f

Get in on this viral marvel and start spreading that buzz! Buzzy was made for all up and coming modern publishers & magazines!

Fb. In. Tw. Be.
memeluk diri

Belajar Memeluk Diri yang Berduri (2)

Semua Manusia Diharuskan Berjuang

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya adalah  pepatah yang akhirnya terus menekan Pandhu dan selalu merasa tidak berguna dalam keluarganya karena ternyata garis takdir miliknya tak dapat menyamai milik keluarganya. Pandhu gagal dalam ujian SBMPTN dan pengumuman itulah yang memicu gejala psikis kecemasan selanjutnya.

Gejala psikis yang dirasakan pada pasien menurut Nevid ialah kekhawatiran tentang sesuatu, keyakinan bahwa sesuatu yang buruk atau mengerikan akan segera terjadi, tanpa ada penjelasan yang jelas, terpaku pada sensasi tubuh, ketakutan akan kehilangan kontrol, berpikir bahwa dunia akan runtuh, berpikir bahwa semuanya sudah tidak bisa dikendalikan, berpikir bahwa semuanya sangat membingungkan tanpa bisa diatasi, khawatir terhadap hal sepele, berpikir tentang hal yang mengganggu yang sama secara berulang-ulang, pikiran terasa campur aduk, tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran negatif, berpikir akan segera mati.

Hampir semua gejala psikis Pandhu rasakan ketika pengumuman itu diresmikan. Kenyataan bahwa dirinya tak lolos seleksi perguruan tinggi. Ia harus menelan pil pahit. Berada di keluarga yang sepenuhnya mengharapkan dirinya lolos Perguruan Tinggi Negeri menjadi petaka baru. Ia frustasi.

Di balkon lantai dua tempat ia berdiri hari itu, semua ketakutan menggunung di pikirannya, mulai dari ekspetasi keluarganya, kekecewaan orang tuanya, hingga kesuraman mengenai masa depan. Ia tak bisa memberhentikan segala hingar bingar pikirannya. Semuanya berkecamuk. Kecemasannya yang tumpah akhirnya memicu hal yang paling dibenci Tuhan hampir terjadi. Percobaan bunuh diri.

Dari milyaran manusia di bumi, detik itu sebuah keajaiban semesta memilihnya. Ia membatalkan percobaan bunuh diri, lantaran indera penglihatannya secara ajaib menangkap maksud Tuhan. Potret kegiatan seorang petani yang sedang menggiring kerbau di sawah muncul tepat saat dirinya akan mencoba bunuh diri. Seketika ia terdasar.

“Ada kehidupan orang lain lebih berat daripada gua, gua yang berdiri di vila megah gini di umur muda, ada orang tua yang mungkin gapernah ngerasain hal gini, rasanya kayak ah masalah gua belum seberapa.”  Batin Pandhu setelah melihat itu.

Dan gangguan mental tidak pernah sesederhana itu, merembet pada kepercayaan dirinya yang menurun secara drastis atau insecure terhadap semua orang yang ada di sekitarnya, termasuk kekasihnya sendiri, merasa tidak pantas akhirnya ia memutuskan hubungannya. Begitu pula yang terjadi pada pertemanannya dan pekerjaannya. Ia mengalami banyak kerugian dan kehilangan segalanya karena perasaan cemas yang tumpah tersebut.

Baca Juga  Kuasai Rasa Sakitmu

Pandhu, tentu saja bukan satu-satunya penderita gangguan mental kecemasan. Banyak di luar sana yang cenderung mengarah pada cemas berlebih, mereka bukan hanya cemas tapi juga ahli menyembunyikan kenyataan batinnya. Hal yang disembunyikan si penderita kecemasan sangat banyak. Bentuknya bisa perasaan, keinginan, kesedihan, bahkan harapan. Sahabat saya bernama Yolanda punya pengalaman yang hampir sama dengan Pandhu.

