan.

Sebab dalam ayat tersebut Allah Swt. secara jelas eksplisit menyebutkan, بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ “Sebagian kalian dilebihkan atas sebagian yang lain”. Hal itu menegaskan, secara esensial pribadi laki-laki dan perempuan adalah sama belaka. Kelebihan dalam kapasitas dan kapabilitas antara satu dengan yang lain merupakan karuniaNya yang diberikan kepada masing-masing.

Peran, Hak, dan Kewajiban Seorang Suami dan Istri

Sungguh bijak Allah memilih kata Qawwamuuna ‘ala yang berarti posisi laki-laki dalam konteks ayat di atas adalah sebagai pengayom, penolong, dan penjaga di tengah keluarganya. Bukan malah maksudnya mensubordinasi perempuan. Fungsi ar-Rijal adalah sebagai penjaga bagi pasangan hidupnya yaitu an-Nisa’.

Sebagaimana dalam kitab Zuhrah at-Tafasir, Imam Abu Zahrah menafsirkan ayat ar-Rijalu qawwamuna ‘ala an-Nisa’ ialah bahwa laki-laki atau suami bertanggung jawab mengatur urusan wanita dengan menjaga, melindungi, mengayomi, dan mempertahankannya. Jadi sebagai suami, Allah mengamanahkan kepadanya tanggung jawab untuk urusan keluarga, mendidik, melindungi istri, dan menyediakan segala keperluan keluarga serta mengajari mereka tentang agama. Dengan kata lain seorang suami bukan hanya bertanggung jawab urusan dunia namun juga persoalan akhirat.

Al-Buthi menambahkan status Qowwamah yang merupakan amanah bagi laki-laki, jika tidak direalisasikan dengan baik dan benar maka akan nantinnya dimintai pertanggung jawaban baik di dunia dan kelak di akhirat.

Ibnu Arabi mengatakan dalam tafsirnya Ahkam al-Quran, laki-laki merupakan orang yang dipercaya mengurus urusan perempuan dan memperbaiki tingkah lakunya. Maka tidak benar jika ayat di atas dipahami bahwa laki-laki memiliki otoritas mutlak untuk mendiskriminasi, merendahkan dan memarginalisasi peran perempuan dalam keluarga. Kepemimpinan dimaksud hanyalah sebuah tanggung jawab untuk mengatur dan menjaga institusi keluarga.

Ar-rijal juga terderivasi dari kata rijlun (kaki), memiliki makna berfungsi tak ubahnya seperti kaki yang menopang seluruh anggota tubuh. Artinya laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keutuhan keluarga dengan memperkuat ekonomi keluarganya. Konsekuensi hukum bagi laki-laki selain kewajiban moral (adabiyah), yaitu kewajiban materi. Kewajiban materi yang pertama adalah memberikan mahar. Allah menegaskan:

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ ٤

Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. (QS. anNisa’ [4]:4)

Imam al-Qurthubi, menyebutkan beberapa interpretasi ulama terhadap kata mahar dalam ayat di atas. Ada yang mengartikan dengan anugerah dari Allah Swt. kepada perempuan, pemberian dengan penuh kerelaan, dan tuntutan yang wajib dilaksanakan. Semua interpretasi tersebut bermuara pada satu kesimpulan. Yakni untuk memberi penghormatan kepada perempuan tidak satu pun ulama yang mengartikan mahar sebagai harga beli tubuh perempuan.

Dan kewajiban suami yang lain yaitu memberi nafkah kepada istri, yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut situasi dan kondisi, seperti sandang, pangan, papan, dan lain-lain. Allah swt berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ ٧

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya” (QS. Al-Ṭalaq [65]:7)

Kemudian kewajiaban sebagai istri disampaikan pada ayat “Maka perempuan yang baik-baik ialah yang taat.” Penjelasan Buya Hamka, yaitu taat kepada Allah dan taat menuruti peraturan sebagai perempuan dan sebagai istri, bertanggung jawab dalam rumah tangga terhadap harta benda, suami, dan pendidikan anak-anak.

Lebih lanjut Buya Hamka menerangkan ayat, “Yang memelihara hal ihwal yang tersembunyi dengan cara yang dipeliharakan Allah.” Tiap-tiap persuami-istrian pasti ada rahasia kamar yang mesti ditutup terus, dan menutup rahasia rumah tangga yang demikian adalah sikap sopan santun seorang istri, seperti misalnya senda gurau dengan suami, jangan orang lain diberi tahu.  Oleh ulama-ulama diperluas lagi, bukan saja menyimpan rahasia hubungan suami istri di dalam bilik, bahkan juga kekayaan dan kesanggupan suami dalam memberikan nafkah, hendaklah dirahasiakan juga. Jangan dikeluhkan kepada orang lain jika terdapat kekurangan. Maka terhadap perempuan atau istri yang taat demikian itu berjalanlah pimpinan si laki-laki dengan lancar dan berbahagialah pergaulan mereka.

Bagikan
Exit mobile version