Site icon Inspirasi Muslimah

Fenomena Book Shaming, Kamu Termasuk Pelaku atau Korban?

book shaming

Ega-Maulida Najid

Pernah nggak merasa malu saat mengakui kalau kamu suka membaca buku-buku dengan genre tertentu? Atau kamu pernah malu saat memaca suatu buku di depan umum?  Di kepala itu muncul pertanyaan seperti, “Yang aku baca ini kurang berbobot ya?”, “Yang aku baca ini tidak bermutu ya?”, “Yang aku baca ini terlalu receh ya?” Atau malah sebaliknya, pernah tidak kamu menganggap bahwa bacaan orang lain nggak terlalu penting? Seperti, “Baca buku kok buku motivasi terus?”, “Sudah gede kok masih suka baca komik?” Kalau pernah merasakan di kondisi pertama, itu artinya kamu terkena book shaming. Kalau pernah merasakan di kondisi yang kedua itu artinya kamu pernah melakukan book shaming pada orang lain.

Book shaming? Ada ya istilah seperti itu, saya kira hanya ada istilah body shaming saja. Lalu apa sih maksud dari book shaming itu? Saya sendiri pertama kali mendengar istilah ini melalui bookstagram yang saya follow. Setelah cari tahu leih jauh, ternaya book shaming itu istilah untuk merujuk kepada sikap meremehkan seseorang yang membaca buku tertentu, yang mana dapat membuat orang tersebut merasa tidak enak dan tidak percaya diri dengan apa yang ia baca. Biasanya, seseorang yang melakukan book shaming adalah orang yang sering mendewakan satu genre buku tertentu, dan merendahkan genre buku lainnya. Mereka-mereka ini mungkin merasa bahwa bacaan mereka adalah bacaan yang paling oke, paling wah, paling berbobot, paling bermanfaat, dan paling-paling lainnya. Jadi pada dasarnya, book shaming dapat terjadi ketika seseroang memiliki selera buku yang berbeda.

Sedihnya, fenomena book shaming bisa memberi dampak yang buruk bagi seseorang. Misalnya book shaming dapat menyebabkan minat baca seseorang menurun atau bahkan lebih parah, yaitu mematikan minat baca itu sendiri. Padahal sebagaimana yang umum diketahui bahwasanya membaca adalah kegiatan yang baik bagi semua orang. Sebab membaca tentu dapat membantu kita untuk menambah perbendaharaan kata kita, membantu untuk memahami hal-hal baru, serta membantu menata cara berpikir kita.

Saya jadi teringat kutipan pidato Neil Gaiman yang telah diterjemahkan dan ditulis dalam buku dengan judul Mengapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun? Di sana Gaiman menyebutkan salah satu cara mudah untuk mematikan minat baca seseorang, lebih khususnya minat baca anak-anak, karena beliau merupakan penulis novel anak. Menurutnya salah satu cara tersebut adalah dengan memaksanya membaca buku-buku yang tidak mereka sukai. Menurut Gaiman, setiap anak memiliki selera baca yang berbeda. Jadi jangan menjauhkan anak-anak dari membaca dengan alasan kita merasa bahwa buku yang mereka baca itu salah. Sedikit kutipannya yang saya cantumkan di sini adalah sebagai berikut:

“Fiksi yang tidak kalian sukai mungkin justru menjadi pintu gerbang menuju buku lain yang kalian ingin mereka membacanya. Dan tidak semua orang memiliki selera yang sama dengan kalian.”

“Kita perlu anak-anak kita menaiki tangga membaca: apa pun yang mereka sukai akan membuat mereka menapaki, satu demi satu, anak tangga literasi.”

Masih dalam buku Mengapa Masa Depan Kita Bergantung Pada Perpustakaan, Membaca dan Melamun? saya menemukan fenomena yang saya simpulkan bahwa ini juga merupakan bagian dari book shaming. Jadi, book shaming ini tidak hanya terjadi akibat perbedaan selera genre buku, namun juga bisa melalui bagiamana cara kita membaca sebuah buku. Melalui buku cetak kah? Melalui e-book kah? Atau melalui audiobook? Yang mana e-book dan audiobook ini banyak dianggap tidak cukup layak menggantikan buku cetak.

Terdapat sejumlah bukti yang memperlihatkan bahwa membaca di layar cenderung menghasilkan pemahaman yang lebih rendah dan bahkan memengaruhi pola tidur. Temuan lain terkait hal tersebut adalah bahwa seseorang lebih lambat memahami hasil bacaannya saat membaca melalui layar daripada melalui kertas. Begitupula tentang audiobook, orang menganggap bahwa kegiatan membaca itu memerlukan teks di hadapannya.

Jadi mendengarkan buku tidak dianggap membaca, dan audiobook pada akhirnya diremehkan. Padahal masing-masing bentuk buku sebenarnya memiliki kelebihan. E-book misalnya, selain secara fisik ia lebih mudah dibawa, e-book juga membantu pembacanya untuk membaca dengan lebih mendalam, karena si pembaca tidak terdistraksi dengan kegiatan lain seperti membolak-balik kertas. Pembaca juga dapat melakukan kostumisasi pada bukunya yang mana tidak dapat dilakukan pada buku cetak yang formatnya sudah tidak dapat diutak-atik. Kostumisasi format baca tersebut dapat menjadikan masing-masing pembaca memiliki potensi untuk menciptakan lingkungan membacanya sendiri yang paling optimal. Adapun kelebihan audiobook adalah tentu saja kita dapat mendengarnya sembari melakukan kegiatan lain, seperti menyapu, menata almari, membereskan meja, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana kita menyikapi book shaming? Kembali lagi pada kenyataan bahwa setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda, maka tidak pantas rasanya kita  dengan seenaknya mengolok-olok dan merendahkan bacaan orang lain; apalagi mengatur bacaan mana yang seharusnya dibaca dan tidak,  sampai-sampai mereka merasa tidak nyaman dengan bacaannya.

Pun demikian ketika kita merasa mendapat book shaming, kenapa harus malu dengan bacaan yang kita sukai? Tidak perlu merasa minder ketika bacaaan kita berbeda dengan yang lain dan bahkan dianggap kurang menarik. Tidak perlu merasa bersalah ketika kita membaca melalu e-book, tapi sebenarnya kita bisa enjoy membaca melalui e-book tersebut. Ikuti selera membaca kita saja. Yuk, readers supporting readers! Lanjutkan membacamu guys!

Bagikan
Exit mobile version