Pada akhir kelas 8 SMP, dirinya mulai mencemaskan apa-apa yang ada pada dirinya. Saat itu dirinya baru 14 tahun dan harus memikul pikiran yang bukan kewajibannya, ia tinggal di bilangan masyhur di Bogor. Rumahnya terbentang luas lengkap dengan segala fasilitas seperti kolam renang, dan fasilitas mewah lainnya. Rumah yang megah itu dipimpin oleh lelaki senja yang merupakan kakeknya, bertubuh tegap dan gagah serta masa lalunya yang penuh dengan penghargaan membuat siapapun berebut menghormatinya. Hidup di keluarga sempurna dan formal justru menjadikannya tertekan karena harus menjaga perilaku di sepanjang masa remajanya.

Aku mau bebas, mau kayak orang lain yang bisa kemanamana dan ngga perlu mikirin masyarakat bakal cibir apa. Ucap Yolanda kala itu.

Hal yang paling ia hindari adalah ketika keluarganya memberikan tuntutan perilaku sempurna  dan evaluasi setiap ia melakukan kesalahan yang normal dilakukan orang lain. Hal yang paling membekas padanya adalah efek pandemi Covid-19 yang menghambatnya belajar sehingga saat melanjutkan materi baru di berbagai mata pelajaran secara tatap langsung ia begitu kewalahan. Dan itulah yang memicu kecemasan itu menghantui di tengah suasana berkumpul dengan teman-teman lain.

Kecemasannya terus betambah mengingat masyarakat sekitar yang selalu mengomentari setiap tingkah lakunya. Hingga kini hal yang ia bisa lakukan di ambang ketakutan adalah selfharming adalah istilah untuk menyakiti diri sendiri dengan cara menyayat sisi lengannya dengan pecahan kaca dan berharap perasan takut itu hilang bersama kulitnya yang terluka.

Satu-satunya yang lebih baik dari itu adalah menghindari keramaian dan menolak siapapun mendekatinya untuk mencari waktu menyendiri. Hingga kini Yolanda masih bergelut dengan kecemasannya juga pecahan kacanya sebagai senjata apabila “monster” itu kembali menyerangnya. 

Baca Juga  Hati-Hati! Fomo Bisa Berdampak pada Kesehatan Mental Kita Loh!

Hingga tulisan ini saya buat, Yolanda masih sering melukai dirinya. Luka itu berbekas. Mungkin akan bertambah. Ia harus melakukan itu, dorongan pada dirinya bisa terus mencelakakan dirinya.

Ia memilih tak banyak bercerita dengan temannya. Saya begitu senang, bisa menjadi teman curhatnya, saya menjadi pendengar baik dan memasang telinga untuk tumpahan masalah dan kegelisahannya. Setidaknya saya harus menemaninya dan menjadi sahabat baik.

 Hal ini membuktikan banyaknya penderita anxiety disorder yang tidak mau mencari bantuan, karena masyarakat beranggapan buruk terhadap penderita gangguan mental dan disebut “orang kurang iman.”

Meloloskan Diri dari Benang Kusut

Berbeda dengan Yolanda yang masih mencari solusi untuk berdamai dengan anxietynya, Pandhu sejak jauh hari telah melakukan kongsi dengan anxietynya, memeluknya erat dan membisikkan kalimat kalimat harapan agar dapat berlari bersama mengarungi masa yang akan datang.

Ternyata bukan bualan tentang memaksakan diri demi menghilangkan kekhawatiran yang berlebih, hal ini disebut dengan pemaksaan. Inilah yang dilakukan Pandhu saat “monster” cemas itu datang menyiksanya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang berkecamuk dalam kepala hanyalah pikiran negatifnya yang belum tentu menjadi nyata. Perlahan ia mulai mencoba mengatasi dan berdamai dengan masalah tersebut.

Ia mulai dengan menulis blog privasi untuk menjadi pengingatnya bahwa ia pernah berhasil melewati banyak hal, menyedihkan, membingungkan, menyulitkan, konflik yang bertumpuk bagai benang kusut, membenahi benang kusut, dan mencari benang merahnya adalah misi yang ia tetapkan pada jati dirinya. Dengan itu dia percaya dan optimis pasti berhasil melewati hari ini, esok hari, dan banyak kesempatan lainnya yang semesta percayakan padanya. Dan blog tersebut ia akses setiap kali monster kecemasan itu datang menyerang dan menghantam segala kepercayaannya pada kebaikan.

Kesadaraan diri paling dasar sangat berperan besar sebab segala sesuatunya berasal dari pusat perintah, yaitu kesadaran.

Pengalihan juga bisa berbentuk pelampiasan, Pandhu juga pembuat komunitas bernama KegelisahART untuk melampiaskan kecemasannya pada seni foto atau video dan sekarang komunitas tersebut juga menampung karya seni banyak orang yang juga merasakan demikian. Pandhu berpendapat hal ini jauh lebih baik karena mereka dan dirinya dapat melampiaskan kecemasannya pada hal yang lebih positif.

Baca Juga  Religious Trauma

“Gua percaya banget, salah satunya gue yang membuktikan, karena walaupun gue punya anxiety disorder gue masih bisa buat karya video atau foto dan itu salah satu cara gue menyembuhkan itu.”

Begitupun dengan Yolanda, cara yang ia lakukan untuk mencegah anxiety adalah mengalihkan pikiran buruknya dengan membaca buku. Tidak ada “ritual khusus”. Jika sewaktu-waktu saya melihat Yolanda dalam keadaan tersebut biasanya saya mengirimkan sebuah note kecil berisikan kalimat penyemangat.  

Dalam percakapan sederhana bersama saya, ia menitipkan pesan untuk semua penderita gangguan mental, “Untuk semua penderita gangguan mental, jangan pernah merasa sendiri, dan yakin semua pasti berlalu. Semangat untuk aku dan kalian!” 

Sedalam apapun kecemasan itu menyerang, manusia tetap memiliki setitik harapan baik, meski itu hanya setitik. Jauh di dalam jiwa yang kacau nan gelap di sana, harapan tersebut yang membuat Pandhu dan Yolanda selalu percaya, bahwa banyak orang di luar sana dengan memiliki gangguan mental, dan pikiran yang kacau, namun mereka tetap bisa berkarya dan menunjukan pada dunia bahwa mereka mampu menjadi seperti manusia sehat lainnya, menjadi produktif serta positif di balik semua hingar bingar setiap sudut saraf dan aliran darahnya.

Kita sebagai orang terdekat harus menunjukan sikap kepedulian kita untuk mereka penderita anxiety disorder dan gangguan mental lainnya, dan membuat mindset positif dengan menganggap penderita gangguan mental adalah mereka yang istimewa, tidak kurang apapun kecuali kita yang kurang peduli.

Sumber Rujukan

https://theconversation.com/riset-usia-16-24-tahun-adalah-periode-kritis-untuk-kesehatan-mental-remaja-dan-anak-muda-indonesia-169658#:~:text=Riset%3A%20usia%2016%2D24%20tahun,remaja%20dan%20anak%20muda%20Indonesia

Huberty, T. J. 2009. Test and performance anxiety. Principal Leadership.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., et al. 2005. Psikologi Abnormal, Edisi Kelima. Penerjemah (Tim Fakultas Psikologi UI: Murad, J. dkk). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Bagikan
Comments
  • Cory Cahyati

    Keren ih

    Oktober 21, 2022
  • Maruf

    bagus cerita yang sangat membangun, sy juga suka note: bercita cita jadi perantara kesembuhan antara tuhan dan kamu, Bismillah semoga bisa tergapai, aamiin

    Oktober 25, 2022
Post a Comment